Chereads / The Life of an Ex-Drug Lord / Chapter 8 - Ray, bocah pintar yang tolol

Chapter 8 - Ray, bocah pintar yang tolol

"Woy, Bocah. Akhir-akhir ini kulihat kau jarang pulang ke rumah. Orang tuamu tak bingung cari?"

Pemuda kecil itu bahkan tak mengalihkan perhatiannya dari televisi. Ia masih sibuk dengan game yang ia mainkan. Ia hanya menjawab sekenanya saja tanpa menoleh, "Enggak, Pak. Rumahku sepi. Bapak dan ibu tinggal di Surabaya, kadang aja mereka ke rumah kalau pas pengen."

"Bukannya kedua kakakmu ada disini juga? Kakekmu?" tanya pria itu sambil menghempaskan dirinya ke sofa.

"Yah, mereka kan punya hidup sendiri-sendiri to Pak, nggak bakal juga cariin aku."

"Ehm, lalu sekolahmu?"

"Eh, Bapak i, aku baru main game kok diajak ngobrol lho?!" sentaknya sambil merengut. Hal yang tampaknya malah membuat pria itu semakin senang. Cepat, tangannya meraih remote dan mematikan televisi lalu melemparkan remote itu keluar jendela. Ketika ia merasa itu belumlah cukup, ia segera berteriak, "Jack, coba kau matikan listrik dari terminal depan!"

Diiringi jawaban singkat, dan tak butuh waktu lama, aliran listrik di rumah itu segera terputus, menyisakan Ray yang terpana dengan apa yang harus ia alami.

Bapak menyeringai dan menoyor kepala Ray pelan, "Sekarang kau tak main game. Kalau diajak omong orang itu yang sopan, bocah tolol!"

"Astaga, dan ini kelakuan seorang penguasa dunia hitam se-Indonesia? Sungguh bapak tua yang kurang etika!" balas Ray sengit.

"Eh, nglawan. Mau berkelahi, Bocah tengil?!"

"Wooo, kayak aku takut. Ayo pindah tempat!!!" balas Ray geram.

Hanya saja, belum sampai kedua orang beda usia namun bertemperamen tak jauh beda itu melanjutkan keinginan mereka, Jack sudah muncul dengan beberapa hal di tangannya.

"Master, ada hal yang harus diperhatikan terkait distribusi area tengah." ucapnya sambil menaruh gelas dan makanan kecil yang ia bawa, bersama sebuah telpon genggam besar.

"Huh, anggap kau selamat, Bocah!" dengus Bapak sambil meraih telpon itu.

"Belum pasti siapa yang akan terluka, Pak Tua!" tangkis Ray cepat, tapi ketika ia melihat raut wajah Bapak yang semakin serius seiring waktu ia mendengarkan, Ray mulai menjadi tenang dan memilih untuk duduk di sofa. Sementara kerutan di dahi Bapak terlihat semakin dalam, Ray menyadari kalau kondisi tidak seringan yang diharapkan.

"Ada apa, Pak?" tanya Ray ketika akhirnya Bapak meletakkan telpon genggam besar itu.

"Kuncoro bikin ulah lagi. Polisi menangkap 6 orang bandar utama di area tengah. Hanya masalah waktu sebelum mereka mengendus keseluruhan operasi kita. Jack, mungkin sudah waktunya untuk menarik team keluar dari jalur operasi."

"Tunggu, Pak. Saya ada sesuatu yang ingin kusampaikan." sahut Ray ketika melihat mereka beranjak pergi.

"Kenapa Bocah? Kau bukan masih ingin berkelahi denganku kan? Lain kali saja kalau itu." sahutnya sambil tersenyum mengejek.

"Bukan. Aku cuma merasa kalau basis operasi ini terlalu sederhana. Jalur ini terlalu berbahaya dan rentan mengekspos setiap individu diatasnya, dan benar, cuma soal waktu sebelum Polisi sampai ke markas ini..." jelas Ray lagi.

Ray memang tidak bodoh. Kemampuan kognitif, penalaran dan pemahaman yang ia miliki jauh melampaui banyak orang, bahkan mereka yang jauh lebih tua darinya. Dan memang sudah sejak lama ia mengkhawatirkan ini. Semua pergerakan barang yang melanggar hukum ini terlalu mudah untuk dilacak, dan setelah kerusuhan besar tahun lalu, yang nyaris membuat negara ini menjadi arang akibat banyaknya daerah yang dibakar oleh demonstran, Polisi tampaknya menggiatkan seluruh kegiatan mereka dalam melakukan apapun, termasuk dalam perang melawan narkotika.

"Maksudmu apa Bocah?" sahut Bapak, yang mulai tampak tertarik dengan apa yang Ray bicarakan.

"Reformasi, Pak. Perombakan sistem. Diversifikasi bisnis, managemen perusahaan, termasuk managemen krisis, jadi tak berantakan seperti ini."

Bapak, yang sedikit terpana mendengar ini, mendekat dan memegang dahi Ray, yang segera ditepis dengan jengkel.

"Kau tak sedang sakit kan, Nak? Atau kau nekat konsum amphetamine yang baru dikirim itu?" tanyanya dengan khawatir.

"Aku nggak bercanda, Pak Tua. Praktek bisnismu terlalu sederhana. Ini cuma mirip orang jual sayur di pasar saja layaknya. Kita sebagai pengepul besar yang dekat dengan koperasi dan petani, kirim sayur ke grosir dan penjual di pasar, sementara mereka jual ke pembeli. Jadi kalau orang mau cari kita, tinggal samperin aja si grosir. Selesai. Lalu ketika jualan sayur dilarang, kita jadi miskin karena tak punya tabungan, mengingat meski kita banyak duit, kita nggak bisa nabung di bank karena orang bakal bertanya, darimana duitnya!" sergah Ray jengkel, sementara Jack dan Bapak melongo sebelum terbahak-bahak mendengar uraiannya.

