Chereads / The Life of an Ex-Drug Lord / Chapter 4 - Humiliating First Encounter

Chapter 4 - Humiliating First Encounter

Mendecakkan lidahnya dengan kagum, Ray terus saja melangkahkan kakinya perlahan. Ia tak bisa berhenti mengagumi tata ruang dan kemewahan rumah yang terlihat sangat sederhana dari luar ini.

"Sialan, orang kaya sih memang beda. Baru kali ini aku melihat rumah model beginian." decak batin Ray tanpa mampu menahan rasa iri di hatinya.

Sebelumnya, Pangat bersikeras untuk menemaninya membeli nasi goreng yang ia janjikan, meski kemudian Ray memintanya untuk membungkus makanan itu dan membawanya pergi. Tatapan yang datang dari orang-orang yang melihat sosok bersimbah darah penuh luka di dalam becak benar-benar membuat Ray tak nyaman. Tapi tampaknya pria itu tak perduli. Ia masih saja mengoceh dengan penuh semangat tanpa menghiraukan muka si pengemudi becak yang makin lama makin pucat melihat darah yang terus menetes ke jok becaknya. Untung saja akhirnya pria itu mau meneruskan perjalanan, dan tak berapa lama, jalan aspal halus dengan pohon-pohon besar tertanam di bahkan di jalur pembatas jalan menyambut mata Ray. Jajaran rumah-rumah dengan pagar besi berdinding berdiri di kiri dan kanan jalan. Bagi Ray yang berasal dari sebuah kota kabupaten kecil di mana pagar untuk rumah dianggap sebagai sebuah pemborosan dan sekat masyarakat, tempat ini adalah surga kemewahan. Tapi belum pupus rasa kagumnya, ia kembali dikejutkan ketika mereka berhenti di depan sebuah rumah dengan lahan yang luas.

"Kau turunlah dulu, Ray. Cari tombol bel di sisi kanan atas pojok dalam pagar, lalu bantu aku turun, Bocah. Kakiku sudah lumayan agak lemas sekarang." tukas pria itu sambil menyeringai.

"Huh, jelas lemes, Pak tua. Sejak tadi, mungkin sudah hampir 1 liter darahmu merembes keluar. Mungkin kau mau menulis surat wasiat dulu dan mewariskan rumah ini padaku saja? Udah bocor begini, bukannya ke rumah sakit malah pulang. Orang gebleg!" gerutu Ray setelah kembali dari menekan bel dan mulai membantunya turun dari becak.

"Sialan, kau mendoakan aku mati, Bocah?! Tenanglah, bantu aku masuk. Aku tak akan mati." gelaknya sambil menampar kepala Ray lembut.

"Ehm, anu, ngapunten (maaf). Niki pripun (ini bagaimana) Pak?" sahut si tukang becak cemas tanpa mampu menyembunyikan wajah cemas. Meski takut, rupanya ia memaksa memberanikan diri untuk menanyakan pembayaran yang dijanjikan.

"Ditenggo sekedap nggih (ditunggu sebentar ya) Pak. Kula pendet yatra kagem panjenengan (saya ambilkan uang untuk bapak)." sahut Pangat dengan lembut. Tutur kata sopan dalam bahasa jawa halus itu rupanya mengagetkan si tukang becak yang ketakutan.

"Aduh, agak lembut sedikit, Bocah sial!" lanjutnya sambil memukul kepala Ray lagi.

"Pak tua, jangan kau pukul kepalaku terus. Kalau aku jadi bodoh, apa kau mau tanggung jawab?!" sentak Ray gusar, meski ia terus berusaha membantu pria itu dan berusaha memapahnya masuk rumah.

"Ah, kau ini sudah bodoh. Tambah sedikit lagi tak akan jadi masalah." gelaknya sebelum rasa sakit mengubah tawanya menjadi erangan sengsara.

"Bapak!!!"

"Bapak!!

"Sial, siapa yang melakukan ini Pak?!!"

Ray terperanjat ketika beberapa teriakan panik berselaput amarah muncul bersama beberapa pemuda yang muncul dari rumah yang sederhana namun sangat luas itu.

