"Kau mau minum apa, Regas?"
"Tidak ada. Jangan pergi."
Eli menatap siaga. Siapa tahu Regas kerasukan makhluk halus. Ucapan Ara ada benarnya. Tempat yang tak jarang dimasuki bisa jadi ada hantu di situ.
Perlahan-lahan Eli mendekati Regas. Sapu yang berada cukup jauh Eli ambil, kalau-kalau hantu di tubuh Regas mengendalikan Regas menyerang, dengan sangat terpaksa Eli memukul.
"Kau kenapa?"
Eli mengerjap lamat-lamat, sapu aman di tangan. Eli meremat ganggang sapu kuat bersiap melayangkan pukulan.
Regas tiba tepat di depan Eli.
Bugh. Bugh. Bugh. Bertubi-tubi pukulan melayang begitu mudah. Saat Eli lihat, Regas jatuh tersungkur. Keadaan yang memilukan.
"Enyah kamu hantu!"
"Idiot! Aku Regas, gak dirasuki apapun!"
"Akh." Sakit menalar sampai ke tulang. Pukulan Eli tak main-main.
Regas tak sempat menghindar. Lengan dan punggung Regas berdenyut. Tangan mengepal kuat, Regas ingin balas perlakuan Eli.
"Bantu aku bodoh!" Saat sakit tersebut Regas masih sempat mengumpat.
Eli mengigit bibir, akibat panik ia langsung menarik Regas tanpa memikirkan kalau lelaki itu sakit.
"Oh Gosh. Sialan!" Umpatan keluar sempurna dari mulut Regas. Lancar jaya lelaki tersebut mengumpat.
Eli memutar mata malas. Ia kepikiran akan sesuatu.
"Kau masih bisa mengumpat, berarti tidak parah. Sini aku obati."
"Kau sialan Eli."
Eli terpaku. Seingatnya baru kali itu Regas mengumpatinya menyebut sial. Lebih tepatnya Eli sial. Tak ingin ambil pusing, Eli balas ucapan sarkas Regas. Sembari melakukan itu ia memapah Regas ke kursi.
"Aku tidak sial, salah sendiri kamu bersikap aneh. Kebetulan Ara bilang soal hantu, jadi aku kepikiran."
"Ini nih yang namanya terpelajar yang bodoh," oceh Regas.
Jujur Eli tersinggung luar dalam. Cara bicara Regas sangat kasar. Ekspresi wajah Eli langsung datar. Mood berbuat baik-baik hilang tak bersisa.
"Duduk di sini." Eli menunjuk Regas. "Diam dan jangan banyak gerak. Aku ambil kotak P3K."
"Aku ikut," ucap Regas cepat. Persis anak kecil tidak mau ditinggal ibunya sebentar membeli barang belanjaan. Dasarnya anak kecil keras kepala tak mau mengalah.
"Kau takut?" Eli menatap penuh selidik. "Hahahaha, Regas Sanjaya takut?" Eli lanjut tertawa. Senang dapat menggoda Regas.
"Diam Elisabeth. Bawa aku pergi. Kau mau aku kerasukan beneran?"
Tawa Eli auto berhenti. Mata melihat sekitar. Eli tak mau ambil risiko, lebih baik ia membawa Regas keluar. Sejak pertama kali masuk Eli menangkap aura dark yang sangat besar. Mati-matian ia menolak aura tersebut, yang ada makin tambah terasa.
Eli fokus ke Regas. "Ayo." Eli membantu Regas berdiri. Tak sulit ataupun kesulitan, Ara memposisikan sebelah tangan Regas mengalung di leher. Lalu mereka pun beranjak pergi.
Krak.
"Hua!"
Eli kaget, tak sengaja pegangan pada Regas terlepas. Untuk kedua kalinya Regas harus berakhir mengenaskan di tanah.
***
"Jadi begitu Auntie. Tolong Auntie pikirkan baik-baik soal perjodohan. Anda pasti ingin Natalie bahagia. Dengan kakakku, Natalie tak 'kan bisa mendapat kebahagiaan."
"Kalian berkerja sama dengan Demie?"
Max memejamkan mata. Melihat sikap bibinya, Max terpikir akan sesuatu. Terbesit sebuah pertanyaan di otak Max. Sangat tidak dihargai keberadaan Demian dalam keluarga Davidson?
Max juga terpikir akan hal lain, akan ia lakukan. "Auntie, pikirkan masa depan Natalie. Dia bukan aset lintas kekuasaan. Pertimbangan hal ini baik-baik. Kenapa tidak menjodohkan Taile dengan Azka? Kan Auntie dan auntie Reni bersahabat."
