Membawa perasaan yang campur aduk, Ray melajukan motor Gus dengan pelan. Meski tak terbiasa memboncengkan seseorang dengan cara seperti Nadia duduk saat ini, Ray tak berkomentar sama sekali. Benaknya berkecamuk, penuh dengan beragam rasa yang semuanya mengarah pada satu rasa, putus asa.
Angin yang menyapu wajahnya ketika motor berjalan, yang biasanya selalu menghadirkan perasaan nyaman tanpa kekangan, tak mampu menentramkan perasaan Ray. Tidak juga rimbunnya tanaman hutan rakyat yang seakan membingkai jalan aspal baru dengan warna hijaunya yang tenang, tak mampu mengalihkan perhatian pikiran Ray dari kekalutan perasaannya.
Tingkah Gus pasti akan membuat Nadia bertanya-tanya. Apalagi gadis berpikiran tajam ini tahu dengan pasti kalau Ray dulu sering menunggak pembayaran.
Mengenal Ray sejak mereka masih duduk di bangku SMP, Nadia benar-benar mengerti bagaimana kondisi keuangan pemuda itu. Dan tak akan ada manusia waras yang tidak curiga dengan semua hal yang disiapkan dan perlakuan hormat yang keterlaluan dari Gus kepadanya.
"Bear, bisakah kita berhenti sejenak? Nad masih belum ingin pulang..."
Ray menghela nafas berat ketika pikirannya tak lagi mampu menahan rasa putus asa. Vonis itu akan datang, dan dengan semua pertanyaan yang tak akan mampu ia jawab nanti, pasti Nadia akan menjauh darinya.
Tapi apapun itu, pilihan yang ia miliki memang tidak banyak.
Ray meminggirkan motornya, dan mencari lokasi yang nyaman untuk duduk. Minimal, ia masih berharap bisa mengenang waktu ini setelah gadis ini tak lagi mau bahkan untuk sekedar mengenalnya di kemudian hari.
Melihat pagar batu penanda jalur jembatan, Ray memilih untuk berhenti.
Pemandangan sungai berair coklat yang mengalir melalui batu-batu padas putih yang membentuk dataran dasar sungai, dengan jajaran tumbuhan hijau dikiri dan kanan, sementara badan sungai berkelok hingga menghilang dari pandangan, menyambut mata, yang membuat senyum muncul di wajah Nadia.
Ray terpana...
Nadia berdiri, seakan kehilangan jiwa ketika matanya tanpa henti mengagumi hal yang ada didepannya itu. Senyum manis muncul di bibirnya tanpa ia sadari, sementara berkas sinar matahari yang lolos dari rimbunan daun yang menaungi tempat itu, jatuh diantara rambutnya yang legam, seakan berubah menjadi halo, seperti yang biasa digambarkan pada buku-buku agama tentang sosok malaikat.
Desau angin yang lembut mengelus dedaunan, mengajaknya bergosip dalam gemerisik gesekan, berpadu dengan suara air yang mengalir, gemericik ketika menabrak bebatuan, menghaluskan permukaannya yang keras dan kasar hingga membuat mereka sehalus porselen. Sementara itu, kicau beragam burung terdengar dari hutan rakyat di kanan dan kiri jalan. Dan ketika ditambah sosok mempesona yang tengah terpesona oleh karya agung Sang Pencipta itu, bahkan Ray nyaris tak mampu menahan diri untuk segera merengkuh gadis itu kedalam pelukannya.
Tuhan, jika Kau memang ada, Kau sungguh kejam. Kenapa Kau ciptakan gadis ini, membuat kami saling jatuh hati meski jalan yang ada tak memungkinkan kami bersama?
Batin Ray terus berkecamuk. Sementara hatinya bingung untuk menentukan apa yang harus ia rasakan. Pemuda itu terpecah dalam keinginan untuk berbahagia, berkesempatan untuk dekat dengan orang yang ia sayangi tanpa mampu terungkap, atau resah dengan kenyataan pecahnya kemungkinan itu setelah pertanyaan dari gadis itu muncul.
Hal yang semakin lama semakin menyeret kesadaran Ray kedalam lamunan seiring kalutnya pikiran dalam kepalanya.
Namun, secercah kehangatan yang terasa di pipinya dan bunyi kecupan lirih yang terdengar kemudian, menyentakkan Ray dari lamunan.
Nadia menciumnya!
"Terima kasih atas hari ini, Bear. Nad tak akan menyesal mengucapkan perasaanku padamu, dan tak akan bosan mengulanginya. Nad sayang kamu, Bear."