"Jangan banyak bicara. Kithul, siapkan ruang operasi, lukaku perlu dijahit. Penceng, kau lari ke PMI, hubungi Margo, minta sediakan 4 kantong darah O negatif. Dani, kau ambil uang untuk bapak becak ini sepantasnya, aku sudah mengotori becaknya dengan darahku, akan susah mencucinya. Pronto!"

Dan efektifitas mereka benar-benar mengejutkan. Hanya dengan beberapa kalimat dari pria yang tengah kepayahan disampingnya ini, pemuda-pemuda yang sebelumnya tampak panik itu segera tenang. Perintah segera dilaksanakan dengan cepat, dan bahkan sebelum Ray sadar, pagar berat dari besi tempa setinggi hampir 4 meter itu sudah terbuka lebar. Tertatih, pria itu mulai melangkah dalam dukungan 2 orang yang menyusul muncul, meninggalkan Ray yang terbengong-bengong dengan plastik berisi bungkusan nasi goreng di tangannya.

"Kau tak mungkin pulang jam segini, Bocah. Untuk apa kau termenung disitu! Masuk! Aku urus lukaku dulu." teriaknya ketika menyadari Ray tak menyusul langkahnya.

Menyadari kalau malam sudah datang, Ray cuma bisa menghela nafas dan menyusul masuk. Memaksa pulangpun bisa dibilang tak mungkin. Saat ini, dia terdampar di area yang tak dilewati oleh bus kota, yang tentu saja, sudah berhenti beroperasi sejak setengah jam yang lalu. Transportasi yang paling dimungkinkan adalah kereta barang pemuat semen yang akan lewat dalam 4 jam kedepan.

"Ah, mungkin nanti aku minta tolong diantarkan ke Lempuyangan saja. Naik grenjeng (sebutan untuk kereta barang)." batinnya.

"Mas, tadi Bapak kenapa? Mas bantu Bapak atau gimana?"

Tiba-tiba saja, pemuda yang dipanggil Dani tadi muncul dan menanyai Ray, tapi belum sempat ia menjawab, Dani sudah kembali berbicara.

"Ah, maaf. Nanti. Aku tak bayar becak dulu." ucapnya sambil bergegas pada tukang becak yang masih menunggu dengan was-was.

"Pak, harga becak Bapak berapa? Daripada Bapak repot, mendingan Bapak beli becak baru saja ya, yang ini ditinggal disini. Nanti Bapak biar diantar pulang. Ini ada uang lima juta, semoga cukup untuk beli becak baru, dan tolong lupakan apapun yang terjadi hari ini."

???

"Sialan, harga becak baru cuma 200 ribu. Dikasih lima juta???" dengus batin Ray, yang mulai mengendus sesuatu yang mencurigakan.

"Aduh, becak kulo namung 150rb mundhut e, Mas. Niki kekathahen. (Aduh, becak saya hanya 150rb, Mas, ini kebanyakan.)" sahut si tukang becak yang mungkin bahkan belum pernah melihat uang sebanyak itu sepanjang hidupnya sekalipun, tapi Dani cuma tersenyum dan memaksa.

"Yang penting Bapak lupa, antar siapa, bagaimana kondisinya, dan diantar kemana penumpang Bapak hari ini dan uang ini milik Bapak. Tapi kalau tidak, tolong jangan salahkan saya ya Pak."

"Enggih, Mas, enggih. Kula pun kesupen kok!!! (Iya, Mas, iya. Saya sudah lupa kok)" ujar tukang becak itu ketakutan. Ia bahkan tak menggubris barang-barang pribadi yang biasa ia simpan di belakang jog becaknya. Setelah mengambil uang dari Dani, pria setengah baya itu segera berlalu secepat ia bisa.

"Astaga, kenapa lari coba? Berasa kayak hantu aja aku." gumam Dani sambil menggaruk-garuk kepala, meski seringai muncul di bibirnya.

"Hmm, siapa yang tahu dia bakal bisa nikmati uang itu ya Mas? Yang bisa beneran lupa kan cuma orang mati ya?" celetuk Ray yang segera disambut tawa terbahak-bahak.

