Chereads / I'm Yours (perjuangan cinta) / Chapter 13 - 13 Alasan Benci

Chapter 13 - 13 Alasan Benci

Tawa meremehkan Ara langsung lenyap. Ara menangkap sinyal buruk. "Wait, Kakak tahu passwordku?"

"Hey, kau sering memainkan ponsel di dekatku, gaimana ceritanya aku gak tahu?"

"Siniin!"

Ara kalut, tidak bisa dibiarkan, pokoknya Ara harus merebut kembali ponselnya dari Eli. Privasi Ara dalam bahaya besar. Ara tak biarkan Eli mengobrak-abrik privasinya.

Giliran Eli yang tersenyum remeh, belum luas memparmiankan Ara, Eli pun lanjut berucap. "Kalaupun kau hanya pakai sidik jari, aku punya salinan sidik jarimu. Kapanpun aku mau, aku bisa membuka benda ini."

"Kak!?"

"Wlee." Eli memeletkan lidah, ia tertawa remeh, tak peduli Ara marah padanya nanti. Kalau itu terjadi, pastilah Eli habis. Setiap kali duel, selalu Ara yang kalah meski ia lebih tua dari adiknya tersebut. Perbedaan kekuatan antara keduanya sangat mencolok.

Terdengar suara ketukan pintu. Pintu memang sengaja dikunci. Karena itulah orang di luar sana tak akan bisa masuk jikalau tidak dibuka si pemilik kamar.

"Ara, Eli. Aku tahu kalian di dalam. Buka pintunya. Aku mau bicara."

Derik itu juga Eli membuang wajah. Ia tak mau melihat Regas. Ara paham keadaan sang kakak. Tidak perlu memposisikan diri depan perempuan itu, sudah terlihat jelas kalau Eli sakit hati.

"Kak, bagaimana?" Ara bertanya lirih.

Eli bingung.

****

"Ada apa?" Ara bertanya. Tatapan terlihat datar mirip lantai.

Ara sangat ingin keluar, ia tak mau jadi obat nyamuk. Eli satu-satunya alasan ara tetap berada di tempat itu. Ara marah, tak mungkin Ara membiarkan Eli berduaan dengan Regas di kamar. Ara tahu sifat kakaknya. Tak jarang orang itu bertindak di luar kendali saat sesuatu tak sesuai yang ia pikirkan.

"Aku ada perlu dengan Eli, bisa kau keluar?" Regas memposisikan tangan di dada angkuh. Seperti biasa Regas menguarkan aura gelap.

Ara mengeleng tegas. "Aku hanya akan meninggalkan kalian saat berada di tempat terbuka, bukan ruang tertutup."

"Ck, aku tidak segila yang kau pikirkan."

Ara mengangkat bahu acuh. "Terserah, yang aku tahu Kakak payah. Tidak bisa mengendalikan emosi negatif salah satu pertanda orang payah."

"Jaga mulutmu." Regas maju selangkah sedangkan Ara mundur. Mundurnya Ara tidak terlalu kentara. Selain itu Ara juga tidak terlihat takut. Ara punya cara sendiri mengendalikan diri. Regas kembali mundur, mengambil jarak aman. Setelah itu Regas berdehem. "Kau benar, aku payah."

"Tuh tahu," celutuk Ara sembari melihat Eli. Tatapan Eli seolah mengatakan Ara tidak harus ikut campur. Bukannya apa-apa. Eli tipe orang tidak mau melibatkan orang lain dalam masalahnya, cukup Eli sendiri yang mengatasi. Mumpung ia masih bisa mengatasi itu. Kalaupun tidak mampu, mengadu pada orang lain adalah pilihan terakhir dalam list hidup Ara. Ia tak mau.

Pilihan Eli adalah darinya, oleh dirinya, untuk dirinya, cukup ia yang mengatur.

Ara menghela napas, ia yang harus menurunkan ego. Tidak baik juga mencampuri urusan orang lain saat orang itu tidak ingin privasinya diganggu. Ara yakin, kalau Eli merasa ia ingin bicara, perempuan itu pasti bicara.

"Jangan tutup pintunya kakak-kakak. Untuk kak Eli, kalau kak Regas macam-macam, tendang organ intimnya biar kapok. Kita kan sama-sama belajar bela diri."

"Ara…"

Ucapan Regas terhenti ketika lihat Ara mendekati Eli. Ara melakukan itu untuk membisikkan kalimat pada sang kakak. Bagus, Regas merasa tak dihargai. "Jangan buat aku dan Mom khawatir, anggap ini bentuk ucapan terima kasih Kakak pada Mom dan aku."

