Kondisi keuangan keluarga yang makin sulit, makin membuat Ray kecewa dan marah. Melihat bagaimana banyak teman sekelas yang menaiki motor keluaran terbaru atau bahkan malah diantar sopir ke sekolah, membuatnya iri tak kepalang. Belum lagi tentang beragam jenis liburan yang sering mereka ceritakan, bimbingan belajar yang mereka ikuti, atau bahkan hanya hal seremeh berapa uang saku yang mereka miliki, membuat Ray marah. Ia jengkel dan sebal pada kenyataan bahwa ia sering harus menahan keinginan untuk sekedar membeli gorengan atau makan di kantin sekolah. Ini terutama menyumbangkan rasa enggan baginya untuk pergi ke sekolah favorit dimana ia adalah salah satu siswa di sana itu. Seringkali Ray melewatkan waktunya di jam sekolah dengan menjadi seorang kenek bus antar kota antar provinsi untuk mendapatkan uang. Ray malu mengakui bahwa meski mereka bersekolah di tempat yang sama, dunia mereka benar-benar berbeda.
Seiring waktu, Ray tumbuh menjadi seorang remaja berotak terang berkemampuan kognitif dan penalaran tinggi dengan tinju dan tendangan setajam pisau baja dengan karakter yang miring akibat kekecewaannya pada dunia. Pria kecil itu mulai kehilangan arah dan tujuan, hingga akhirnya, takdir membawanya bertemu orang itu, sosok yang akhirnya membuat Ray tumbuh jadi sosok dia nantinya.
Sore itu tak jauh berbeda dengan waktu lainnya. Pedagang-pedagang mulai menggelar dagangan mereka, sementara lampu-lampu pompa mulai menyala dimana-mana, mengubah area Alun-Alun Kidul yang panas di siang hari itu, menjadi tempat ramai yang tak jauh berbeda dengan pasar malam. Para tukang becak yang mangkal di banyak lokasi jalan tembus mulai berceloteh, mencoba menarik banyak manusia yang mulai mengalir memasuki tempat itu untuk menggunakan jasa mereka. Sementara wanita-wanita tuna susila mulai membanjir keluar dari gang-gang tempat mereka biasa berdiam, berharap mangsa hari ini lebih baik dari kemarin supaya mereka bisa bertahan sehari lebih lama. Lusinan orang juga mulai tampak di tengah alun-alun, sambil tertawa-tawa gembira, mencoba untuk melewati gang diantara dua pohon beringin besar yang akrab disebut Ringin Kurung itu dengan mata tertutup. Konon katanya, kalau seseorang berhasil melewati gang di antara kedua pohon itu dengan mata tertutup, semua keinginannya akan terwujud. Hal yang menurut Ray sangat konyol. Jika berjalan melewati pohon dengan mata tertutup bisa membuatmu jadi kaya atau pintar, tak perlu ada sekolah. Suruh saja semua orang berjalan melewatinya, niscaya bangsa ini akan sukses tanpa berkata.
Remaja pemberontak itu melihat sejenak ketika kemudian rasa bosan kembali menguasai meski saat ini, ia belum memiliki keinginan untuk pulang. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan tanpa tujuan. Pikirannya penuh dengan beragam andaikata, kalau saja dan jika yang semakin membuatnya muak dengan kondisi hidup yang ia miliki. Amarah terus saja bergolak dalam hati, apalagi sejak pelatihan neraka dari Kakek memasuki level baru, dimana seringkali, latihan-latihan itu membuatnya melihat hal-hal yang tak terlihat oleh manusia lain. Namun ketika langkah membawanya pada gang kecil yang gelap, keributan itu menariknya dari lamunan penuh angkara dalam otaknya.
"Maaf, Pak. Kami cuma diutus. Kami harap tidak ada dendam yang terbawa ke alam kubur."
"Kamu dibayar berapa untuk membunuhku?"
