Waktu berjalan sepelan petir yang merambati awan, seakan terbang dalam kilasan detik yang tak terulang ketika Ray terbenam semakin dalam. Setelah mengetahui dunia macam apa yang ia masuki, bukannya gentar, ia justru menolak uang yang ditawarkan Bapak sebagai kompensasi bantuannya. Bocah yang bahkan belum genap berusia 15 tahun itu lebih memilih untuk tinggal dan menjadi salah satu anak asuhan Bapak, tanpa memperdulikan tatapan iba yang seringkali diarahkan padanya. Khususnya dari Jack, yang tak henti-hentinya berusaha untuk membuat Ray berhenti dari dunia itu sebelum terlambat.
"Ray, kenapa tak kau pertimbangkan lagi? Kami semua tak lagi memiliki pilihan, tapi bukan dirimu. Master pasti akan bahagia jika kau memilih untuk meninggalkan tempat ini. Kalau hanya uang yang kau butuhkan, ambil sebanyak yang kau mampu dan pergi, jangan pernah kembali." ucapnya pada suatu ketika saat Ray baru saja kembali dari tugasnya, kurir antar pesanan untuk para pecandu kelas berat.
"Uncle, maaf. Aku memang butuh uang, tapi bukan dari derma. Aku ingin layak mendapatkan uang itu. Dan lagipula, jika aku mengambil uangnya, papahku yang miskin tapi keras kepala itu akan terus mengejar darimana kudapatkan uang sebanyak itu." balas Ray malas.
"Nha, emang uang yang kau dapatkan saat ini nggak bakal ditanyakan sama mereka? Penghasilanmu saja hampir 900rb seminggu, Boy?"
"Lebih mudah menyembunyikan nilai itu daripada kuterima beasiswa dari Bapak, Uncle. Dia udah siapin 500juta untuk kubawa." sahut Ray sambil tertawa terbahak-bahak.
Jack, yang memang sudah menganggap Ray sebagai keponakannya sendiri, hanya bisa tersenyum kecut mendengar hal ini. Tak sekali dua kali ia terus berusaha, meski hanya untuk menerima sangkalan dan penolakan. Meski sebenarnya ia juga tahu kalau tak seperti yang lain, bocah ini tak pernah mengkonsumsi narkotika jenis apapun meski ia bisa saja melakukannya. Dengan kemampuan organisasi, Jack bahkan bisa mengetahui apa yang dilakukan Ray dengan uang yang didapatnya.
Bagaimana ia menghabiskan sedemikian banyak uang untuk membeli motor dan memodif-nya habis-habisan, supaya ia bisa melarikan diri secepat mungkin ketika Polisi mengendus aktivitasnya. Atau akan berbagai peralatan gunung yang khusus dipesan langsung dari Swiss demi kesukaannya menjelajahi gunung dan kegilaannya akan panjat tebing yang semuanya ia simpan di basecamp sebuah organisasi pecinta alam yang ia ikuti. Hanya saja, sekian lama berada dalam dunia mengerikan ini, Jack terlalu banyak melihat mereka yang gagal dan mati.
Dan sayangnya, Master-pun sudah menyerah untuk menasehati anak berkepala batu itu. Ketika Jack menyampaikan keberatannya, pria hebat itu hanya menghela nafas.
"Percuma kau omongi bocah gila itu. Kemauannya bahkan lebih keras daripadaku. Pikirannya terlanjur bengkok."
"Apa Master tak sayang jika bocah dengan pemikiran dan kemampuan sehebat itu, memutus masa depannya sendiri seperti ini?"
"Percuma melarangnya, Jack. Satu-satunya hal yang paling mungkin dilakukan untuk menjaganya hanya memastikan dia tahu setiap bahaya dan memastikan ia bersiap untuk menghadapi itu semua."
Bahkan dua orang yang paling berpengaruh dalam dunia hitam itu saja habis pikir ketika menghadapi Ray.
Sementara yang dibicarakan sendiri, benar-benar menikmati hari-harinya. Tugas yang ia lakukan, pada dasarnya tidaklah sulit. Ia adalah 1 diantara 14 orang pengantar barang yang berhubungan dengan bandar-bandar narkotik besar di beberapa kota, selain tentunya, mengirimkan pesanan-pesanan yang datang dari pelanggan khusus. Mereka yang hanya menggunakan barang terbaik dan bersedia membayar semahal apapun untuk mendapatkannya.
