Eve memutar mata malas. Sejak saat itu Eve maklum. Baik Regas maupun Ara, tak jarang Eli berkata pedas.
Eve mengaruk tenggorokan yang sebenarnya tidak gatal. Mendalami peran, Eve kembali berdehem. "Iya nih, tenggorokan aku sakit. Harus banyak minum air putih." Eve melihat ke sekeliling. Ia lihat Nata tengah dalam perjalanan menghampiri mereka.
"Max, ada adikmu tuh."
Eve kembali menyeruput es air putih, tangan menyenggol lengan Max. Max melihat arah yang Eve tunjukkan. Detik itu juga max langsung datar.
Nata pasti ngintilin max terus. Max gak suka.
Senyum sumringah adakah hal wajib yang harus Natalie tunjukkan. Kaum adam pastilah menyukai senyum tersebut hanya dengan sekali menatap.
Tidak menampik pesona Natalie, Max pun juga suka sunyum sang adik sepupu, tanpa memperhatikan kenyataan jikalau Natalie menyebalkan.
"Halo selamat pagi."
"Pagi." Ara berucap lirih. Ia tidak suka Nata, ditambah perempuan itu dijodohkan dengan Regas, rasa tidak suka Ara makin menjadi-jadi. But, Nata tak pantas mendapat kemarahan Ara tanpa alasan jelas.
Perempuan itu mungkin belum diberi tahu soal perjodohan. Kalau sudah tahu, pasti heboh macam kebakaran jenggot.
"Halo adik ipar."
Mata Ara membulat sebelum akhirnya mengkilat marah. Tangan refleks menggengam kuat jus jambu. Eli terkesiap, ia harus menghentikan Ara sebelum gelas digenggamamnya pecah.
Kekuatan Ara tak main-main, kaleng minuman pun mengerut oleh sebab tangan raksasa itu. Gelas berketebalan beberapa centi sangat mudah hancur. Bagi Ara menghancurkan benda seperti ia mengencet semut.
"Ar. Jangan kuat-kuat pegang gelas."
"Em." Ara senyum ke Eli. Ara tak pernah mengabaikan kakak angkatnya tersebut.
"Sini ikut aku, Talie," ucap Ara. Ia tak lepas pemandangan sedikitpun. Nafsu makan hilang.
"Ar. Aku ikut."
Ara melihat Max, tatapan Ara datar. "Gak perlu. Urusan ini antara aku dan dia." Ara kembali melihat Nata, gadis yang muda beberapa bulan yang hampir satu tahun itu menoleh. Senyum tipis Natalie muncul. Ia mencopot kue pisang sang kakak sepupu baru akhirnya mengangguk.
"Oke, ayo pergi. Kita akan ke mana?"
Ara kesal, Natalir pasti sengaja. Trik murahan begitu mudah Ara lihat. Bakat Natalie adalah membuat orang kesal. Wajah tengil perempuan tersebut natural cocok ia pakai. Jangankan tidak bersikap menyebalkan, Natalie diam pun memancing emosi. Tangan Ara gatal kepengen jambak rambut gadis menyebalkan tersebut.
"Ara."
"Stop Max, aku tahu yang aku lakukan. Kau tak perlu khawatir." Ara berucap tanpa mengalihkan pandangan dari Natalie. Emosi Ara sudah di ubun-ubun, jujur Ara tak mampu mengendalikan diri kalau tidak ingat dirinya tak pernah dipanggil ke ruang BK.
Ara kembali fokus ke Natalie. Anak itu makan kue hasil curia tanpa izin.
"Nanti aku kasih tahu di jalan. Pertama-tama kita pergi dulu."
Eve melihat Ara sebentar, tak lama kemudian ia kembali makan. Eli tidak mencegah Ara. Eli percaya Ara bisa mengendalikan emosi. Ara baik pengendalian emosi walau ia terlihat sangar.
Wajah sangar Ara hanyalah cover luar. Vibe pancaran luar untuk menghalau orang-orang kurang kerjaan mendekat. Ara tidak suka privasinya disentuh.
Max mengangguk. Alih-alih mencegah Ara, ia beralih fokus ke adik sepupu. "Kau jangan main-main. Hormati orang lebih tua darimu. Ara kakak kelas."
Mulut Natalie mengerucut. Max gamas, padahal dalam hati sibuk mengatai sang adik sepupu. Tuh mulut mirip bebek. Cepat-cepat max mengalihkan pandangan.
Eve tertekeh sembari sebelah alis terangkat. Eve menyukai Azka dan Regas, namun akhir-akhir itu, sejak dekat dengan Max, Eve jadi menaruh perhatian lebih. Saat itu posisi eve netral. Ia ingin fokus menyelesaikan pendidikan SMA dan kuliah.
