"Periksa tempat liburan baik-baik sebelum masuk."
Regas tak lepas pandangan. Tatapan tajam menusuk. Regas ngomel. Siapapun dapat tatapan itu pasti tergoda jambak rambut Regas biar rontok.
Anak kecil nakal. Bagi Regas orang-orang di depannya anak kecil nakal tak terbendung. Semua orang menunduk tak terkecuali Azka. Azka masih mengumpulkan nyawa. Rasa takut berbekas.
"Tempat ini sudah jarang dikunjungi orang. Katanya ada hantu sungguhan."
"Terus kenapa masih dibuka?" Eve bertanya. Tak jauh beda dengan Regas, Eve menatap datar.
Regas berdecak. Tangan di saku celana angkuh.
"Hanya orang benar-benar berani yang datang. Kan sudah diperingatkan."
Semua orang lihat Max. Max melihat ke arah lain. Mulut maju sembari mata bergerak gelisah. Orang-orang menghela napas. Sudah tahu siapa penyebab kejadian tersebut.
"Ya sudah, ayo pulang." Azka beranjak.
"Az."
Eli tarik kerah baju Azka hingga lelaki tersebut sulit berjalan. Tertahan. Mata Regas memicing.
"Traktir aku, kau lupa?"
"Tidak. Ayo."
Ara melirik Azka dan Eli pakai ekor mata. Lalu berganti lihat Regas. Hal serupa dilakukan Max. Eve berdehem "Kita tidak pulang?"
"Pulang, ayo." Regas tanpa sadar tarik tangan Eve.
Sayang sekali Eve menarik kembali tangannya. Tak mau dipegang Regas. Regas tak tersinggung. Tindakan Regas refleks.
"Ara, kemari." Regas beri isyarat Eli mendekat.
Ara menurut. "Ayo pulang." Sebelum ikut Regas, Ara sempatkan berucap.
"Azka, setelah traktir kak Eli, antar ke rumah. Awas kak Eli pulang naik taksi."
"Em."
***
Eli dan Azka tiba di sebuah taman hiburan.
"Sekalian jalan," ucap Eli semangat.
Azka datar. "Aku bilang traktir, Eli, bukan jalan-jalan."
"Hidupmu kaku, biar aku ajarkan cara menikmati hidup," balas Eli tak mau kalah. Jika tak ingat Eli membantu, Azka dorong Eli ke kolong jembatan. Mumpung saat itu mereka memang di jembatan kecil.
"Belikan aku ice cream."
"Kau?" Azka mendelik.
"Kau tak bilang traktir aku satu barang. Kau bilang terserahku mau minta traktir apapun."
"Shit."
"Oke, atau lagi, belikan aku kalung."
Sebelah alis Azka terangkat. Oke, Eli yang mau. Biar ia buat semuanya mudah. Bukan hal sulit.
***
"Turun, janjiku selesai. Lain kali kita kencan lagi."
Eli mendengus. Azka pencicilan, pantas Eli sedari kecil tidak suka. Eli ingat, saat kecil sering pukul kepala Azka. Baik dengan tangan kosong ataupun barang.
"Sampai nanti."
"Tunggu, aku mau bicara."
"Soal?"
Gerakan Eli terhenti. Ia ingin mengormati Azka. "Kau bukan anak kandung Sanjaya family. Tolong bantu aku melupakan Ara. Kami saudara sepupu berdarah kental."
"What?"
Azka maju. Mengukung tubuh Eli. Detik itu juga Eli sentak bagian privasi Azka. Tiba-tiba pintu mobil terbuka.
Sepersekian detik kemudian bisa Eli rasakan tangan ditarik. Eli tak paham, satu-satunya hal yang ia tahu, seseorang tersebut marah.
"Jangan sentuh Eli."
"Hooh, aku menyukai adikmu sendiri, Regas?"
"Sial."
Eli menangkap situasi kurang baik. Harus segera dihentikan.
"Stop. Ayo pergi."
Sekuat tenaga Eli tarik Regas. Meledeni Azka sama dengan gila. Lebih baik tidak usah.
Cepat-cepat Eli tarik Regas masuk rumah.
"Dia sengaja pancing emosimu. Jangan terpancing. Hubungan Dad dan uncle Radit sudah tak baik sejak dulu. Kau tak boleh. Kontrol emosi."
"Kau sengaja?"
Alis Eli berkerut.
"Kau sengaja Eli. Kau tahu dengan kau dekat Azka, aku terpancing. Cih, kau menjijikkan. Anak pungut tak tahu diri."
Eli bergeming. Seolah tak percaya, Eli tatap Regas. Hati dan perasaan Eli sakit.
