"Hey para kaum duafa. Kita pergi ke rumah aku. Kita makan-makan."
Klepak. Sudah muak, Max gaplok lengan Azka. Tiap hari kerjaan tuh orang buat kepala puyeng. Akhir-akhir itu sih mengerusuh, biasanya gak pernah.
"Kamu kurang kerjaaan? Kok ngerusuh di grup kami? Dulu-dulu kamu gak pernah ke sini." Max ngejulid. Aneh. Azka tak punya grup, lelaki itu lebih suka sendiri, agak aneh tiba-tiba Azka sering buat kerusuhan di grup squad Max.
Max pikir pasti ada udang di balik batu.
Max secara tak langsung jadi ketua, ia lelaki satu-satunya di kelompok. Tidak ada pilihan pasti mereka buat kelompok, hanya nyaman ke diri sendiri. Max pemipin tak tetap.
"Bisa kamu pergi?"
"Kamu siapa. Para perempuan gak masalah aku gabung." Azka balas ngejulid.
"Tak tahu malu." Max lanjut marah-marah. Tak terpikir olehnya akan terjebak keadaan begitu. Menyebalkan. Azka penganggu.
"Hello All."
Max pejamkan mata. Ia tengah tak ingin dirusuh siapapun, seakan Tuhan masih kurang mengirim Azka, datang lagi satu orang. Natalie lebih menakutkan.
Demi tanggung jawab, Max harus menahan diri. Max berbalik. "Why Taile. Ada yang ingin kau katakan?"
"Tidak ada, aku mau gabung ke kelompok kalian. Nih kelompok kalau diketuai kamu gak jalan. Bawaannya pasti mirip kubur. Sini, masukin aku ke grup."
Eve rolling eyes. Mereka sudah berempat, tambah satu jadi berlima. Tak masalah Azka masuk, masalahnya yang minta masuk kali itu Taile.
Mulut ember terus keluar air comberan bercampur remah cabai begitu gak baik masuk grup. Yang ada grup kacau.
"Kau tak punya malu? Kau sudah menikah."
Semua orang melihat Eve. Tak merasa salah barang sedikit, Eve angkat bahu acuh. "Sikapmu harus kau ubah. Hidup tak selamanya bebas."
"Jaga mulutmu Eve." Max ikut campur. Soal status hubungan Talie sepakat tidak diumbar.
Eve bungkam. Setelah rolling eyes, ia pun menjauh, memberi jarak aman antara ia dan Taile. Emosi Taile menggebu-gebu, yang ada Eve diamuk massal.
"Kemarikan ponsel kamu El."
Taile mempermainkan alis. Sengaja menggoda Eli. Eli menyeringai tertahan, sudah gatal tangannya ingin cakar muka Taile. Sayang seribu sayang, Taile tahu banyak hal mengenai dirinya. Dibuka sedikit, orang-orang luar menjudge Eli. Mengecam.
Tak masalah dikecam sendiri, masalahnya Eli mau hidup tenang.
Eli tak mau ambil risiko.
Eli berikan ponsel ke Taile. Belum sampai ke tangan Taile, Ara tahan pergerakan tersebut. "Jangan main-main. Tidak boleh."
"C'mon Raras. Biarkan kami masuk grup squad kalian." Taile berdecak.
"Ras, tolong dong."
Azka pakai kedip-kedip mirip perempuan genit di perempatan. Reras geli. Geli bercampur jijik. Penghujungnya Raras mengangguk. Terlintas sebuah ide di kepala Raras. Raras bersmirk.
"Sini dulu kepala kamu."
Nurut aja si Azka. Setiap kali berhubungan soal Raras, Azka paling menurut.
Mangsa sudah depan mata. klepak!
Orang-orang pejam mata lihat kejadian cukup membangongkan. Berani main-main dengan Raras, siap-siap dapat pukulan istimewa. Dapat gelas cantik.
"Gak, lain kali."
"Serius Raras, kamu gak mau?"
Talie bersmirk. Raras tak suka senyum menyebalkan itu. Kepala Raras dimiringkan.
"Serius gak mau?"
Pancing keributan adalah spesialisasi Taile. Tak perlu buang waktu, umpan tersebut termakan. Talie senang bukan main.
Eli pegang tangan Raras. Sikap Talie kurang ajar. Dengan begitu Eli harap Raras tidak marah. Tak juga mengamuk.
