Chapter 11 - Ayah

Menyadari kalau ia tak mungkin menghindarinya, Ray memutuskan untuk meloncat mundur, memangkas jaraknya dengan si penyerang untuk meminimalkan kerusakan yang mungkin ia terima dari serangan itu.

Langkah ini rupanya sama sekali tak diduga oleh si penyerang. Tubuh Ray yang meloncat ke belakang, dengan tepat menabraknya kuat-kuat, membuatnya terdorong ke belakang akibat kerasnya hantaman itu dan membuat pedang pendek di tangannya terlepas dan jatuh ke jalan. Ray berhasil selamat tanpa luka yang berarti, meski hanya nyaris. Namun belum lagi pose fight bisa ia ambil dengan sempurna, kesiuran angin yang menyayat terdengar ketika bilah berkilau lain sudah menderas kearah kepalanya. Memaksa Ray untuk bergerak demi memastikan kepalanya tak terbelah dua oleh serangan itu. Hanya saja, tampaknya sejak serangan pertama dilancarkan, kelima belas orang itu sudah siap. Pedang pendek yang identik tergenggam kuat di tangan mereka, dan mereka mulai menyerang tanpa memperhitungkan apapun lagi. Melihat hal seperti ini, bahkan orang-orang yang terbiasa hidup di jalanan setiap hari merasakan dingin dalam darah mereka, dan tak berani berbuat apapun selain berteriak-teriak.

Memaksa diri untuk terus mengatur nafas supaya konsentrasinya tak terpecah di tengah hujan kerlap bilah yang menuntut darahnya itu, Ray terus mewaspadai setiap bukaan dari serangan yang turun bagai hujan ke tubuhnya. Langkahnya mulai bergerak dalam pola gaib im-yang delapan sisi ketika rapalan gaib mulai terdaras lirih dari mulutnya. Kakek selalu tak memperbolehkannya untuk menggunakan Panglimun Limang Unsur saat berurusan dengan manusia, hanya saja saat ini, pilihannya hanya itu atau mati!

Tapi belum lagi selesai darasan mantra terucap dari mulutnya, salah satu penyerang itu melemparnya dengan plastik berisi cairan yang berbau aneh.

Teralihkan, Ray sedikit kaget dengan kejadian ini. Meski hanya sepersekian detik, tapi dalam perkelahian seperti ini, itu sudah cukup. Ujung pedang salah satu penyerang itu menyapa dan tak terhindarkan, meninggalkan torehan panjang yang mengucurkan darah dari lengan Ray. Namun hal itu pula yang memberikan Ray kesempatan untuk bernafas saat kepuasan melanda para penyerangnya ketika melihat darah yang mengalir. Sejenak, mereka tersenyum ganas ketika mulai bergerak untuk kembali mengurung Ray.

"Huh, kali ini kau pasti mati, Bocah. Tak ada Night boys yang akan bisa membantu menjaga nyawamu hari ini!" dengus orang itu sambil menyeringai. Pedang pendek di tangannya terus ia kibas-kibaskan penuh ancaman.

"Owalah, To Wanto... Cuma untuk berurusan denganku, kau bawa centheng segini banyak. Memalukan! Pantas saja kalau Kithul suruh kau makan tai beberapa waktu lalu, kamu memang cuma tai!" dengus Ray penuh ejekan ketika seringai muncul di bibirnya. Tangan kanannya terus berusaha menekan luka terbuka di lengan kirinya, sambil terus berusaha mencari jalan keluar dari situasinya saat ini.

Pemuda itu mencibir kemudian membalas dengan nada penuh ejekan, "Huh, sok hebat. Cekelanmu (pegangan-istilah dalam bahasa Jawa yang mengindikasikan ilmu atau pusaka) sudah tak berguna. Air yang kusiramkan itu air campur kencing campur kelor dan darah cemani. Kamu cuma bisa babak bundhas disini hari ini. Tapi tenang, kami tak suka membunuh. Setengah mati aja cukup buatmu. Yo ora, Cah?"

"Kelamaan, Bos. Udah, bacok aja!"

"Wooo, jangan. Dedengkotnya Night Boys harus dipermalukan dulu!"

"Ho'o. Pastikan sampe terkencing-kencing dulu, baru dikebiri!"

Tanpa menghiraukan banyak orang yang berkumpul, gerombolan ini terus mendesak Ray yang terus berusaha mencari jalan keluar, mundur selangkah demi selangkah, sementara masing-masing dari mereka terus mengejek Ray.

