Chereads / I'm Yours (perjuangan cinta) / Chapter 27 - 27 Regas Egois

Chapter 27 - 27 Regas Egois

"Kau benar." Demian menyender di dinding rumah. Sengaja Ara ke WC di lantai satu, bukan lantai dua tempat kamarnya. Ara melakukan itu agar bertemu Demian.

"Regas. Aku bisa melihat tidak ada apapun selain obsesi dari cara ia menatap. Aku prihatin." Demian terlihat menerawang. "Kau tidak berencana menyadarkan kakakmu? Cari seseorang untuknya, atau sesuatu semacam itu?"

Ara berdecih. Tindakan tersebut mengundang Demian melihat perempuan itu khawatir. "Ada apa?"

Ara tersadar. "Tidak apa-apa. ayo pergi, nanti orang-orang curiga."

"Oke, kau benar."

Keduanya menempuh arah berbeda, Ara menjelaskan rute jalan untuk Demian. Demian mudah memahami, yang buat senyum Ara muncul.

Bicara dengan orang lemot bukan hal mudah. Ara mengikuti arah kepergian Demian.

"Bibit unggul memang beda. Dia juga tumbuh di keluarga bisnis yang keras. Aku yakin auntie Mey akan mengakui kebedaan kak Demie tak akan lama lagi."

Ara tersenyum. Ponselnya bergetar. Tak membuang banyak waktu, Ara langsung membuka ponsel. Ternyata pesan dari Azka. Ara senyum.

[Ara, besok pagi kita pergi ke sekolah sama-sama, ya. Aku, kau dan Eli berangkat bertiga.]

Agar hemat waktu, Ara langsung balas pesan tersebut.

[Oke.]

Setelahnya Ara lanjut berjalan.

***

"Kak? Kamu kok menghalangi aku? Aktingku tadi sudah bagus, lho."

Mata Eli sontak membulat. Mata tersebut hampir akan keluar dari tempatnya. Lihat reaksi sang kakak, Ara sadar ia salah berucap. Tak tahu harus melakukan hal seperti apalagi, Ara senyum memaksa. Ara kehabisan ide, makanya dia melakukan itu. Keringat mulai mengalir di sela-sela pelipis.

Eli menghela napas. Ara banyak berjuang untuknya.

"Ara, sakit perut bukan pilihan tepat. Kau tak perlu melakukan apapun. Tidak masalah, aku baik. Kau tak perlu khawatir. Aku tidak akan pergi, aku siap melihat Regas menikah dengan perempuan lain."

Wajah Ara menekuk dalam. Tatapan Ara tertuju pada perut Eli. "Kak, kamu serius ingin hamil anak kak Regas? Hamil tanpa suami dan anak tanpa ayah itu sulit." Suara Ara menelan di akhir. Ia bingung.

Ara tak sanggup berada di posisi Eli. Terbersit pikiran di otak Ara, bagaimana bisa Eli memilih pilihan gila itu?

"Aku usahakan sampai kita ujian kelulusan, aku tidak di DO. Aku sudah memperhitungkan ini."

"Pakai korset, Kak? Itu bahaya."

"Hidup adalah bertahan, Ar."

Ara meringis, ia tak tahu lagi bagaimana menjelaskan pada Eli. Ara frustasi setiap berhadapan dengan perempuan itu. Sakit yang Eli rasakan juga bisa Ara rasakan.

Ara merasa gagal melindungi Eli sesuai pesan Rein.

***

Pagi menjelang, seperti ucapan Azka, hari itu Ara dan Eli berangkat bersama Azka. Regas tak dapat mencegah. Ia sibuk mengerjakan tugas kuliah. Eli putuskan ia tak segan-segan melakukan serangan fisik mempertahankan diri kalau-kalau Regas memasaknya melakukan sesuatu yang tidak ia kehendaki.

Berkat Ara, Eli termotivasi bergerak dinamis sesuai yang ia pikirkan. Sejak banyak kejadian terjadi, sedikit demi sedikit mata Eli terbuka. Tidak lagi fokus pada Regas. Sejak awal, Eli memang tidak terobsesi memiliki Regas, keinginan murni hanya ingin anak.

"Ar, mulai sekarang aku kerja jadi asisten di salah satu cabang perusaan Dad. Aku akan sibuk."

"Kak." Ara hendak berucap. Baginya hal itu penting.

Eli pegang kedua bahu Ara. Mata menatap lurus. Meyakinkan Ara jikalau Eli baik. Bahkan Eli lebih dari baik. Eli masih dapat kesempatan kerja.