Regas memainkan lidah dalam mulut. Hampir saja Regas kelepasan marah. Biarkan saja dia orang itu. Terserah.

Ara menjauh, lalu ia pun pergi. Sebelum itu Ara sempat melihat sekilas kakaknya. Sebelum pergi, Ara masih menyempatkan berucap. Posisi Ara tekat dekat telinga sang kakak. "Aku tak berharap banyak dari Kakak. Saat Kakak punya keluarga dan memiliki anak dari pernikahan tersebut, yang mungkin salah satunya adalah perempuan, Kakak akan tahu berapa kau tak mau terjadi hal buruk pada anak perempuanmu."

Regas mendorong pelan bahu Ara agar menjauh. Eli mendekat, ia khawatir. Tangan Ara terangkat. "Gak apa-apa Kak." Ara tidak melihat sedikitpun ke Eli.

Tatapan Regas tegas. Terpancar kemarahan yang sangat jelas dari cara menatap tersebut.

"Aku tak mau anak perempuan."

"Ck." Ara menatap malas. Regas adalah kotoran paling tidak berkelas yang pernah ia lihat. Ara kesal. "Well, calm down. Anak lelaki pun, Kakak juga menginginkan yang terbaik, kan. Jangan egois atau Kakak tak kan pernah tahu hakihat kebahagiaan yang segungguhnya."

Regas tersenyum remeh. Ia menatap datar.

"Aku sudah bahagia dan aku merasa cukup."

Ara berdecak. Percuma bicara dengan sang kakak. Sejak kecil lelaki itu tak pernah mau mengalah. Mereka juga tidak akrab. Kalau masih diteruskan, yang ada air liur kering. Berkali-kali Ara membari nasihat, namun berkali-kali juga usaha tersebut seperti menabrak sesuatu yaitu ego Regas. Sekuat Ara berusaha, sekuat itu juga ego Regas menampik. Alasannya sederhana, Regas tak kan mau kalah.

Mungkin dunia sudah mau kiamat baru Regas melakukan yang namanya mengalah. Kalau tidak begitu, jangan harap akan terjadi hal baik.

Gelar lelaki teregois jatuh pada Regas.

"Awas kau. Aku kasih saran membantah terus."

"Kau lebih muda dariku, jangan sok bijak."

Ara menunjuk Regas tepat di wajah. Sikap Ara terhadap seseorang itu sesuai yang orang tersebut tunjukkan. Kalau menyebalkan, Ara akan lebih menyebalkan lagi.

"Kau sok besar kepala." Ara menatap Regas nyalang.

"Jangan menyebutku kau."

Oh astaga, Ara sangat ingin mengumpat. Regas tak pantas protes. Kalau orang itu juga tak pernah baik. Emosi Ara berkali-kali lipat makin tak terkontrol. Ara marah.

"Kau…"

"Ara." Bahu Ara dipegeng sang kakak. Ucapan Ara auto terhenti. Ara lebih menghormati sang kakak ketimbang Regas.

Sifat asli Ara adalah keras, bertemu sifat keras kepala Regas, makin tak ada titik temu dalam pembicaraan mereka. Semua kacau balau.

"Maaf, aku sudah mengusahakan yang terbaik. Kakak tolong sabar," ucap Ara lirih. Setiap kali ia bicara dengan Regas, selalu saja berakhir begitu. Ingin Ara bicara baik-baik pun, hasilnya selalu begitu.

Ara mendengus, rasanya ia sangat ingin mencakar wajah Regas kalau tidak ingat orang itu adalah kakaknya. Lain kali Ara pertimbangkan mencakar wajah Regas sebab biasanya ia lebih parah memperlakukan sang kakak, menendang adik kecil orang itu sangat sering.

Ara menatap kesal sebelum akhirnya berbalik. Ara menatap lurus sang kakak. Tatapan Ara berubah 180°. Untuk sang kakak Ara menatap penuh perhatian. "Ingat pesanku."

Eli mengangguk. Ara pergi. Setelah kepergian Ara, Eli menatap Regas lurus. Saat itu tak terjadi gejolak emosi ataupun kegalauan pada diri Eli, Eli tahu yang ia pikirkan. Emosi Eli cenderung stabil.

Berbeda dengan Eli, Regas justru menatap jijik. Bagi Regas Eli parasit. Perempuan tidak tahu terima kasih. Yang ada Eli ngelunjak.

"Sikapmu membuatku muak."

Eli menatap Regas tepat di matanya.

*****