Pemuda itu terlihat acuh. Pandangan matanya menerawang, sementara tangannya sibuk memainkan biji-biji kristal yang dirangkai menjadi bentuk gelang. Wajahnya tampan, dengan garis-garis tegas yang membuat wajah itu terlihat sedikit ganas. Sayang sekali bentuk matanya yang agak kecil, sedikit mengurangi ketampanannya, membuatnya terlihat sedikit licik.
Meski pemandangan yang tampak dari dinding kaca di depan tempatnya duduk mempesona, pemuda itu bahkan menampakkan sedikit tampilan bosan.
Deretan meja-meja makan mewah dalam ruangan itu sepi. Seluruh ruangan restoran level emerald yang terletak di lantai 40 sebuah gedung elite di kawasan bisnis Singapura itu hanya menampakkan 3 manusia. Si pemuda, yang tampak duduk dan hanyut dalam lamunan, dan dua orang pria berbadan kekar dalam setelan jas hitam yang senada, yang berdiri rapat di belakang kursi pemuda itu.
Tak ada yang bicara. Tak ada musik, tak ada suara. Hanya ketika getar ponsel berwarna emas dengan lambang buah apel di meja itu muncul, dunia seakan kembali memiliki suara. Pemuda itu meraihnya dan menekan tombol terima, ketika suara seorang pria terdengar darinya.
"Good afternoon, Mr. Rafa. Hopefully i'm not disturb your lunch. I wish i could have the opportunity to meet you today..."
"Yes, of course Jhon. I have been waiting for your call since this morning. I will wait for your absence here, 20 minutes from now. If you can't manage, don't bother to show up."
Dan pemuda itu menutup telponnya, bahkan tanpa menunggu jawaban. Kemudian, ia kembali tampak bosan. Ia bahkan tak membalikkan wajah ketika memberikan perintah pada sosok kekar di belakangnya.
"Pastikan Jhon menerima apa yang pantas untuknya. Anjing kudisan tak tahu terima kasih itu perlu diberikan pelajaran dengan keras. Suruh anak buahmu memastikan ia terlambat sampai di tempat ini!"
Sementara sosok itu hanya membungkuk membalas perintah dan berlalu. Mengikuti pemuda tampan berhati iblis ini sejak ia mulai menanjak, terlalu banyak hal yang sulit dimengerti darinya.
Tapi memang pada dasarnya ia tak perlu mengerti apapun. Selama ia bisa menjalankan setiap tugas yang diberikan olehnya, semua akan baik-baik saja.
Melihat pengawalnya berlalu, pemuda itu kembali menekuri layar ponselnya. Sebuah nama kontak itu terus membuatnya ragu untuk menekan tombol panggil. Sungguh berbeda dengan arogansi yang sebelumnya ia tunjukkan ketika menjawab telpon Jhon. Hingga akhirnya ia memberanikan diri menekan tombol itu, meski gamang rasa muncul saat dering nada panggil mulai menyapanya.
Tak butuh waktu lama, panggilannya diterima, dan suara yang akrab menembus keluar dari speaker, menggetarkan setiap sel dalam otaknya dengan beragam pikiran.
"Cv. RAT, ada yang bisa saya bantu?"
Sejenak, kembali mendengar suaranya, membuat pemuda itu sedikit terpaku hingga suara hallo selanjutnya menyeretnya kembali.
"Oh, Hallo. Saya membutuhkan jasa pencucian gedung, Pak. Apakah perusahaan bapak eligible untuk melayani permintaan pembersihan di luar negeri?"
Suara di seberang sejenak terdiam, sebelum kemudian menjawab dengan nada sopan yang sama.
"Untuk saat ini belum, Pak. Kami baru mampu melayani perdagangan jasa dalam negeri saja. Namun jika Bapak tidak keberatan berhubungan dengan team alih-alih perusahaan, team kami semuanya mempunyai kapabilitas dan sertifikasi untuk melayani jasa overseas, Pak.
"Owh, bagus. it'll be fine. Team it is. Berapa biayanya untuk gedung berukuran sekitar 12,000 m²?" sahut pemuda itu lagi.
Hanya saja, kali ini jeda yang tercipta terasa panjang, terlalu panjang. Dan ketika pemuda itu hendak kembali menyambung pembicaraan, suara di seberang kembali terdengar, meski nada yang muncul tak lagi terasa hangat meski masih sopan.
"Maaf, tampaknya saya tidak bisa memenuhi permintaan Bapak. Team kami sedang dalam ketugasan jangka panjang dan belum bisa dipindahkan. Maafkan saya, Pak."
"Lho, kok bisa? Kan tadi katanya bisa? Emangnya biayanya berapa sih, biar saya tutup kerugian situ!" balas pemuda itu lagi dengan cepat. Tampaknya emosi yang membelit perasaannya telah menghilangkan kontrol diri yang sebelumnya sempurna ia tampilkan. Sayang, sepertinya itulah yang memang menjadi tujuan lawan bicaranya.
"Jika kau pikir aku akan melupakan gaya bicara dan aksenmu dalam menggunakan bahasa asing, kamu salah besar, Fa. Tunggulah kau disana baik-baik. Atau larilah sembunyi sejauh kau mampu. Karena aku pasti akan datang untukmu!"
Rafa terhenyak. Ia bahkan tak menyadari kalau lawan bicaranya sudah memutuskan hubungan telpon. Getar lembut mengguncang dirinya ketika perlahan, ia berusaha mengusap keringat yang tiba-tiba saja muncul di dahinya. Rasa dingin akibat ancaman Mas Dirga barusan terus mengalir dan membuat pikirannya kalut.
Kata yang sudah keluar dari mulut orang itu tak pernah menjadi sekedar gertak sambal. Dan mengingat apa yang sudah ia lakukan pada team SD, ia sadar kalau cuma kematian penuh rasa sakit yang menantinya...