Chereads / I'm Yours (perjuangan cinta) / Chapter 23 - 23 Regas Angkuh

Chapter 23 - 23 Regas Angkuh

Azka menunduk. "Tapi...." ucapan Azka terhenti. "Ara dan aku sepupu. Walau sudah di tingkat kedua, tetap saja ikatan darah kental. Uncle Redis dan Dad sepupu."

Azka menengadah. Ia menatap langit-langit gedung. Tangan Azka senantiasa mengepal membentuk tinju.

***

"Kau mau ke mana?"

"Eum..." Mata Ara bergerak gelisah. Berada di situasi begitu, asanya lebih buruk dari seekor kucing kedapatan mencuri ikan segalanya dipukuli ketimbang yang Ara alami. Eli menatap Ara seperti akan melahap Ara hidup-hidup.

Ara usahakan mencari alasan masuk akal. "Bertemu Max. Kakak ingin ikut?" Raut wajah Ara datar. Dalam hati Ara sibuk menyumpahi kebodohohan yang ia buat. Untunglah Ara suka random, bukan hal baru Ara datar atau tiba-tiba heboh saat ia terdesak.

Terkadang Ara bersyukur ia punya sistem berpikir petoaduki antara terbuka dan kaku. Dengan begitu Ara sesuka hati mengatur mood sesuai yang ia inginkan dan tentunya dibutuhkan.

"Semalam kamu pergi, sekarang pun kau masih ingin melakukan itu. Katakan, apa yang kau lakukan? Ada hubungannya dengan Regas dan aku?"

Otak Ara berputar mencari alasan terbaik. Sudah Ara temukan. Air mata mengalir. Eli panik, ia tak pernah melihat Ara menangis. Terakhir kali adalah saat Ara berumur 6 tahun.

"Kak Regas membenciku. Ini mungkin bukan aku yang seperti biasanya, Kak. Tapi aku butuh bertanya dengan lelaki. Ingin membandingkan bagaimana cara berpikir mereka."

Eli tak berkedip. Timbul rasa tak enak hati. Tak seharusnya Ara berada di posisi itu. Eli pun juga tak paham, tiba-tiba sikap Regas berubah.

Di mana seorang kakak melindungi bahkan sampai overprotektif terhadap sang adik, Regas justru melakukan hal yang sebaliknya. Orang itu bersikap seperti membenci Ara.

Eli menarik Ara ke pelukan. Tangan Eli terulur usap kepala Ara penuh rasa sayang.

"Pasti ada penyebab dia bersikap begitu."

"Membicarakanku?"

Regas muncul. Di tangan ada sebuah apel. Regas bersmirk lihat orang di hadapannya. Orang-orang merepotkan, itulah yang Regas pikirkan.

***

Regas duduk di tengah-tengah. Saat itu Ara, Eli dan Regas duduk di kursi labirin rumah. Atas permintaan khusus Ara dan Eli, dibangunlah sebuah labirin. Di depan labirin tersebut ada kolam. Tepat di tengah kolam terdapat air mancur. Kolam tersebut memiliki kedalaman 1,60 centimeter.

Di jantung labirin terdapat tempat yang lebih menarik lagi. Tidak tahu ada apa di sana. Setelah pembangunan selesai, peta tidak pernah dibuka siapapun.

Labirin dibangun bukan untuk dijelajahi, akan tetapi destinasi utuh lambang Sanjaya family. Gerbang pun dikunci rapat-rapat.

Sebuah ide gila Regas mencuri kuncinya di brangkas milik Redis.

Siapa sangka Regas punya kemampuan meretas?

Regas pandai menyembunyikan keahliannya tersebut sebelum Ara dan Eli tahu jikalau Regas tidak sederhana. Regas sangat rumit.

"Kenapa membawa kita ke sini?"

"Kalian bodoh mau ikut. Tapi kalau bukan karena aku, tempat ini berdebu tidak ada yang masuk. Sebab berdebu, ayo kita bersihkan."

Ara menatap tak percaya. Terperangah lihat kelakuan Regas. "Aku sibuk. Suruh bibi asisten rumah."

"Kau yakin?"

Langkah Ara terhenti. Regas belum menyelesaikan ucapan pun Ara sudah tertarik. Tubuh Regas sepertinya mengandung magnet. Ara tak menampik hal itu hingga saat terjebak pun tak mampu berkutik.

Regas memposisikan tangan angkuh. "Sembari bekerja, kau boleh menanyakan apapun padaku."

Ara menarik napas panjang. "Satu jam, Max bisa menungguku kalau hanya sejam. Baik Ara, cepat selesaikan ini," monolog Ara dalam hati. Belum beberapa detik berlalu Ara berbalik. Ia menatap lurus Regas dan Eli.

"Oke, ayo."

Eli mengalihkan pandangan saat Regas bersmirk padanya.