Di sela waktu-waktunya, entah ia akan nongkrong di bengkel para pembalap liar yang hobby banget mengajak petugas PJR (Polisi Jalan Raya) yang sering berjaga di pos depan Gramedia untuk adu cepat dengan motor hasil kulikan mereka, atau akan sibuk dengan berbagai kegiatan pecinta alam di organisasi yang ia ikuti.
Hanya saja seiring waktu, Ray hampir bisa dibilang tak pernah ada di rumah, meski ketika ia berada di sana, bocah itu akan tetap seperti biasa. Tak menyimpan uang sedikitpun, dan memastikan barang-barang yang ia miliki adalah barang yang dibelikan oleh orang tuanya. Meski ayahnya hanya akan berada berada di rumah selama akhir pekan, tak ada yang tahu apa yang akan mungkin bisa ia temukan. Satu-satunya masalah yang terus menggangu Ray hanyalah masalah rasa marah yang sepertinya tak pernah meninggalkan dirinya, tak perduli apapun kondisinya saat itu. Seringkali ia bahkan merasa amat sangat marah tanpa ada provokasi dari siapapun, yang hasilnya, seringkali ia harus mendapatkan masalah karena hal ini. Berulang kali dalam berbagai kesempatan, Ray akan bertingkah layaknya orang brengsek, arogan dan mengundang pukulan, hanya supaya punya lawan untuk berkelahi. Tak sekali dua kali, ia harus pulang ke rumah dengan wajah lebam dan baju penuh darah, entah darahnya atau milik lawannya. Untungnya, selama ia tak mendapatkan luka berarti di akhir pekan, ayahnya tak akan memergoki kelakuannya. Kakek tak pernah memarahinya, dan Ray tahu itu. Orang tua itu hanya akan melihat seberapa parah tingkat luka yang ia dapat, lalu akan keluar untuk mencari berbagai obat untuk Ray. Entah mengapa, tapi Kakek bahkan tak pernah menanyakan tentang bagaimana perkelahian itu terjadi atau bagaimana hasilnya. Seakan hal itu wajar saja adanya. Hanya pada satu waktu, ketika Ray pulang dengan luka bacokan di punggungnya, Kakek tak menahan diri untuk bertanya.
"Bagaimana ceritanya kau bisa terluka seperti ini?"
"Kecelakaan, Mbah. Jatuh dari motor." jawab Ray sekenanya, yang segera membuat Kakek marah.
"Kalau mau bohong itu, pastikan supaya jangan sampai ketahuan. Lukamu terlalu halus, jelas dibuat oleh sayatan benda tajam. Bagaimana caranya kecelakaan bikin luka macam begini?" hardiknya setelah selesai memotong perban yang sebelumnya dipasang oleh salah satu rekan Ray.
"Bohonglah pada bapakmu kalau kau mau bohong, atau ke ibumu sekalian kalau perlu. Tapi jangan padaku! Percuma kau kuajari bermacam ragam kalau kau masih bisa berdarah seperti ini!" cecar pria tua itu galak.
Ray tertunduk tanpa mampu menjawab. Kakek memang tak pernah marah, tapi ketika ia marah, sosoknya sangat menakutkan.
"Ceritakan kejadiannya!" perintahnya sambil menyuruh Ray berbaring tengkurap, supaya ia bisa melihat luka melintang di punggung anak itu.
"Maaf, Mbah. Tadinya nggak niat berkelahi. Hanya saja salah satu teman cewek yang jalan bareng dengan kami, diganggu preman lokal. Kami jelas tak terima. Ternyata teman-teman mereka datang, dan tawuran nggak bisa dihindari. Kata Mbah nggak boleh pakai Panglimun Limang Unsur kalau berkelahi, jadi Ray nggak pakai itu." jelas Ray takut-takut sambil terkadang meringis menahan sakit ketika luka itu mulai dibersihkan oleh Kakek.
"Benar kau tak gunakan ilmu itu?"
"Sumpah, Mbah. Ray nggak pakai. Ray masih tahu aturan."
"Huh, paling tidak masih ada sisa dalam ingatanmu untuk menuruti omonganku." hardik orang tua itu lagi, meski perlakuannya jauh lebih lembut daripada sebelumnya. "Diam dulu disitu, kubuatkan obat dulu. Kalau sampai Bapakmu tahu, habis kamu dihajarnya nanti..."
Dan bocah itu nyengir sembunyi-sembunyi ketika mendengar hal itu. Berurusan dengan Kakek selalu mudah. Beliau terlalu sayang dengan Ray untuk memarahinya terlalu lama...