Jogjakarta, 1997
Terlahir dalam sebuah keluarga dengan kemampuan ekonomi yang lemah, Ray kecil berjuang setiap hari dalam hidupnya. Ayahnya, yang cuma seorang pegawai rendah di salah satu perusahaan milik negara, benar-benar kelelahan dalam menghidupi keluarga. Apalagi dengan empat orang anak yang semuanya masih dalam usia sekolah, yang membutuhkan beragam biaya tak masuk akal yang seringkali dibebankan sekolah pada orang tua siswa. Tapi ayah bertahan dengan keras kepala. Menggunakan setiap cara yang dimungkinkan tanpa melanggar etika moralnya sendiri, ayah Ray memastikan setiap anggota keluarganya aman, terlindungi dan sejahtera meski hidup dalam kekurangan. Apapun yang terjadi, beliau terus mendorong anak-anaknya dan terus berusaha menanamkan pemikiran bahwa dengan memiliki pendidikan yang cukup, akan mampu membuat seseorang mengubah takdirnya sendiri, bahkan jika tak memiliki koneksi sedikitpun.
Bukan sebuah rahasia jika ketika itu, tanpa memiliki koneksi yang tepat, tak perduli setinggi apapun ijasah dan kemampuan yang dimiliki, tak mungkin diterima bekerja di sebuah perusahaan yang layak. Atau mungkin seseorang harus membayar sejumlah besar uang jika menginginkan sebuah posisi di bidang tertentu. Tak perduli ia mampu atau tidak, selama mereka bisa membayar, apapun bisa diraih.
Celakanya, keluarga Ray sama sekali tak memiliki satupun persyaratan yang dibutuhkan demi menunjang kesejahteraan itu. Tanpa koneksi yang bagus, sama dengan tak bisa kerja layak dengan gaji yang cukup. Tanpa gaji yang cukup, tak mungkin ayah Ray mampu menyediakan sejumlah besar uang untuk memastikan anaknya dapat memperoleh jaminan masa depan yang baik. Dan tentunya, tanpa ada jaminan masa depan yang baik, kesulitan memperoleh koneksi yang tepat akan benar-benar meningkat dengan drastis. Dan entah karena memiliki karakter moral yang kuat atau sekedar putus asa, jadilah ayah Ray sosok yang sedemikian optimis-realistis, yang menganggap bahwa meski tanpa koneksi, otak yang terlatih untuk berpikir cerdas akan mampu menemukan jalan untuk mendobrak lingkaran setan ini dan menciptakan takdirnya sendiri. Untungnya, anak-anaknya memiliki otak yang tajam meski tak terlalu mendapat asupan gizi yang sesuai dengan apa yang mereka mampu. Khususnya Ray kecil.
Memiliki anugrah berupa kemampuan kognitif yang sangat tinggi, bocah yang berbadan lemah itu menyelesaikan pendidikan dasar hanya dalam 4 tahun. Dan ketika akhirnya ia mengikuti ujian kelulusan Sekolah Dasar, ia bahkan meraih nilai tertinggi se-kabupaten ketika usianya baru setara dengan rekan-rekannya yang masih duduk di bangku kelas 4. Jadilah Ray, siswa SMP termuda yang pernah ada di Kabupaten kecil yang terletak di antara kota Surakarta dan Jogjakarta itu. Sayang, sistem pendidikan yang sedemikian kaku pada saat itu, sama sekali tak mampu mengakomodasi kemampuan Ray, ditambah dengan kenyataan kondisi ekonomi lemah yang dimiliki keluarganya, Ray kecil terpaksa harus menerima keadaan. Mempelajari beragam hal yang sudah mampu ia selesaikan jauh hari sebelumnya hanya karena teman-temannya tak mampu mengikuti kemampuannya, sementara keluarganya tak mampu menyediakan kondisi pendidikan yang sesuai dengan perkembangan otaknya.
Ray kecil mulai malas hadir di sekolah. Ia tak lagi memiliki kemauan untuk duduk dan mempelajari hal-hal yang sudah ia ketahui dalam ruang kelas yang semakin lama, terasa semakin membuatnya muak. Sayangnya, kemampuan kognitif Ray yang kuat, mulai mengajarinya jalan-jalan yang memastikan dirinya tak terlibat masalah akibat ketidak-hadirannya di sekolah. Ray mulai belajar berbohong, dan ternyata sangat pandai dalam melakukan itu. Ketika ia menciptakan 'kenyataan baru', yang memang akan menjadi sebuah cemohan jika hal itu hanya sebagai sebuah kebohongan saking mendekatinya kebohongan itu dengan kenyataan, hampir tak akan ada orang lain yang menyadarinya. Ray akan memastikan setiap detail yang ia munculkan memiliki alibi, sebab, dan peristiwa khusus yang membuat orang percaya apapun yang ia katakan, dan memang ia berhasil mencapai itu.