Hal menarik akan terjadi dan itu menyenangkan. Ara tak menyia-nyiakan waktu. Setelah di rasa cukup, Ara menatap lurus Regas. Tangan senantiasa mencabuti rumput. Di situ ada beberapa alat membersihkan labirin.

"Kak Regas, tadi pagi Kakak menghindar. Sekarang coba katakan. Kenapa Kakak berubah?"

"Kau menyebalkan. Aku bahkan tidak suka perempuan."

"Kau gay?" Eli bertanya heboh. Pegangan dari sapu terlepas. Eli bergantian melihat Ara dan Regas. Gila kalau Regas benar-benar gay. Eli tak sanggup terima fakta itu.

"Ck, stupid."

Ara misuh-misuh, ia pun juga kaget. Harus ada yang mengakhiri kejanggalan tersebut. Orang itu adalah Regas.

Tangan Ara yang sempat terhenti lanjut mencabut rambut. "Jelaskan pada orang-orang tak mengerti ini, Kak. Adal Kakak tahu, kami tidak bodoh, kalau kau tidak percaya, silahkan lihat di ruang keluarga dan ruang tamu. Di sana terdapat lemari pribadi milik Kakak, aku dan kak Eli. Rak khusus piagam, trofi, piala, sertifikat, mendali, bahkan foto pun juga ada."

Ara tersenyum sinis. Biasanya ia jijik melihat orang membanggakan diri terlalu besar. Tak menampik hal yang ia lakukan, Ara justru makin mendalami. Rambut dikibaskan sembari menatap dengan senyum kemenangan.

"Stop Ar, kau tidak cocok membanggakan diri. Aku jijik."

Seolah tak tersinggung, Ara malah terkekeh. Ara terpikir pada tujuan awal, biar ia selesaikan.

"Aku anggap Kakak tidak gay." Ara meletakkan tangan di dada angkuh. Ingat harus membersihkan rumput, Ara lanjut mencabut rumput. Sementara itu Eli memperhatikan keduanya.

Eli pikir tidak boleh ikut campur.

"Jadi, apa yang terjadi sampai Kakak berpikir begitu? Pernah tersakiti?"

Regas mengendus, namun ia lanjut berucap.

"Kau tahu seseorang punya sistem berpikir sendiri? Itulah yang aku lakukan. Aku tidak menyukai perempuan. Fokusku tertuju ke perusahaan."

"Jadi Kakak tidak ingin menikah?"

Ara menatap lurus sang kakak. Eli menajamkan pendengaran. "Bisa dibilang begitu."

Hati Eli mencelos. Jatuh kemudian hancur tak berbentuk. Regas berpikiran sama seperti Eli, sama-sama tidak memikirkan soal pasangan hidup.

Perbedaannya Eli punya alasan berpikir begitu. Ia tak mau hancur, baik oleh tanggung jawab ataupun ketakutan. Eli tak mau ada drama dalam hidupnya.

"Aku lelah. Ada yang mau minum?" Eli melepas sapu. Sapu tersebut ia letakkan di tempat asal.

"Kau harus hati-hati El. Awas kita ketahuan gara-gara kamu."

"Em." Eli berucap pelan membalas ucapan Regas. Ia beranjak.

"Ar, kau bilang mau belajar bersama Max, sana pergi."

Ara mengerjap bingung. Untunglah otak encer Ara mudah berproses, kalau tidak pasti Ara terlihat seperti orang bodoh. Ara mengangguk.

"Cih, alasan kau sibuk klasik. Mom and Dad sudah menyiapkan guru privat, untuk apa kau masih belajar dengan si tengil itu? Kau menyukainya?"

Ara memeletkan lidah, setelah itu tersenyum mengejek. "Terserahku, aku yang repot, kok Kakak yang resah? Aku sarankan Kakak pikirkan baik-baik soal keputusan Kakak. Nanti Kakak akan merasa di sangkar burung emas. Bukan burung yang 'itu' lho aku bahas."

"Ara!" Eli gemas, ia tak menduga Ara akan bicara soal burung yang bermakna ambigu. Tidak baik. Kotor dan menjurus.

"Kau niat menasehati atau tidak?" Mumpung jarak dekat, Eli mencubit perut Ara. Suara ringisan langsung terdengar.

"Kak..." Ara merengek. Eli kaget, cubitan spontan terlepas.

"Sampai jumpa. Hati-hati tempat ini jarang dimasuki, awas ada hantu."

Eli melihat Regas. Si empu hanya melengos sedangkan Ara, saat Eli lihat sudah pergi. Tatapan Eli kosong. Setelah itu Eli menghela napas, tak apa-apa, lebih baik ia pergi. Menggoda Regas sesekali tak masalah. Toh biasanya Eli. Setiap kali berurusan dengan Regas, Eli yang harus banyak mengalah.

*****