Menghadapi hal seperti ini, Ray justru makin tenang. Darahnya berpacu dengan deras, mengalirkan adrenalin dan endorphin dalam jumlah besar dalam tubuhnya, membuat pikirannya makin terfokus. Gerakan kecil sempat tertangkap matanya. Seorang tukang becak berbadan besar mengendap sambil membawa kayu yang sering ia pakai sandaran kaki ketika beristirahat sambil menunggu penumpang di becaknya mendekati gerombolan itu.

"Kalau cuma untuk menghadapi ikan teri macam kalian ini, tak perlu segala macam ilmu dan cekelan. Aku kentut aja cukup bikin kalian mati." ejek Ray keras, lalu membuat isyarat menghina dengan tangannya.

Wanto dan kawan-kawannya sedemikian marah ketika melihat Ray bukannya takut, malah mengejek mereka semakin keras, hingga membuat mereka tak menyadari bahaya yang datang sampai terlambat.

Bunyi tumbukan itu nyaring ketika kayu yang diayunkan oleh tukang becak itu menghantam bahu salah satu rekan Wanto dan membuatnya menjerit kesakitan. Tindakan yang rupanya mengilhami banyak orang yang lain dan tak butuh waktu lama, banyak orang segera merangsek dan menghujani gerombolan ini dengan pukulan dan tendangan.

Melihat ini, Ray tak berhenti dan menunggu. Ia segera berbalik arah dan berlari. Ia harus mencari tempat untuk mengamankan lukanya sebelum kondisinya menjadi semakin buruk.

"MATUR NUWUN, PAKDHE!!! (terima kasih, Paman)" teriaknya sambil berlari secepat ia mampu. Ray sadar, orang-orang macam Wanto hanya akan menjadi semakin beringas jika tak segera dilumpuhkan, dan pukulan dari orang-orang ini tak akan mampu melakukannya.

Dan memang benar. Begitu menyadari buruannya berniat melarikan diri, Wanto segera mengibaskan pedangnya, memotong kayu dan melukai beberapa orang, lalu bergegas mengejar Ray. Tindakan yang segera dicontoh oleh teman-temannya.

"Mlayu sing banter, Le!!! (lari yang kencang, Nak)"

Samar teriakan yang ia dengar, memastikan kebenaran pikiran Ray sebelumnya. Wanto dan teman-temannya pasti sudah mulai mengejarnya. Jarak mereka memang lumayan jauh, tapi kondisi Ray makin memburuk dengan banyaknya darah yang terus merembes keluar dari luka di lengannya. Tak akan butuh waktu lama bagi mereka untuk mengejarnya, dan kali ini, ia mungkin tak akan selamat.

Nafasnya sudah mulai tersengal ketika rasa lemas mulai datang menyergap ketahanan badannya dengan cepat. Pandangan matanya mulai berkabut.

Sialan, masak aku mesti mati disini sih?

Detak jantung Ray berpacu, berdentam seiring langkah yang terus berayun dengan cepat, sementara, gerombolan yang berlari sambil mengacung-acungkan pendang pendek di tangan itu perlahan mempersempit jarak di antara mereka. Meski banyak orang berusaha membantu Ray untuk lolos, tapi tindakan iru tak terlalu banyak membantu. Ray hanya berharap ia mampu mencapai pos polisi di dekat terminal sebelum pedang-pedang itu merajam tubuhnya, meski harapan itupun tampaknya terlalu muluk. Jarak ke pos itu masih lebih dari 800 meter, dan mungkin, bahkan tanpa pengejar bengis dibelakangnya, ia bahkan tak akan mampu bertahan untuk berlari sejauh itu.

Tapi ketika rasa putus asa sudah hampir menenggelamkan pikiran dan akal sehatnya, sebuah mobil kijang box berwarna merah tiba-tiba berhenti dan membuka pintu penumpangnya. Suara akrab yang tak mungkin akan ia lupakan muncul dari kursi sopir.

"Ray, masuk!!!"

Sialan, dari semua orang di dunia, dan kenapa Ayah yang harus dikirim Tuhan untuk menyelamatkan pantatku?!!, keluh batin Ray ketika menyadari bahwa sosok itu adalah Ayah. Satu-satunya manusia di dunia yang paling tak Ray inginkan untuk tahu sepak terjangnya selama di luar rumah, dan justru ia yang saat ini menyaksikan anaknya dalam kondisi yang paling mengenaskan dari semua.

"Eh, Papah, anu..."

"MASUK!!!"

Tersentak, Ray segera memasuki mobil dan membanting pintunya, sementara Ayah sudah menjalankan mobil itu bahkan ketika pintunya belum menutup sempurna.