"Tergantung sih Kak. Mau dia kakak kelas sekalipun, tapi kalau tipe annyoying person, aku gak tinggal diam."
"Sudah sana pergi." Max mengerakkan tangan seolah mengusir Nata. Max sempat melihat Ara, melalui tatapan Max berusaha berkomunikasi menyampaikan harapannya agar Ara tidak mudah tersinggung.
Seolah paham, Ara mengangguk.
"Follow me."
Mulut Natalie kembali mengerucut. Ia kesal. Sembari mulut mengedumel, ia mengikuti langkah besar-besar Ara.
Ara cocok jadi kakak kelas, aura setingkat lebih tinggi menguar kuat. Drak mode, bagi Natalie Ara memancarkan aura itu.
***
Ara membawa Natalie ke rooftop sekolah. Ada bangku di tempat siswa nongkrong. Pilihan tempat Ara adalah pojok ruangan. Tempat privasi untuk membahas hal bersifat rahasia.
Ara menatap lurus sembari mata melihat sekitar. Mata elang Ara sigap memperhatikan kesesuaian sekitar. Menunjukkan Ara terbiasa tak ingin ketinggalan apapun.
"Kau sudah tahu dijodohkan dengan kak Regas?"
"Tentu."
Natalie mengangguk membenarkan. Ia risih. Dalam bayangannya Ara bisa menyerang kapanpun. Natalie sadar ia hanya besar mulut, soal tenaga Natalie lembek. Mana mungkin ia mampu melawan Ara.
Keringat mengalir di tubuh bagian belakang Natalie. Saat itu Natalie hanya menutupi baik-baik hal yang ia rasakan sembari berharap Ara tak menyadari kegugupannya.
Intensitas tatapan tajam Ara bertambah.
"Kau bilang, kau berpacaran dengan kakakmu. Siapa ya namanya, oh." Ara mendekat sedangkan Natalie mundur. Tubuh mentok di dinding. Ara tersenyum sinis melihat raut wajah Natalie berubah tegang.
"Demian," pungkas Ara. Lalu Ara pun mundur. Ara pribadi tak nyaman mengintimidasi orang lain. Perbedaan antara Ara dan Regas adalah Ara berhati-hati menguarkan aura kekuasaan. Tangan Ara diletakkan di dada. Sementara itu mata terus menatap Natalie penuh selidik. "Jadi kau menerima perjodohan ini?"
Saat nama Demian disebut, detik ini juga keberanian Natalie muncul. Ia tidak suka orang lain meremehkan rasa cintanya pada Demian. Demian orang baik, tidak boleh satu orangpun meremehkan Demian.
"Jaga mulutmu!"
Ara kaget. Setahunya cara ia berucap sopan. Ara tak menduga kalau reaksi Natalie akan sekeras saat itu. Ara menghela napas, ia pun pergi mundur. Jarak keduanya kurang lebih dua meter.
Baik-baik Ara mengatur napas. Saat marah Ara hari mengatur napas agar tak kelepasan mengamuk.
"Maaf." Suara Ara penuh penyesalan.
Natalie tersenyum sinis. "Demian orang baik, jangan pernah merendahkannya."
Ara sontak mengangguk. Ia mengerti sikap Natalie bersikeras melindungi kakak tirinya tersebut. Bukan sebab cinta, akan tetapi sesuatu yang lain.
"Ya sudah." Ara kembali ke mode awal. Berhadapan dengan Natalie harus pakai aura keras. Orangnya sudah keras, kalau bicara lemah lembut, tujuan tak tercapai. Mentok, yang ada nanti diremehkan. Ara menatap tajam. "Aku tak akan menyinggung hubunganmu dan kak Demian. Masalahku soal kamu dan kakakku. Aku menyarankan kamu menolak perjodohannya. Jangan terima tawaran apapun dari kakakku. Dia rumit. Dia bukan orang baik."
"Kenapa kau peduli?"
"Astaga Tuhan." Ara ngedumel. Natalie senyum lebar lihat Ara menepuk jidat.
Ara kembali mengatur diri, sejatinya orang di hadapan Ara masih kecil. Wajar saja ceplas-ceplos bicara. Yang tua pun banyak tak sadar umur soal bicara asal keluar. Tergantung kepribadian masing-masing.
"Kau mungkin belum paham. Kau masih terlalu kecil. But, trust me, ini bukan tempat sesuai untuk kamu main-main. Walau hubunganmu dan kak Demie tabu, aku lebih setuju kau menjalin hubungan dengannya ketimbang Regas Sanjaya yang brengsek. Memangnya Demian belum tahu kau akan dijodohkan?"
Ara menatap nyalang. Harus segera ia hentikan saat itu juga. Perjodohan harus batal.
*****