Melihat wajah cantik yang merah padam karena rasa malu, yang justru makin menambah pesona kecantikan gadis itu, Ray bengong. Tangannya terangkat meraba pipinya, yang masih merasakan jejak sentuhan singkat bibir gadis yang selalu menjadi impian siang dan malamnya itu. Rasa bahagia, terkejut, dan banyak perasaan positif lain mengembang dengan sangat cepat, meski mengempis dengan kecepatan yang sama beberapa saat kemudian.
Pemuda itu menghela nafas berat, mencoba untuk mengalihkan pandangan dari Nadia meski tanpa hasil yang berarti.
"Nad..."
"Ray Dirga Pandega, shut up. Jika kau tak menyukaiku, minimal berpura-puralah untuk saat ini. Atau jika tak bisa, minimal diamlah. Biarkan aku berusaha membohongi diri sejenak, beranggapan kalau kita adalah pasangan." tukas Nadia tajam ketika ia mengenali nada penolakan dalam suara Ray.
Hati Ray bagai diremas ketika melihat kilat rasa sakit yang muncul di mata yang mirip bintang pagi itu. Bayang air mata yang muncul di sana merobek perasaan pemuda itu dengan garang tanpa memberikan kesempatan bertahan sedikitpun. Tapi sesakit apapun, Ray teguh. Semakin ia menyayangi gadis ini, semakin ia harus kuat menahan ini semua
"Maafkan aku, Nad... Aku bukanlah seseorang yang pantas untukmu. Aku cuma..."
"AKU TAK PERDULI!!!" potong Nadia dengan nada tinggi. Air sudah mengalir turun dari kedua matanya, meski keduanya bersinar penuh kesedihan berbalut amarah dan rasa tak berdaya.
"Aku tak perduli kau membohongi seluruh dunia dan mengaku sebagai orang miskin selama ini. Aku tak perduli jika kau ternyata adalah gembong kriminal dan pelaku kejahatan yang diburu banyak orang. Aku bahkan tak perduli jika ternyata, kau adalah anak orang suci atau bahkan setan sekalipun. Aku tak perduli semua itu, Ray! Aku cuma sayang kamu karena kamu adalah kamu! Manusia konyol tak punya hati dan perasaan yang mengajariku kalau jadi diri sendiri adalah yang terbaik dari semuanya. Orang yang membuatku memiliki kemauan untuk mencoba dan berusaha lebih jauh. Orang yang mengajariku untuk tak berbohong pada diriku sendiri. I love u, bukan karena siapa kamu, Ray. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu..."
Melihatnya berurai air mata, meski mendentang garang dalam amarah yang lantang, untuk kemudian, menjadi sedemikian rapuh ketika amarah meninggalkan hatinya setelah luapan perasaan akibat berbagai penolakan yang ia alami sebelumnya, benar-benar menghancurkan hati.
Ray bergerak, merengkuh gadis yang penuh amarah itu ke dalam pelukannya, tanpa memperdulikan badai pukulan dari Nadia, yang bersikeras untuk terus melawan. Dibiarkannya pukulan-pukulan itu menghantam seluruh bagian tubuh yang bisa dicapai Nadia, yang berjuang untuk menahan isak tanpa hasil. Sebaris kata yang sama terus meluncur keluar dari mulut Ray, bagai litani doa yang ia bisikkan pada sosok indah penuh amarah yang terus berusaha melawan dalam pelukannya itu, membuat hati Ray bagai diris dengan pisau tumpul berkarat yang ditekan kuat-kuat dan diseret dalam gerakan yang sangat lambat.
"Maafkan aku, Nad, maaf. I'm sorry. Please forgive me, Luv. I love you too. I'm sorry..."
Kalimat itu terus Ray ulang tanpa lelah, seakan hidupnya tergantung padanya. Hingga akhirnya tubuh Nadia menegang sebelum akhirnya melepaskan perasaan dalam pelukan Ray. Tampaknya butuh waktu bagi gadis itu untuk akhirnya menyadari isi kata-kata Ray, yang sedikit mengubah tangisnya menjadi luapan rasa lega.
Waktu seakan berhenti. Bahkan angin menahan diri untuk bergerak, meski tetap merayu dedaunan untuk bergoyang dalam diam. Alam seakan turut menyaksikan kedua sejoli yang larut dalam buai rasa asmara yang kuat mencengkeram jiwa.
Disana, di tengah jembatan yang jauh dari mana-mana. Bersama alunan gemericik air yang mengelus bebatuan padas putih, bersama goyang dedaunan dalam rayuan angin siang, kisah mereka berawal...