Chereads / The Life of an Ex-Drug Lord / Chapter 5 - Menjauhlah Dariku

Chapter 5 - Menjauhlah Dariku

Denting pemberitahuan dari speaker, yang memberitahukan kalau pesawat sudah hendak mendarat dan meminta para penumpang untuk kembali menggunakan sabuk pengaman dan melipat meja menyadarkan Ray dari lamunan. Kenangan awal dari kehidupan masa lalu itu selalu membuatnya geli ketika ingatan itu muncul di waktu-waktu tertentu seperti ini. Butuh waktu lama bagi Jack, butler sekaligus orang kepercayaan Bapak untuk mengajarinya bermacam hal, termasuk bathup, jacuzzi hingga tata cara makan ala barat. Dari pria paruh baya itu juga Ray belajar bagaimana etika dan sopan santun serta cara berpakaian yang layak dalam segala situasi, termasuk ketika misi berdarah harus muncul dan dilakukan sesekali.

Tak butuh waktu lama bagi Ray untuk bergabung dan menjadi bagian dari organisasi hitam perdagangan narkotika lintas negara itu, dan untungnya, tak lama pula ia berkecimpung di dalamnya dan bisa merangkak keluar darinya hidup-hidup, meski untuk itu, ia harus menyimpan penyesalan di setiap detik ia bernafas hingga hari ini. Tapi biar bagaimanapun, Ray tak pernah bisa merasa cukup untuk bersyukur. Minimal ia mampu menjaga dan memaksa dirinya untuk tak kembali menjalani dunia itu. Meski jika ia teringat akan kartu nama yang sekarang berada dalam sakunya, ia akan sedikit was-was.

"Ah sudahlah. Kupikir sampai tua juga nggak bakal ketemu jawabnya. Kuhadapi saja ketika waktunya tiba." batin Ray.

Perjalanan hari ini belum selesai. Ia masih harus memastikan pekerjaan itu bisa didapatkan oleh perusahaannya. Nilai keuntungan dari pekerjaan ini akan bisa digunakan untuk memperluas jangkauan usaha perusahaan yang ia dirikan kedepannya. Jadi akan lebih produktif jika ia menyingkirkan pemikiran-pemikiran tak berguna akibat kartu nama sialan itu.

Hanya saja, rupanya hari ini sudah ditakdirkan untuk membuat setiap usaha Ray sia-sia.

Ketika ia muncul dari gerbang kedatangan terminal E bandara Soetta, ia langsung melihatnya. Gadis itu menggunakan setelan hitam, rambutnya dicat keemasan dengan curly-curly kecil di bagian ujungnya. Meski ia mengenakan masker dan topi baseball, mata yang bersinar bagai bintang pagi itu pasti akan bisa Ray kenali dimanapun. Memegang kertas bertuliskan namanya, gadis itupun tampaknya sudah mengetahui kedatangannya. Sekejab kemudian, ia melepas masker dan senyum manis terkembang, membuat wajah yang sudah cantik itu jadi makin mempesona. Mencegah Ray yang sebelumnya bermaksud untuk pura-pura tak mengenalinya.

"Ammit, finally i see you again! Didn't you know how much i miss you?!" sergah gadis itu ketika ia segera memeluk Ray yang salah tingkah.

"Ammit, ammit, namaku Ray tau. Salah orang!" tukas Ray sambil berusaha melepaskan pelukan kuat gadis itu.

"Aihh, salah orang. Coba kalau aku yang dipeluk, pasti kunikmati..."

"Bangsat yang beruntung!"

"Aduh, ceweknya sexy banget!"

Tapi nampaknya gadis itu tak perduli. Meski harus sedikit berjinjit, ia malah mengecup pipi Ray ketika senyumnya terkembang makin lebar.

"Nope, you are always be Ammit to me. Ray is just only your avatar. You are Ammit, my Ammit." cerocosnya riang.

"Kamu gila. Masih saja gila." dengus Ray sambil terus berusaha melepaskan pelukan gadis itu dengan sia-sia, sampai gadis itu melepaskan dan menggandeng tangannya, menariknya ke arah tempat parkir.

"Nin, aku sudah bukan lagi bagian dari kalian. Menjauhlah dariku. Aku memiliki kehidupanku sendiri sekarang..." desah Ray ketika langkah telah membawa mereka ke depan sedan Porsche berwarna hitam di tempat parkir khusus, sadar bahwa percuma saja melawan keinginan gadis ini. Ia cuma berharap kalau gadis ini memutuskan untuk membiarkannya pergi.

"Watashi wa ima 4-saidesu, 7-sai to 8-sai ga shinimasu..(aku empat sekarang, 7 dan 8 mati...)"

Jawaban Nin menghantam Ray bagai kereta berkecepatan tinggi. Gadis ini adalah salah satu dari 10 orang kepala team khusus yang berada di bawah satu orang, the one and only, Smilling Demon. Team solid yang bahkan bagai tak tersentuh oleh apapun. Team yang beranggotakan orang-orang hebat dengan pelatihan setara tentara elite sebuah negara, dan sekarang dua diantara mereka mati?