"Itu bukan urusanmu. Kuberitahukanpun tak ada gunanya. Informasi apa yang berguna untuk orang mati?"
"Puaskan aku sebelum mati. Siapa yang mengutus kalian?"
"Itupun tak penting untukmu, Pak. Kau cuma punya pilihan untuk mati tenang tanpa perlawanan, itu yang terbaik."
Sosok pria yang berada di tengah kepungan itu tampak sangat tenang meski delapan orang yang membentuk lingkaran di sekelilingnya itu sudah mengeluarkan berbagai senjata tajam. Tampaknya ia mampu menerima kondisi ini dengan santai. Ia tertawa sebelum kemudian mengenakan mengeluarkan bare knuckle dan mengenakannya.
"Baik, hanya saja akan menyedihkan jika aku mati tanpa melawan. Minimal harus ada seseorang yang menemaniku. Kudengar, jalan menuju neraka sangat sepi. Akan asyik jika ada teman." balasnya sambil tertawa kecil, dan ketika pandangannya jatuh pada Ray, yang terpisah beberapa meter dari mereka, pria itu kembali bicara.
"Menjauhlah dari tempat ini, Nak. Ini bukan sesuatu yang layak dilihat bocah seusiamu."
Dan ketika beberapa di antara pengeroyok itu memalingkan wajah untuk melihat siapa yang muncul dan mengganggu, pria itu sudah bergerak.
Tinjunya yang berlapis cincin besi menghunjam dengan keras ke titik sambungan antara leher dan kepala salah satu pengeroyoknya, mengirim korbannya ke dalam tidur abadi bahkan sebelum ia sadar apa yang terjadi ketika derak keras tumbukan tinju itu meremukkan tengkoraknya. Tapi pria itu tak berhenti. Dan sebelum gerombolan itu sadar, 3 dari mereka sudah tergeletak tanpa mampu bergerak. Ini membuat pimpinan gerombolan itu murka dan mulai mengeroyok pria itu.
Meski tangguh, ketika dihadapkan pada keroyokan 5 orang, terang saja pria itu kalah. Badannya mulai mengucurkan darah dari sayatan benda tajam dalam berbagai ukuran, walau ia berusaha sekuat tenaga untuk melawan. Tapi ketika ia melihat Ray malah menonton, ia meradang.
"Lari, Bocah! Setelah mereka selesai denganku, mereka pasti membunuhmu! Lari sana Bocah!!!"
"Huh, masih sempat mengurusi orang lain. Khawatirkan saja dirimu sendiri, Ngat!" sergah sosok lain yang terus mengayunkan belati tajam di tangan, menorehkan luka lain pada pria yang mulai kepayahan itu. Hanya saja, celetukan yang terdengar kemudian sedikit membuat gerombolan itu terperangah.
"Menang pake keroyokan, menghadapi orang tanpa senjata tajam kok bangga. Sampah!"
Dan sebelum yang lain menyadari apa yang terjadi, Ray meledak maju untuk larut dalam keributan. Rapalan gaib terdaras dalam batinnya, memaksa baju besi spiritual muncul dan melapisi tubuhnya. Tinjunya yang kecil, terbalut energi yang nyaris terlihat oleh mata telanjang, menebarkan bencana ketika terbenam di tubuh salah satu pengeroyok itu, membuatnya terpental dan menabrak dinding gang.
"Wow, pantas Kakek tak memperbolehkan ilmu ini untuk berkelahi melawan bocah seumuran." gumamnya sambil melihat tinjunya, sedikit takjub melihat hasil yang dimunculkan oleh tinjunya. Senyum kejam tampak muncul di sudut bibirnya tanpa ia sadari.
Melihat rekannya dikirim terbang oleh seorang bocah, salah satu yang lain, segera menghujamkan belati ke arah perut Ray sebelum yang terakhir sadar akan bahaya yang datang. Tapi entah bagaimana caranya, ujung tajam belati itu berhenti beberapa mili sebelum menyentuh kulit Ray. Melihat ini, senyum kejam di bibir bocah itu terkembang makin mengerikan ketika badai pukulan meledak, nyaris membuat penyerang yang memiliki badan jauh lebih besar darinya itu berubah menjadi daging tumbuk.