"Oke, aku setuju." Raras senyum. Senyum yang sebenarnya miring. Sikap kurang ajar Talie akan sangat baik jangan diladeni. Gak baik.
"Bagus, memang harus begitu," ucap Talie.
Max mengepal tangan. "Sialan, kalau bukan sepupu, sudah aku sleding nih bocah. Kurang ajar."
"Heh, ngapain di sini terus. Masuk. Gak dengar bel bunyi?"
Seorang guru menghampiri. Tak tanggung-tanggung, guru BK pula.
"Enyah dari padanganku. Masuk. Sudah kelas 12 gak sadar-sadar. Kalian calon penerus perusahaan. Persiapan diri sebaik mungkin."
"Baik Pak. Jangan marah Pak, nanti cepat tua, lho."
"Masuk kelas."
Azka bi like. Muka dibuat nyinyir. "Nasib kita kita baik nih. Sudah baik-baik anak CEO, eh tetap aja gak dapat perlakuan khusus." Azka membatin.
Azka geleng kepala. "Pantas Mom and Dad memasukkan aku ke sekolah ini."
***
"Halo Eli."
Eli risih, datang-datang Azka mengacak-ngacak rambutnya. Rambut cetar membahana Eli atur.
"Lepas, kamu siapa aku?"
Tangan Azka harus terima nasib disingkirkan secara tak hormat. Apalagi kalau bukan ditepis.
"Teman." Azka jawab sok polos, kepengen Eli becek-becek tuh muka. Kurang ajar.
Raras senyum. Lalu ia pun mendekat ke Eli. "Harus kamu yang waras menghadapi orang model beginian. Yang sabar, Kak."
Jengah, sumpah demi Tuhan rasanya Eli pusing. "Nih parasit harus disingkirkan. Heran aku, kok Raras bisa tahan dengan Azka. Bocah ini edan." Eli ngedumel dalam hati.
"Hem."
Eli dan Ara alias Raras tengah tunggu bus. Mau cari pengalaman, pergi diantar sopir, pulang kali itu sopir dilarang jemput. Ide Ara selalu manjur. Setiap saat, ide Ara selalu Eli turuti.
Sesekali naik bus ingin rasakan nuansanya cukup menyenangkan. Hasrat ingin tahu banyak mengusai pikiran Ara dan Eli.
"Kalian tunggu bus?"
"Begitulah."
"Sini deh ikut aku."
Eli mendelik. Sembari melakukan itu ia lihat Azka. Lelaki itu pakai motor.
"Sebelumnya kami ucap terima kasih banyak Az. Mohon maaf, kami sedang cari pengalaman, untuk hari ini mohon dengan sangat tolong jangan ganggu." Melengos, seseorang tersebut lanjut berucap. "Kamu bawa motor, gak mungkin kita gotik."
Bukan Raras bicara begitu, orang lain yang melakukannya. Siapa lagi kalau bukan Eli. Raras sih hanya menggeleng lihat kelakuan dua orang di hadapannya. Kepala Raras sakit.
"Oh, kalau gitu aku ikut kalian."
"Kau apa-apan sih, terus tuh motor mau kamu kemanakan?"
Azka bersmirk, sumpah demi Tuhan, senyum lelaki itu menyebalkan. Mood Eli turun. Eli berani jamin, orang lain yang lihat senyum itu pun pasti kesal sekesalnya. "Gak apa-apa, demi bersama bidadari mah aku ikhlas lahir batin. Toh nih motor gak bakal ke hilang. Aku minta bodyguard Dad mengambilnya. Aku berani jamin."
Bus datang.
Ara pikir sudah waktunya ia ikut campur. Kalau tidak, perdebatan tak selesai. "Maaf, Azka. Mending kamu pulang. Kami harus pergi. Tuh motor kasihan kamu tinggalkan."
"Tapi…"
Belum sempat tamat ucapan Azka, Eli tarik tangan Ara menjauh. Bisa Azka lihat Eli menjulur lidah.
Azka berdecak. "Seumur hidup baru kali ini aku ngerasa dikacangin. Gila, aku kepengen ngamuk." Batu kerikil Azka tendang, merasa kurang, batu besar pun ikut ditendang.
"Aw. Shit. Kamu tuh gak pengertian."
Orang-orang lihat Azka bingung. "Apa lihat-lihat, sama urus urusan sendiri."
Setelahnya Azka melengos. Marahnya Azka bisa terlihat banyak. Saat ingin bisa terjadi menggebu-gebu. Tergantung mood.
*****