Chereads / I'm Yours (perjuangan cinta) / Chapter 25 - 25 Hinaan Meyra ke Ara dan Rein

Chapter 25 - 25 Hinaan Meyra ke Ara dan Rein

"Maafkan kelancanganku, Auntie, Uncle. Tidak apa-apa Uncle, Anda bisa melepas auntie Mey. Aku yakin auntie Mey tahu hal apa yang boleh serta tidak ia lakukan."

"Ara." Ara menoleh, tahu-tahu seseorang berada tepat di samping.

Max berbisik ke Ara. "Sudah aku peringatkan, tapi kau terus begini. Ayo pergi."

Ara merengut. "Aku sopan kok, Max. Auntie Mey yang sensitif. Tak seharusnya dia begitu."

Pegangan Davidson terlepas. Saat itu Meyra menatap nyalang Ara. "Ibu dan anak sama. Kau bahkan lebih jalang dari Rein."

Mata Ara berkilat marah. Siapa yang tidak ngamuk ibunya dikatai jalang. Tanpa alasan jelas pula. Gigi Ara mengegeruk. Ia maju selangkah kalau Max tidak menahan tangan sekaligus pergerakan Ara. Baik-baik Ara mengatur napas, ia tak boleh kalah saat itu. Setidaknya belum.

Marah merupakan tanda Ara kalah pada dirinya sendiri.

"Aku tdak menuntut Auntie minta maaf." Ara memuat mata malas. "Masa lalu pasti rumit. Terlepas siapapun yang salah dan benar, aku tak ingin fokus di bagian situ. Sekarang fokusku pada masa depan. Auntie lebih dewasa dan matang dariku. Aku yang masih kecil di mata Auntie dan banyak orang. Coba tolong jelaskan kenapa Auntie ngotot tetap ingin menjodohkan Talie dan kak Regas?"

May hendak berucap, sayang sebelum itu terjadi Ara lebih dulu berucap. Ara belum selesai.

"Sudah ku bilang kak Regas bukan orang baik, lebih daripada itu kak Regas juga bukan orang tepat untuk Talie."

Waktu tepat untuk Mey. Ia tak akan membuang kesempatan.

"Raras, pendapatmu tidak kuat. Kau tidak tahu seluruh keadaan." Meyra berucap marah, mata seperti mengeluarkan api yang langsung melahap Ara hidup-hidup.

Ara datar, tak terlihat ketakutan ataupun rasa ragu.

Tak jauh dari orang-orang itu Demian bergeming. Ia sudah sering berada di posisi Ara. Mengemukakan pendapat, bicara logis dan semua hal, tapi tetap saja Mey tak berubah. Pendirian kokoh. Bukan serta-merta Demian tak berjuang lalu berakhir tak berkutik. Memang dasarnya Mey tak peduli. Sekuat seseorang berusaha, lebih kuat Mey menolak. Melihat Ara gencar berdebat, perempuan itu mengingatkan Demian pada dirinya. Mereka memiliki banyak kesamaan.

Diam-diam tangan Demian mengepal. Ia mengintip di celah pintu yang dibuka sedikit.

"Aku tak tahu akan begini, tapi aku tertarik. Raras, ku rasa kita cocok."

Demian kembali fokus memperhatikan saat Ara berucap. Gaya perempuan itu sangat terasa. Dark aura terpencar jelas.

"Aku adik Regas, wajar aku tahu, Auntie."

"Kau!!!"

"Ara sudah, ayo pergi." Max mengamit tangan Ara. Si pemilik tanah berontak, ia belum ingin pergi. Sebelum pergi Max menunduk sebagai tanda bukti ia mohon undur diri.

"Max, aku belum selesai."

"Sudah."

Max melotot. Lama-lama Max kewalahan hadapi sikap Ara. Jangan lupakan kalau Ara punya tenaga super.

Merasa tak punya pilihan lain, Ara pun ikut menunduk. Ia mohon diri secara baik. Datang sopan, perginya pun juga harus begitu. Demian sembunyi, ia tak mau ketahuan. Sampai di luar pintu, Ara menatap kesal. Mulut maju beberapa centi. Bagi Ara ia mirip bebek kelau begitu.

"Yah, ini kesempaatn pertama dan terakhir kita, Max. Terus pakai cara apalagi? Semakin kita berusaha, makin gak terlihat titik terang. Hitam terus." Dahi Ara mengerut. Ia sedang berpikir.