"Aku tak mau dengar. Jangan ceritakan apapun lagi. Aku tak perduli berapa nomormu sekarang. Aku akan memanggil nama aslimu saja, Destiny. Aku pergi dari sini. Aku ada janji temu dengan klien." sergah Ray, gamang dan terpecah antara keinginan untuk lari menjauh atau dengan murka mencari tahu sebab kematian mereka.

Destiny memandang Ray dalam-dalam. Sejenak mata indah itu berkaca-kaca. Sejak dulu, gadis ini selalu menyimpan perasaan yang tak pernah tersampaikan pada Ray. Air mata mulai mengalir membasahi wajahnya yang cantik, menjadikan wajah itu bagai sosok keramik cantik yang rapuh, membuat setiap orang merasa ingin melindunginya.

"Help us, Ammit. Bring justice upon us. Rafa make things as ugly as hell. Jack said that only you could stop him from tearing us apart like this..."

"Don't you dare to use your spell on me, Des." geram Ray sambil mencengkeram pundak gadis itu kuat-kuat. "And my name is Ray, and leave Jack out of this!"

Destiny terkikik ketika sorot jahil muncul di matanya yang indah. Gadis ini memang mahir menggunakan rayuan untuk menaklukkan siapapun. Ray menemukan dan merekrutnya di masa awal ia mulai mengembangkan Smiling Demon's Army. Ray menyelamatkannya dari segerombolan anak buah lintah darat yang hendak memperkosa dan menjual tubuhnya demi membayar hutang-hutang keluarganya. Ia bahkan membantai banyak orang demi memastikan lintah darat itu tak menyebabkan masalah di kemudian hari. Itulah yang membuat Destiny selalu memanggil Ray sebagai Ammit, dewa kuno mesir yang menjaga keadilan dengan cara membantai siapapun, bahkan mereka yang belum melakukan kesalahan sekalipun.

"Selalu layak dicoba. Siapa yang tau Ammit sudah menjadi lembek sekarang?" sahutnya sambil menjulurkan lidahnya.

Ray menghela nafas berat. Dari mereka bersepuluh, Destiny adalah yang paling ia sayang. Ia selalu lemah ketika menghadapi gadis ini, dan cenderung menuruti setiap keinginannya. Tapi itu dulu. Ia sekarang bukanlah sosok itu. Smiling Demon sudah lama mati...

"Menjauhlah dariku, Des. I'm not who i used to. No more SD, no Ammit. Just Ray. Nasehat terakhirku untukmu, tinggalkan dunia itu sekarang, dan pergi sejauh mungkin..."

"Kemana Ray? Aku hanya punya satu rumah. Aku sepuluh bersaudara, 2 diantara mereka mati dan 1 berhianat lalu memburu kami. Katakan padaku, aku mesti kemana?!" isak Destiny keras, yang membuat badannya bergoncang keras menahan tangis yang hendak meledak. Darah mulai mengalir dari bibir yang ia gigit kuat-kuat. Kali ini, emosi itu tak lagi palsu.

"Aku tak memiliki rumah untuk pulang, Ray. Rumah yang kumiliki, dihancurkan saudaraku sendiri. Aku mesti pergi kemana??! Bantu aku, SD, FUCKI!!"

Ray segera merengkuh gadis, tanpa memperdulikan hujan pukulan yang datang darinya, ia membiarkan Destiny meluapkan emosi. Cukup lama Ray membiarkan tangis gadis itu tercurah, membuat satu-satunya baju yang ia bawa untuk keperluan meeting hari ini basah kuyup oleh tangisnya. Baru ketika isak gadis itu agak mereda, baru Ray mendorongnya dengan lembut.

"Berikan kuncinya. Sudah cukup lama aku tak mengendari mobil mewah begini."

Sorot mata terkejut bercampur kebahagiaan yang muncul di mata lebar yang saat ini sembab penuh air mata itu sungguh nyaris membuat pertahanan mental Ray runtuh.

"Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Aku cuma mau menghemat biaya transport ke Jakarta. Taksi online dari sini ke Jakpus hampir 200rb, dan aku tak memiliki terlalu banyak uang untuk dibuang."

Gadis itu kembali menjulurkan lidah dengan centil, mengeluarkan kunci dari dalam tas kecilnya dan nyaris berjingkrak memutari badan mobil untuk masuk ke sisi penumpang. Senyum ceria yang ia paksakan untuk muncul di wajah penuh bekas air mata itu makin membuatnya terlihat menyedihkan.

"Anything you say, Amm, Ray, sorry. I'm just missing you, that's all..." ujarnya lagi.

Ray termenung, dan sungguh-sungguh berharap ia memiliki kemampuan untuk bisa bilang "menjauhlah dariku..." tapi nampaknya ia salah. Lagi-lagi, sepertinya ia akan kembali melakukan hal yang akan ia sesali.