Kecuali untuk satu orang. Kakeknya, ayah dari ibu Ray, seorang pensiunan Kepala Stasiun yang pernah ditahan karena dikira sebagai partisan partai terlarang di Indonesia. Meski akhirnya tuduhan itu tak terbukti dan kakek dibebaskan kembali, kejadian itu telah menghancurkan hati istri tercintanya dan akhirnya mengirim wanita lembut hati itu ke peristirahatan terakhirnya dalam kesedihan.
Lelaki tua itulah yang mampu melihat apapun yang dibuat oleh Ray.
"Kenyataan yang dibuat, meski se-realistis apapun, tetaplah bukan kenyataan, Le. Sepahit apapun, Laki-Laki adalah mereka yang mampu menerima segala macam jenis badai yang datang dan menghadapinya dengan tegar, bahkan jika itu mampu mencabut nyawanya. Lari tak pernah menyelesaikan masalah." ujarnya pada suatu ketika.
Sore itu, Ray memang pulang ke rumah dalam kondisi babak belur. Bibirnya pecah dan bengkak, sementara salah satu matanya lebam dan hidung yang tak henti mengalirkan darah. Dalam rasa malunya, ia menceritakan kejadian pada kakak-kakaknya perihal ia berkelahi melawan 5 orang, melukai 2 dan mengalahkan mereka meski berakhir babak belur. Hal yang menimbulkan kemarahan sekaligus kekaguman kedua kakak lelakinya ketika akhirnya, keduanya memutuskan untuk mencari lawan-lawan Ray untuk membalasnya.
"Kau sudah menciptakan bencana bagi lima orang yang kau sebutkan dalam ceritamu, dan pastinya, masalah untuk kedua kakakmu jika sampai mereka melakukan tindakan pemukulan pada mereka yang lebih muda. Apa kau paham hal ini, Ray?"
Bocah itu hanya tertunduk sambil menutul-nutul luka di bibirnya tanpa mampu berucap apapun. Ia merasa kalau kebohongan yang ia ciptakan, ditelanjangi habis-habisan oleh Kakek.
"Hanya kali ini saja ya, Cah Bagus. Mulai besok, kakek akan ajari kamu cara supaya tak perlu lagi kau menciptakan kenyataan baru tentang kekalahanmu dalam berkelahi dengan gadis teman kelasmu itu, dan mungkin bahkan bisa mengatasi keroyokan 5 teman pria-mu jika akhirnya mereka benar-benar melakukannya."
Sial, kakek bahkan bisa tahu kalau ia berkelahi dengan salah satu teman cewek, yang rupanya memang menguasai seni bela diri yang lumayan. Hasilnya, Ray dipukuli habis-habisan.
Hanya setelah beberapa waktu kemudian Ray tahu bahwa Kakek melihat luka serupa cakaran yang tertinggal di lehernya ketika gadis itu membantingnyalah yang mengungkap lawan Ray sebenarnya. Kemampuan pengamatan yang sangat kuat ini rupanya yang telah membongkar kebohongan Ray didepan Kakek, yang membuat bocah itu akhirnya memiliki satu-satunya orang yang ia takuti, meski didikan keras dan gemblengan ilmu olah tubuh, spritual dan kanuragan yang menyusul kemudian juga menyumbangkan rasa hormat dan segan dalam porsi yang tidak kecil.
Dan ketika hari-hari pelatihan neraka itu dimulai, Kakek mencurahkan semua yang ia kuasai dalam semangat balas dendam untuk memastikan cucunya menjadi seorang pilih tanding. Beragam jenis puasa, rapalan bermacam ilmu gaib, hingga kemampuan bela diri fisik tanpa henti di sela waktu sekolahnya, mulai membentuk badan lemah Ray menjadi sosok liat yang dirancang khusus untuk pertempuran. Sementara penjelajahan gunung dan tempat-tempat pertapaan wingit yang dilakukan di waktu liburnya, mulai membentuk karakter Ray dan memperdalam kemampuan penalarannya.
Sayang, beragam peningkatan itu tidak berjalan seiring dengan kondisi pemikiran Ray yang penuh dengan berbagai macam kekecewaan akibat minimnya kondisi ekonomi yang dimiliki keluarganya.