"Sudah, kamu jangan mencegahku. Keputusanku sudah bulat. Kau tetang saja, aku tidak bersentuhan langsung dengan Regas. Ranah kami beda. Tabunganku akan aku buka usaha biar aku terbiasa saat berpisah dengan kalian nanti."

"Tapi Kak?" Ara sedih. Ia tak mau membiarkan Eli pergi. Ke manapun itu, Ara mau ia dan Rein menjadi tempat berpulang.

Eli menggeleng, ia pegang bahu Ara sembari senyum. Ara merengut, kalau sudah begitu Ara tak akan bisa menghalangi keinginan sang kakak. Ara mati kutu.

Eli dan keinginannya terlalu kuat.

Tin. Tin. Tin.

Mobil Azka datang. Ara senyum, senyum tersebut sangat lebar. "Azka."

"Ra, masuk."

Eli langsung datar wajahnya. Setiap kali berhubungan dengan Azka jarang wajah Eli layak pandang. Bukan iri dengki, Eli memang tidak suka Azka. Lelaki itu aneh. Begitulah pikiran Eli mengenai Azka. Azka Samira sok akrab, sok ramah, sok asyik. Padahal aslinya berbanding terbalik.

Azka cari muka depan Ara memiliki tujuan tertentu. Apalagi kalau bukan menyukai Ara.

"El."

Eli keluar dari pikiran. Belum puas ia menghujat Azka dalam otak, orangnya menegur Eli. Biasanya tidak pernah.

"Ada apa?"

Posisi Eli di bangku belakang, Ara di samping Azka. Eli tidak tersinggung, ia suka berada di sisi tenang. Makanya justru suka disuruh di belakang. Azka senyum dan Eli bisa lihat melalui kaca spion. Eli memutar mata malas.

"Bagaimana kalau aku menyukaimu, Eli?"

"Uhuk." Eli dan Ara kompak tersedak air liur. Tak menyangka Azka "Cie.... Azka menyukaimu. Bukan aku."

"Pengalihan, Ar." Eli misuh-misuh. Dalam hati Eli berdecak. Umpatan tertahan di ujung lidah. Tinggal maka semua selesai.

Bruk. Keseimbangan plus kekuatan Ara kuat. Setelah ditabrak, bukan Ara yang jatuh, yang ada si penabrak kesakitan.

"Nih tulang keras banget." Si penabrak marah-marah.

"Namanya juga tulang," ucap Eli. Eli usap tangan Ara. Berharap dengan itu Ara sabar, tak boleh buat keributan di sekolah.

Talie memancing keributan. Cari gara-gara lebih dulu.

"Ikut aku."

Sret. Eli tersenyum sinis. Tangan Nata terjebak. Alih-alih tarik Ara, Eli lebih dulu mengunci pergerakan Nata. Sudah cukup Eli bersabar, orang model Nata tak baik dibiar. Ngelunjak orangnya.

"Cukup kekanakan, Talie. Tempuh jalan mudah. Jangan menikah dengan Regas."

"Kau tahu apa, hanya bicara mudah. Eli."

Ara berdecak. Talie tak sopan.

"Kalian yang mulai perang duluan. Oke, lihat. Di sini aku ratunya, kalian kurcaci licik."

Setelah itu Talie beranjak. Nata menyeleding kaki Ara. Ara cuek, sembari pergi, Nata meringis. Untuk kedua kali, bukan Ara yang kesakitan, melainkan Talie.

"Ayo. Kita sibuk. Belajar yang sering, Kak. Ujian kelulusan sebentar lagi."

"Hem."

Eli menerawang. Asyik menerawang, tiba-tiba datang seseorang. Heboh mengawai pagi hari yang cerah.

"Helo ladies. Morning."

"Morning Max."

"Eve mana?" Ara bertanya.

"Aku di sini." Eve mengancungkan tangan. Lebih tepat disebut melambai. "Max ngajak liburan nih," ucap Eve. Tangan diturunkan.

"Liburan, lebih baik kita belajar." Ara mengangguk setuju. Eli yang paling nyambung otaknya kalau soal belajar.

"Kita pergi ke rumah hantu." Eve berucap. Ara merasa diacuhkan.

"Mau ya Ra. Ujian sebentar lagi." Max merengek. Pada akhirnya Ara mengangguk.

"Ya sudah, ayo. Kapan kita pergi?"

"Hari ini."

***

Benar-benar rumah hantu. Ara bergidik ngeri lihat rumah dari luar. Baru luarnya sudah seram, apalagi dalam. Mereka pergi ke teman wisata rumah hantu.

"Eli."

Eli menoleh. Azka jarang memanggil. Saat melakukan itu, terdengar aneh. Pasti ada niat terselubung. Well, Eli tak mau ambil pusing.

*****