"Astaga, malah ketawa... Susah ngomong sama orang tua." desis Ray makin jengkel ketika melihat mereka yang masih menekuk perutnya, larut dalam tawa.

"Bukan, bukan. Maaf, aduh... Maaf, maaf, Nak. Lanjutkan, sorry sorry..." jawab Bapak sambil berusaha menghentikan tawa meski tak terlalu berhasil.

"Begini, para mafia sisilia, mafia itali, mafia rusia, triad, Yakuza, dan banyak yang lainnya, memiliki praktek yang hampir sama, Pak. Membuat bisnis ilegal menjadi legal. Bukankah intinya adalah sama? Mencari uang?"

"Tunggu tunggu, maksudmu?"

"Hmph, sudah kuduga. Beneran susah ngomong dengan orang tua!" dengus Ray kaku ketika ia melihat rasa ketertarikan yang muncul di wajah Bapak, namun tetap saja ia melanjutkan.

"Kita ambil contoh mafia itali. Berawal dari monopoli serikat buruh, mereka mengembangkan diri ke arah perjudian, penjualan minuman keras, dan beragam tindakan melanggar hukum yang lain, lalu dengan modal uang panas itu, mereka mulai membeli perusahaan-perusahaan beneran dan melegalkan uang mereka, sehingga mereka aman ketika menghamburkan duit kemana-mana. Wajar dong, pengusaha kok, duitnya banyak. Ini disebut Laundromats Operation oleh salah satu petinggi FBI waktu itu."

Mata Bapak dan Jack semakin bersinar seiring penjelasan yang diuraikan Ray. Tampaknya dengan pola pikir mereka sendiri, mereka mulai bisa melihat kemana arah yang hendak dituju oleh bocah yang baru saja menginjak usia 16 tahun itu. Konsep kasar yang terbentuk semakin halus ketika beragam modus operasi berbagai organisasi kriminal kelas dunia dibongkar dan diurai di ruang tengah milik tokoh paling berpengaruh di dunia hitam itu, yang makin membuat Jack dan Bapak kagum akan pola pikir Ray yang belum pernah dicoba dilakukan di negara ini sebelumnya.

"Dan menurutmu, apa yang perlu dilakukan sekarang, Nak?"

"Berikan aku akses ke uang yang banyak, Pak." sahut Ray sambil tersenyum polos.

"Sungguh, Nak. Aku kadang heran dengan isi dalam kepalamu itu. Bisa-bisanya kau berpikir sejauh ini." puji Bapak sambil tersenyum.

"Bagaimana menurutmu, Jack?" kata Bapak sambil menoleh ke tangan kanannya itu, sementara Jack juga tak mampu menahan senyum gembira untuk muncul di bibirnya.

"Master muda punya pemikiran yang tak biasa, dan kukira itu bisa dilakukan, Master." jawabnya.

"Hmm, baiklah kalau begitu. Sampaikan perintahku, Jack. Putus semua jalur akses ke kita dari mereka yang kena gulung. Beli siapapun yang berurusan dengan hal itu, berapapun nilainya. Hentikan semua operasi. Dan kau, Bocah, eksekusi idemu. Aku ingin tahu apa yang hendak kau lakukan sebelum itu dijalankan. Kau memiliki otoritas penuh untuk melaksanakannya." sahut pria itu tanpa menahan kegembiraannya.

"Ah, tapi tunggu dulu, Nak. Aku ingin sejenak memperjelas omonganmu tadi. Tentu saja apa yang kau ceritakan tadi sudah kupahami dengan baik. Tapi kenapa kita harus melakukan bermacam ragam jalan memutar yang membingungkan itu?"

Ray memutar matanya dengan kesal, meski sebenarnya ia bersemangat, hanya ia seringkali kurang sabar ketika memperjelas hal-hal yang ada di otaknya.

"Begini, Pak tua. Uang cash kita banyak, tapi itu terlalu banyak untuk dimiliki seorang tanpa penghasilan nyata macam dirimu ini. Ya kalau yang tanya cuma tetangga sebelah, kita bisa saja bisikin ke dia kalau kita punya Buto ijo atau tuyul satu kompi. Lha kalau Instansi negara?"

"Aduuh, Master muda ini, misalkan membuat perumpamaan mungkin bisa dibuat agak tidak lucu begini?" gelak Jack, yang rupanya urung bergerak dari tempatnya semula.

"Kau jangan ikut-ikutan, Paman. Pak tua ini agak blo'on. Susah ngomong sama dia kalau pakai perumpamaan yang sulit."

"Bocah setan. Ampun bener mulutmu ini..." geram Bapak sambil terbahak-bahak. Memang cuma Ray yang akan bisa berbicara dengan cara seperti ini kepadanya. Bocah gila ini tak punya rasa takut sama sekali.

"Nha, untuk itu, perlu ada wujud fisik mesin penghasil uang yang jelas. Jadi ketika orang menanyakan, selama ia tak memiliki bukti di tangan, kita tak akan tersentuh. Dan ketika aku selesai membangun sistem baru ini, bahkan ketika seluruh grosir ini diciduk, Bapak, Uncle, dan jajaran teratas organisasi tak akan kena masalah. Bahkan jika mereka bicara." papar Ray dengan bersemangat.

"Lalu, sistem yang kau maksud ini seperti apa, Nak?"

"Aku belum selesai memikirkannya, Uncle..."

"Wooooo, gebleg! Sudahlah Jack, tinggalkan saja bocah pintar yang tolol itu disitu. Ikutan gila kita nanti."