Eli menggeleng. Saat itu harus tatap masa depan. Real life hampir semuanya buruk. "Hati dan perasaanku sudah lama mati. Terserah anggap aku apa. Hidupku milikku sendiri, Regas. Kau yang pimpin dirimu, bukan aku. Kau ingin menghancurkan diri sendiri dan keluarga, kau sendiri yang rugi, bukan aku. Aku hanya ingin bilang, kau egois. Belum selesai, kau juga kekanakan."
Saat Eli beranjak, Regas tahan pergerakan. Regas tarik Eli kuat hingga mereka saling berhadapan.
"Dengar, lusa aku dan Natalie menikah."
Eli sempat mengerjap. Alis saling bertaut. Setelahnya senyum tipis muncul. "Baguslah, ku harap setelah pernikahan, kau menjadi lebih dewasa. Walau bagaimanapun kau pemilik sah Sanjaya Corp. Kami para perempuan akan buka label sendiri," ucap Eli.
Belum cukup, tangan menepuk pelan bahu Regas. Emosi Regas mengumpul. Tangan terangkat ingin pukul wajah Eli. Regas terdiam saat tangan tersebut ditahan. Eli pelakunya.
Respon Eli senada. Senyum miring.
"Jaga sikap. Aku tidak lemah. Sekali lagi, aku turut bahagia atas kebahagiaanmu. Hidupmh setingkat lebih tinggi."
Eli berlari. Regas mengerjap matanya lihat kelakukan perempuan yang baru ia hina.
"Shit, belum pernah aku terjebak keadaan menyebalkan begini," ucap Regas.
"Dia terlalu menggoda untuk aku lepas." Regas pijat kening.
***
Eli ketuk pintu kamar Ara. Sekitar beberapa kali ketukan, Eli buka pintu kamar tersebut. Percuma ketuk, toh ujung-ujungnya tak tunggu orang di dalam merespon, Eli nyelonong masuk.
"Kak?"
"Ara... Regas menikah lusa."
"What?"
Ara usap pelan kepala Eli. Saling menguatkan satu sama lain. "Hiks."
"Hey Kak, jangan nangis. Kan..."
Belum sempat Ara berucap, Eli sudah lebih dulu memotong.
"I know. Aku paham, Ar. Untuk sekarang tolong biarkan aku nangis. Kan aku jarang nangis."
"Alasan klise, Kak. Kau naif."
Klepak. Eli pukul lengan Ara. Mulut maju beberapa centi. "Heh, jangan terlalu jujur. Aku tersinggung."
Eli tatap Ara intens, mulut mengerucut. Ekspresi khas orang merajuk.
"Aku sulit napas Kak. Biar galau hilang, kita belajar, yuk."
Terenyuh, hanya itu yang Eli rasa. Pada akhirnya Eli tatap Ara intens.
Ara dengan pemikiran logis mode on. "Kan ujian sebentar lagi. Minimal kita lihat-lihat soal. Latihan. Mau soalnya dibolak-balik, kita tetap ngerti."
Mata Eli mengerjap. "Oh kau benar. Ayo belajar."
"Begini nih yang namanya waktu galau efektif. Aku sudah menyiapkan makanan buat kita, Kak."
"Bagus."
Sekitar satu jam Ara dan Eli belajar. Teringat akan sesuatu, Eli berucap ke Ara. Eli ingin mengatakan hal penting. Ara harus tahu. Mengenai hal penting.
"Ar, you know."
"No, i don't know."
Selera humor Ara beda dari orang kebanyakan. Tak jarang humor tersebut bernuansa dark.
"Aish, kau menyebalkan. But, it's oke. Soal Azka."
"Azka, why, dia berbuat tak baik ke Kakak?"
Eli mengembungkan pipi. Gemas dengan reaksi Ara. Tak habis pikir dengan kelakuan perempuan itu.
"Hih, bukan Ar. Looked."
Mata Ara membulat. "Neckless. Dia yang kasih?"
"Benar. Aku yang minta sih. Hehehe. Dugaanku selama ini benar, Ar. Azka menyukaimu."
"What?"
Ara syok, sampai mulut ditutup. Mata mencuat hampir akan keluar. Eli mengangguk setuju khas anak kecil polos. Yang mereka bahas kali itu soal hal penting. Situasi saja Ara dan Eli seolah anak kecil.
"Terus?"
"Dia minta bantuanku melupakan perasaannya."
"Kami saudara sepupu. Harusnya tidak tumbuh rasa suka."
Eli mengangguk, membenarkan ucapan Ara. I sepemikiran.
"Begitulah. Azka minta aku membantu lupa rasa suka tersebut."
"Kakak tahu artinya?"
Eli mengangguk. Ia tahu konsekuensi apapun yang ia perbuat. Terlepas dari apapun, aspek negatif pasti muncul. Soal Azka, Ara, Eli yang berpengaruh ke orang lain. Maybe, kemungkinan besar begitu.
*****