"Wah, kamu mengerikan, Mas. Ngeri aku sama kamu. Ayo masuk dulu. Saudara yang lain pasti ingin tahu kejadian macam apa yang bisa membuat Bapak terluka separah itu." sahutnya sambil merangkul badan Ray dan setengah memaksanya untuk memasuki rumah.

"Wah, wah, wah, tampaknya aku juga diperlakukan macam pak becak tadi ya? Lupa atau jangan salahkan kami? Mending pak becak dapat lima juta, lha aku dapat apa?" sindir Ray ketika merasakan kalau rangkulan Dani lebih seperti mencegahnya melarikan diri.

"Kamu berpikir terlalu jauh, Mas. Kami bersaudara cuma pengen tahu apa yang terjadi. Lima juta cuma receh. Kalau bener kamu bantu Bapak selamat, jangankan lima juta, apa yang kamu minta juga kami punya."

Tapi belum lagi mereka memasuki lokal rumah itu, seseorang pria paruh baya mendatangi mereka berdua. Sosoknya terlihat agak aneh dalam balutan baju yang mirip baju seragam yang dikenakan pelayan dalam berbagai telenovela di televisi.

"Master sedang menjalani perawatan. Mas Dani dipersilahkan melakukan apapun yang harus ia lakukan sebelumnya." ucapnya pada Dani, dan ketika ia melihat pada Ray, ia kembali berbicara dengan nada datar yang sama, " Master Ray, silahkan ikuti saya."

Dani mendengus lalu melepaskan badan Ray dari rangkulannya dan sedikit menekuk badannya ke arah pria paruh baya itu dengan ganjil, dan berlalu. Tampaknya ia sedikit segan dengan pria paruh baya itu. Sementara Ray, yang sebenarnya bingung dengan apa yang sedang ia jalani saat ini, hanya mengangkat bahu dan mengikuti pria paruh baya itu. Dan seiring langkah yang ia ambil, Ray semakin kagum dan takjub akan rumah ini.

Apa yang tampak di depan, ternyata hanyalah samaran sempurna dari kondisi di balik bangunan. Tanpa memasuki rumah, orang tidak akan pernah mengira kalau bangunan rumah yang sebenarnya, dibangun hampir 6 meter di bawah permukaan tanah. Jadi bisa dibilang, bangunan 2 lantai yang nampak dari depan itu adalah gerbang dari bangunan yang sesungguhnya.

Air mancur dan kolam kecil, taman dengan berbagai macam bunga dengan rumput yang terpotong rapi, alur pedestrian dengan canopy tumbuhan merambat yang berakhir di sebuah gazebo bambuu mengkilat segera menangkap mata Ray dan mengisinya dengan kekaguman.

"Astaga, rumah macam apa ini?" desis pikiran Ray kagum.

Tapi si pria paruh baya itu terus saja berjalan menuju rumah utama, dan setelah melewati beberapa ruangan yang membuat Ray tak berhenti mendecakkan lidah dan mengeluarkan siulan kagum, ia berhenti di depan sebuah pintu, membukanya dan mempersilahkan Ray masuk.

"Silahkan berisitirahat dulu, Master Ray. Kamar mandi dilengkapi shower, bathup dan jacuzzi dengan air panas jika Master ingin menyegarkan diri. Ada beberapa baju ganti yang bisa digunakan di lemari. Jika Master Ray memiliki keinginan khusus, tolong tekan bel di sana dan akan ada seseorang yang akan melayani Master." jelasnya sambil menunjuk pada titik di dekat meja pinggir tempat tidur.

Gila!!!

Ray hanya mampu terpana melihat ini semua. Matanya sudah nyaris kebas saking banyaknya ia membelalak. Sebelumnya, ia masih menantikan untuk merasakan seperti apa rasa nasi goreng seharga 30rb di tangannya ini, dan sekarang, ia bahkan dihadapkan pada kemewahan yang belum pernah ia lihat bahkan di televisi sekalipun. Melihat bagaimana si pria paruh baya dalam balutan seragam pelayan itu masih menunggunya masuk, Ray merasa harus bicara sesuatu yang cerdas.

"Anu, saya tidak tahu rasa shower dan jacuzzi itu, Om. Apa boleh saya pinjam sendok saja, saya masih punya nasi goreng ini..."