Mata Ara mengerjap, benar juga. Dengan seluruh otak dan tubuh Ara, ia setuju dengan usulan Max. Ara merutuki kebodohohan saat Demian bertanya ia tak terpikir soal Azka. Kan bakal bagus kalau Ara mengusulkan Azka untuk Natalie.
"Cukup Maxime Takama."
Max mundur. Tubuh langsung menciut. Bukan Max takut, tapi dia segan. Momnya menanamkan dalam-dalam pada Max untuk menghormati orang yang lebih tua. Terutama orang itu Meyra. Max tak mau memperburuk suasana hubungan persaudaraan antara mereka.
Meyra adik mom Max.
"Maaf."
Max menunduk dalam. Menyampaikan kalau ia sangat menyesal.
"Max benar Mey. Lebih baik Taile dijodohkan dengan Azka Prasetya. Atau perjodohan ini kita batalkan. Anak-anak masih terlalu kecil."
Mr Davidson yang hanya diam turut dalam pembicaraan tersebut. Ia sudah merasa cukup diam, saatnya ia turut andil dalam pembicaraan tersebut.
Mey menatap datar, ia memutar mata malas. Tangan berada di dada angkuh. Sikap Meyra masuk perhatian Max dan Ara.
"David, Regas setuju. Aku pastikan dia membahagiakan Talie. Kau tak perlu khawatir."
Ara gemas, apa harus ia menempeleng kepala perempuan paruh baya di hadapannya agar tersadar?
Berbagai cara sudah Ara lakukan, tak satupun yang berhasil. Auntie Meyra keras kepala mengalahkan batu.
Sebatu-batunya Ara, masihlah batu Mrs Davidson.
"Bisnis dan perusahaan besar, Davidson melebur dengan Medika. Apalagi yang kurang? Aku lihat-lihat juga tidak ada niat dan harapan baik dibalik perjodohan ini. Setahuku perjodohan hanya terjadi sebab ada harapan besar di situ dan ada unsur kepercayaan. Lah, ini untuk apa?"
"Kurang ajar, kau anak kecil. Tahu apa kau soal hidup?"
Meyra hendak menghampiri Ara. Ara spontan mundur. Di belakang sana Ara bisa rasakan ia menabrak sesuatu. Sebuah tangan memegang pundak. Di depan sana, Ara lihat Mr Davidson menahan amukan sang istri.
Ara meringis lihat adegan itu. Dalam hati Ara bertanya-tanya, kok Mr Davidson tahan dengan sikap Meyra. Emosinya masih menggebu-gebu. Mirip anak baru gede.
"Max."
"Diam dulu," bisik Max tepat di telinga Ara. Tubuh Ara meremang, ia tak tahu akan jadi serumit yang terjadi di hadapannya. Pulang ke rumah, Ara harus mencuci mukut biar gak asal ceplas-ceplos.
Tapi kalau dipikir-pikir, Ara tidak salah. Para orangtua merasa selalu benar. Padahal kebenaran bisa berasal dari siapapun, baik itu anak kecil seperti Ara. Ngomong-ngomong, bagi Ara, ia sudah besar. Tinggal menghitung bulan maka Ara benar-benar mendapat KTP, SIM dan seluruh fasilitas orang dawasa.
"Tapi aku gak ngerasa salah nomong kok," cicit Ara. Max mencengkeram kuat bahu Ara sampai perempuan itu meringis. Ara tak tahan berlama-lama di posisi itu.
"Lepas. Aku tahu yang aku lakukan. aku juga tahu auntie Meyra mantan atlet beladiri. Kau tak perlu khawatir. Aku bisa menjaga diri."
Max bersikeras tak mau lepas pegangan Ara. Kalau dalam posisi itu, Ara jadi kepikian Max terlalu dekat. Memang sih Max tidak ambil kesempatan dalam kesempitan, tapi tetap saja Ara gak nyaman.
Bugh. Max meringis. Tak pernah terpikirkan olehnya Ara akan melayangkan pukulan telak. Mengenai perut pula.
Ara lepas.
"Keluar kalian."
Ara berdecak, dalam hati mencicik. Hidup ibu Natalie penuh drama seperti sang anak. Sifat Natalie dua kali lipat ibunya. Ara berdecak pelan setelah itu menunduk. Ara harus mendapat situasi pas. Jangan sampai pulang hanya dapat kemarahan tanpa hasil. Ara sangat menentang hal-hal seperti itu.
Suara berat Ara melemah. Sebisa mungkin Ara membuat selembut mungkin. Ara berjuang keras. Lama-lama rasa itu sulit Ara tahan. Ara kesal.
*****