"Max, kak Demian menghubungiku, katanya dia sudah bicara dengan Natalie. Tapi perempuan itu marah-marah. Aku setuju dengan pemikiran kak Demian kalau Natalie salah paham. Kan aku bilang akan merebut kak Demian darinya."
Ara mengusap rambut sampai berantakan. Ara gusar. Tak pernah terpikir olehnya situasinya makin rumit. Tempat Ara mengadu hanya Max. Kalau bisa Ara tak ingin hal itu diketahui oleh Eli. Sampai waktu tepat, lebih baik jangan. Ara sedang menunggu waktu tepat.
Max terlihat berpikir. Tangan ikut-ikutan mengusap rambut sampai tak terbentuk. "Melihat sikap Talie, gak heran dia begitu. Memang begitulah Natalie. Anak dan ibu sama-sama batu. Nata sudah, kak Damie Juda sudah, sekarang tinggal auntie Meyra. Tapi aku kurang yakin."
"Kenapa sih?" Ara bertanya, beda jauh dengan yang ia katakan, Ara justru menyinggung hal lain. "Nih, coba kamu baca pesan kak Demie."
Max menyambut baik ponsel berkulit hitam tersebut. Wallpaper depan Ara bukan foto keluarga seperti orang kebanyakan, ataupun sesuatu yang disukai, akan tetapi dark seperti penampilan luar ponselnya.
Oke, hidup Ara memang serba gelap.
Sekitar lima menit Max baca pesan singkat tersebut. Max menatap Ara lurus. Mulut mengerucut. "Ya mau bagaimana, memang beginilah. Kau tidak tahu seberapa keras Auntie Mayra. Mom pun mengakui kegilaan Auntie. Dia keras seperti batu."
"Mau membujuk keluarga seperti apapun tetap tak mau membiarkan pertunangan batal. Kecuali ada penggantinya."
"Masa sih? Aku jadi kepengen ngelabrak Auntie Meyra."
"Heh jangan!"
Orang-orang kelas melihat Max dan Ara. Kebetulan keduanya duduk sebangku. Posisi strategis walau tidak berdekatan. Eli dan Eve duduk jauh. Mereka sepakat sejak awal masuk tahun ajaran baru duduk berjauhan. Alasannya biar mandiri.
Eli dan Eve tidak sebangku.
Bukan serta merta dilakukan, banya aspek Abik didapat. Sekalian keempatnya ingin menampik pikiran negatif siswa lain soal nilai mereka yang tak jauh beda. Palingan selisih beberapa angka. Guru pun juga turut andil memisahkan bestie yang kemana-mana berempat terus, kecuali pada waktu-waktu tertentu.
Klepak. Ara memukul bahu max. Ia tak habis pikir. Kalau keceplosan jangan melibatkan dia.
"Maaf, silahkan lanjut dengan kesibukan masing-masing." Max melambaikan tangan. Tepat seperti ucapan Max, orang-orang menurut tanpa cela. Seolah Max raja yang perintahnya mutlak.
"Kau kenapa sih?" Ara berbisik. Jaga-jaga kalau nanti ketahuan.
"Kita keluar. Kita izin ke UKS."
"Eh?"
Ara terlihat menyelidik. Setelah melakukan itu Ara putuskan setuju. Ara melihat Eli dan Eve, kebetulan keduanya juga sedang melihat padanya.
"Oke go. Mereka setuju."
Max menatap dua sahabatnya. Setelah minta izin dengan ketua kelas, Eli dan Ara keluar.
Sampai di tempat tujuan keduanya melanjutkan pembicaraan yang sempat terpotong. Max menatap Ara intens.
"Auntie Meyra seram. Begini biar kamu paham. Kamu lebih berani dengan auntie Rein ketimbang uncle Redis. Nah, aku pun juga begitu. Aku gak berani sama auntie Meyra, aku hanya berani dengan uncle Davidson."
Oke, Ara paham. Tapi ia masih belum terpikir untuk menyerah. Ucapan Max memenuhi otak Ara.
Ara menggeleng kuat-kuat. "Tidak apa-apa, Max. Risiko sebesar apapun harus aku ambil. Kan kau sendiri yang bilang hanya Auntie Meyra belum kita temui."
Max mengerjapkan mata, wajah jengah terlihat. Ara keras kepala, percuma menyuruh perempuan itu paham. Yang ada buat kepala pusing.
"Oke, aku mau bantu kamu. Tapi..."
Max mendekat. Ara siap ancang-ancang kalau nanti Max melakukan hal aneh. Ara pikir akhir-akhir itu cara dia menanggapi orang salah. Lebih baik ia mempertahankan diri daripada mundur teratur.