"Haaa, 2 tumbang. Aku belum puas bermain. Ayo!" teriaknya tanpa mampu menyembunyikan kegilaan dalam suaranya.
Dan bahkan pria yang dibantunya itu saja merasa gentar ketika melihat bocah yang mungkin baru berusia sekitar 15 tahun itu, menyeringai kearah mereka dengan tinju penuh darah.
"Kau hebat, Bocah! Kalau aku selamat dari ini, kutraktir kau Nasi Goreng Babi di dekat hotel Inna Garuda sana." teriaknya girang, mencoba menepis rasa gentar yang sempat muncul melihat tampilan mengerikan bocah itu.
"Kau sendiri yang berjanji, Pak Tua. Kebetulan aku belum makan sejak pagi!" desis Ray senang ketika langkahnya cepat, meledakkan tinjunya ke arah pengeroyok yang mulai kehilangan keinginan tempurnya itu. Menghadapi satu orang saja mereka membutuhkan delapan orang, dan itupun masih harus merelakan tiga orang di antara mereka tumbang, sementara saat ini, ada lagi satu monster kecil yang lebih mengerikan untuk ditangani. Perkelahian ini benar-benar tak memiliki harapan untuk dimenangkan.
Dan memang benar saja. Tak butuh waktu lama, Ray berjalan keluar dari gang itu, sementara pria yang berkelahi bersamanya itu menjadikannya sebagai tumpuan. Rupanya ia mendapatkan terlalu banyak luka meski nyawanya belum lagi terancam.
"Coba kau cari becak sana, Boy. Tempat makan itu lumayan jauh dari sini, dan badanku tampaknya tak akan mampu berjalan sejauh itu." dengusnya.
"Ku kira kau bercanda, Pak Tua. Sebelum kita sampai disana, kau pasti mati kehabisan darah. Lebih baik kita ke rumah sakit saja." balas Ray membantah pernyataan pria itu.
"Namaku Pangat, bukan pak tua. Usiaku belum lagi 40 tahun, Bocah. Dan tak boleh ada bagian dari Laki-laki yang mengijinkannya untuk mengingkari janji yang ia buat apapun resikonya, kau tahu? Jadi meski aku harus mati, kutraktir kau Nasi Goreng seperti janjiku!"
Mau tak mau, Ray sedikit teringat pada Kakek dengan segala petuah bijaknya tentang bagaimana harusnya menjadi seorang Lelaki. Ray tertawa sebelum akhirnya mengulurkan tangannya ke arah pria itu.
"Namaku Ray, Pak, dan janjimu akan mentraktirku jika kau selamat kuterima dan kuingat. Sayangnya, saat ini kau belum lagi selamat. Jadi untuk mentraktirku, aku sungguh berharap kau selamat. Sementara kalau kau tak ke rumah sakit, kau tak akan selamat. Kukira kau tak tulus hendak mentraktirku." ujarnya sambil tertawa yang segera disambut gelak tawa membahana dari pria yang menyebut dirinya sebagai Pangat itu.
"Kau boleh juga, Bocah. Tampaknya kau benar-benar bukan bocah biasa. Baik, carilah becak sana. Aku akan penuhi janjiku dan tak akan mati dalam prosesnya!" balasnya sambil terus tergelak-gelak, memotong protes Ray dan mendorongnya untuk mencari becak.
Dan itulah kali pertama Ray bertemu dengannya. Sosok yang kemudian akan menjadi teman sekaligus mentor yang mengenalkannya pada dunia baru, dunia yang akan disesalinya di kemudian hari meski keberadaannya di dunia itu mampu membuat nyaris semua keinginannya bisa tercapai.