Max memegangi pundak Ara kemudian mengelus pelan. "Gak apa-apa. Pertemuannya belum terjadi. Nanti aku pikirkan lagi." Tangan Max berpindah dari pundak menuju rambut Ara. "Kau jangan terlalu banyak berpikir. Aku uasahakan masalah ini selesai."

"Aku belum pernah bertemu orang batu semacam auntie Meyra, kak Regas, kak Eli dan Talie. Aduh bisa rontok nih rambut aku." Ara berjalan, usapan Max di rambut perempaun tersebut otomatis terhenti. Max maklum yang kalau diperhatikan lagi lebih tepat disebut senyum miris.

Max bilang ingin mempersunting Ara, akan tetapi ibunya belum mengizinkan. Setidaknya tunggu sampai mereka kuliah, barulah Meri mengizinkan Max dan Ara menikah. Pernikahan muda kurang menguntungkan.

Max galau. Tapi Max tak akan menyerah, kalimat itu tak berlaku untuk Max. Usaha Max harus lebih kuat. Setara hal besar yang ingin ia raih.

Demian menatap datar. Ia tak lepas pandangan sampai punggung Ara dan Max sudah tak lagi terlihat.

"Mereka cocok." Demian menunduk. "Talie, mungkin aku memang harus melepasmu. Tapi seperti ucapan Ara, aku harus melepasmu dengan orang baik. Masalah ini juga melibatkanku, aku harus mencari seseorang yang cocok untukmu. Tak apa-apa kisah kita tak menjadi nyata. Kau dan aku terjebak, Talie."

Demian putuskan menemui Talie. Ada satu rencana dalam otaknya. Cara terakhir. Andai Taile belum juga tak bisa dilunakkan, dengan terpaksa Demian menyerah. Bukan sebagai lelaki sejati yang mengikhlaskan lahir batin pasangan hidupnya, akan tetapi terpaksa. Menyerah oleh sesuatu yang tak dapat ditembus. Itulah yang terjadi.

***

"Malam ini Talie akan datang. Bersiaplah, Ar."

Mata Ara melotot. Sensasi kaget ketika ada ulangan mendadak tanpa persiapan sama sekali tak berarti apa-apa dengan hal yang terjadi saat itu, Ara bingung bagaimana menyikapinya. Tangan Ara menyentuh pundak sang kakak. Ara prihatin.

"Kak, kalau sakit lebih baik Kakak pergi. Cari tempat nyaman dan tenang yang bisa Kakak rasakan."

Eli senyum. Sungguh perhatian Ara sangat berarti. Semangat Eli berasal dari Ara dan Rein. Selebih itu, tak ada hal lain. Eli bergantung pada Ara dan mommynya.

Senyum Eli tak hilang, ia mengusap pelan pundak Ara seolah Eli menguatkan Ara, bukan ia yang mendapat penguatan tersebut. "Kau tak perlu khawatir, aku kuat kok. Kelulusan sebantar lagi. Saat kuliah nanti kita tinggal bersama ya. Aku hanya membutuhkanmu."

"Kak." Eli menatap sang adik. Tatapan keduanya saling beradu. "Tolong berjanji. Keputusan apapun yang kak Regas dan Talie ambil, Kakak mau ikut saran aku cari orangtua kandung Kakak. Ya. aku mohon. Kalau Kakak sayang dan menghargai aku sebagai adik, Kakak kabulkan permintaanku."

Napas Eli tercekat sedetik tepat setelah Ara berucap, Eli bingung. Eli serius tak mau tahu soal keluarga kandung.

"Oke." Eli megagguk patah-patah. Ia tak mau, tapi kalau Ara sudah menyebut 'demi aku,' Eli tak berkutik. Mau tak mau ia menurut. Makan buah simalakama tidak seburuk itu dan efeknya sangat menyakitkan.

Ara senyuman. Lalu Ara beralih ke perihal lain.

"Oke, ayo siap-siap. Aku dandanin Kakak lagi biar kak Regas gak kedip. Promnight dia keluar lihat Kakak pakai pakaian seksi, kan?"

Kali itu Eli menggeleng. Cukup satu keinginan Ara yang ia turuti. Untuk yang satu sudah tidak lagi. "Gak Ar, aku gak mau ngelakuin apapun. Pokoknya gak mau."

Ara merengek, tangan bergelayut manja. Silahkan anggap Ara seperti kera, sebab ia pun juga berpikir begitu. Terserah, pokoknya Ara keras kepala ingin mendandani sang kakak. Sinotak Ara terpatri rencana bagus.

****