Max tertawa lihat reaksi Ara. "Ya Tuhan Ara. Aku tidak seburuk yang kau pikirkan. Begini..." Max tertawa hambar yang tidak terlalu terdengar. Ia berhenti di jarak aman. "Orang-orang bertanya-tanya soal memar di pipiku. Bukan gak ikhlas nih."
"Itu artinya kamu gak ikhlas."
Max cepat-cepat meletakkan jari di mulut. "Sssttt. Kemarin apa maksud kamu bilang suka aku. Kau tahu, aku memang menyukaimu. Aku cinta. Jadi Ar, bisa kau jawab bagaimana perasaanmu padaku?"
Mata Ara mengerjap. Ia sudah menduga cepat atau lambat akan dapat pertanyaan begitu. Akan tetapi Ara tak tahu kalau cepat dan sensasinya berbeda dari bayangannya Ara bingung.
"Belum." Ara mengaruk kepala yang tidak gatal. Ara tengah memikirkan diksi tepat untuk ia katakan. Pikiran Ara penuh. Max yang mengisinya sampai timbul rasa ingin muntah. Ara tak suka berada di keadaan itu!
Otak Ara berproses. "Itu." Tangan Ara terangkat ke udara. Bukan ingin menunjukkan aura gelap ataupun mengintimidasi, Ara bingung makanya bersikap begitu.
Alis max terangkat. "Itu apa?"
"Katakan dulu, bagimu cinta sangat penting? Kita masih terlalu muda."
Jam kosong di akhir jam menjadi akses tersendiri Max dan Ara keluar. Tugas bisa diselesaikan belakangan.
Ara tersenyum tidak nyaman. Kalimat sudah bagus, walau begitu tetap saja Ara masih bigung. Ara merasa bersalah.
"Penting. Kau kan perempuan yang ku cintai. Jawab jujur, kau menolak atau terima?"
"Kok kamu maksa?" Mulut Ara mengerucut. Bagi Ara perasaan perkara sensitif. Max salah menyikapi perasaan seperti hal biasa yang tidak ada spesialnya. Ara tidak nyaman. Situasi mereka saat membahas perasaan kurang baik.
Oh God. Ara jadi ilfeel.
"C'mon Ar, bagimu ini penting dengan sudut pandangmu sendiri, tapi bagiku ini juga penting, untuk dijawab." Max kukuh. Sifat keras kepala Max jarang ia tunjukkan kalau bukan benar-benar penting. Setelah Ara pikirkan pun, ia ingin jujur terhadap perasaannya. Kalau bukan saat itu kapan lagi.
Mungkin itu adalah waktu tepat.
Helaan napas berat Ara terdengar menandakan betapa ia sulit menyampaikan isi pikirannya. Sesuatu yang tidak disukai bukan hal mudah menyampaikannya.
Max setia menanti. Ia ingin dengar baik-baik.
"Aku menyukaimu."
Senyum Max muncul, namun sedetik kemudian senyum tersebut sirna. Bukan hal sangat baik dengar ungkapan suka. Sesuatu yang Max harapkan adalah cinta. Max tahu dua hal itu berlainan.
"Oke. Terima kasih."
Ara melihat sekitar, memastikan tidak ada yang melihat, Ara menarik tengkuk Max. Lalu sebuah kecupan terjadi. Ara tersenyum miring lihat wajah membeku Max. Tidak perlu repot-repot berpikir, lelaki itu syok.
"Hah, begitu saja kau sudah diam."
Bertepatan dengan ucapan Ara, bel pulang berbunyi. "Hahaha, idemu manjur kita izin ke UKS mengoles minyak angin ke kepala."
"Pulang sana, nanti aku kelepasan kamu yang rugi. Saat sampai rumah nanti jangan heran aku datang bersama Mom and Dad. Aku akan menjadikanmu istri."
"Hey, jangan!"
Max berlari meninggalkan Ara. Tak peduli gadis itu akan marah. Max serius, ia akan melamar Ara.
Sudah sampai sana, rugi kalau tidak berjuang.
Ara mengejar Max, bukan hal baru lagi Ara dan Max hanya berdua tanpa Eli dan Eve. Sejak kecil Ara dan Max yang paling banyak dekat. Kalau Eli cenderung menutup diri.
Tak jauh dari tempat Ara dan Max bicara, Azka mengepalkan tangan kuat-kuat. Azka izin ke WC, dalam perjalanan melihat Ara dan Max. Bahkan rasa ingin buang hajat tak lagi terasa bergantikan marah. Azka tak mau, ia yang harus memiliki Ara.
*****