Tiba-tiba wajah sok Natalie berubah mewek. Wajah tegak tinggi-tinggi tersebut menunduk dalam. Ara tak sampai hati melihatnya. Dalam pikiran Ara berpikir perubahan ekspresi Natalie cepat. Hanya saja kalau sudah menunduk dalam begitu pasti ada hal menyedihkan.
Ara belum tahu pasti, akan tetapi ia sudah menduga. Beberapa kemungkinan muncul di otak.
"Ehem." Ara berdehem. Bukan rencana maupun niat Ara mengusap kepala Natalie. Tindakan itu terjadi begitu saja. Reaksi Natalie menegang. Usapan Ara langsung terhenti, ia pikir dirinya melakukan kesalahan.
"Hua...."
Ara refleks mundur. Tak dapat Ara cegah, tiba-tiba Natalie memeluk dirinya seperti macan menerkam mangsa. Ara tak siap, oleng sedikit maka mereka berakhir jatuh.
Gubrak.
"Akh."
Ara meringis. Punggung terasa ingin pisah dari tubuh. Mereka benar-benar lost control. Mata Ara terpejam sesaat sebelum sadar posisi mereka ambigu. Natalie menindih tubuh Ara. Kepala perempuan itu tepat di atas dadanya.
Wait... otak Ara berproses.
"Empuk," celutuk Natalie.
"Talie...!"
Ara kelepasan mendorong Natalie. Alhasil perempuan itu hampir terjungkal ke belakang kalau saja tidak sigap menarik baju Ara.
Napas keduanya saling bersahutan berebut pasokan oksigen.
"Apa yang kau lihat?" Ara melotot. Tiba-tiba Natalie menangis. Ara bingung bagaimana menyikapi anak itu.
Natalie nangis kejer. Ara makin bingung saat perempuan itu menyebut maaf. Otak Ara mendadak blang.
"Kau mengingatkanku dengan kak Demie. Belum ada yang memberi perhatian padaku sebaik kalian. Aku bersyukur."
Ara mendengus, ia tak suka berada di posisi itu. Bagi Ara berlebihan menangis sembari sebab menghayati hal yang dialami. Permasalahannya terbawa perasaan pula. Tidak elit sekali. Klasik. Terkesan lebay. "Jangan nangis, aku gak suka lihat orang cenggeng."
Pelan-pelan Ara mendorong Natalie agar menyingkir. Yang Ara rasakan double. Lama-kelamaan Ara berat tubuh Natalie terasa. Lebih berat dari beban hidup. Keinginan dua orang itu bertolak belakang. Berbanding terbalik, Natalie tak mundur. Ara tergiur kepengen mendorong perempuan kuat, masalahnya Ara tak tega. Otak Ara berproses, lebih baik ia pakai cara lain. "Tolong menyingkir. Kau berat."
Mata penuh air mata Natalie memicing. Tak lama setelah itu terdengar suara pukulan. "Akh, kau." Ara hampir kelepasn memukul. Hitung-hitung membalas pukulan Natalie. Tangan Ara tertahan di udara, mata menatap tajam. Jangan tanya bagaimana keadaan Natalie, perempuan itu menutup mata kuat-kuat takut pukulan Ara mendarat.
"Bangkit kataku." Ara memakai deep voice yang lebih rendah.
Natalie merinding.
"Iya."
Ara menghela napas. Jujur Ara gugup. Baru kali itu dekat dengan orang lain selain keluarga inti. Otomatis Ara gugup. Gugup tersebut berlaku untuk sesama jenis sekalipun.
Setelah Ara Natalie bangkit, Ara pun juga melakukan itu. Tangan sibuk membersihkan tubuh. Ara di bawah, ia yang paling banyak kotor.
"Mulai sekarang kita teman."
Ara mengendus, "memangnya aku mau jadi temanmu?" Ara acuh, sibuk membersihkan bagian tubuh.
Talie mengangkat bahu acuh, ia tidak tersinggung. "I don't know. Well, setidaknya kamu mau berbaik hati denganku. Aku tahu kau keras kepala. Kau juga bukan tipe orang peka, kau cuek dan dingin."
Ara menatap Talie penuh selidik. Talie bersmirk. "Max yang bilang begitu padaku."
Dapat alasan bagus mengalihkan pembicaraan, Ara sigap menggunakan kesempatan tersebut. Biar cepat kelar. Lebih natural Ara berkacak pinggang.
"Panggil dia kakak, jangan nama. Kau tidak sopan sekali."
Ara hampir akan memukul mulut luew Natalie kalau tidak ingat orang itu anak pemilik rumah sakit dan perusahaan besar. Selain itu, Ara tak pernah terlibat masalah.
Beginilah ucapan Talie yang memancing emosi Ara. Orangnya sembari terkekeh pula seolah meremehkan Ara.
"Demian yang tua belasan tahun dariku saja aku panggil nama."
Tak bisa memukul sebab ada penghalang, Ara refleks maju selangkah, tangan menunjuk tepat di wajah Talie. "Talie, dengar. Max dan kak Demie beda. Kau menyukai kak Demie sedangkan Max benar-benar kakak sepupumu."
"Mom menentang hubunganku dan kak Demie. Katanya walau anak angkat sekalipun, kak demie adalah kakakku."
"Memang benar kok," celutuk Ara. Ara pikir ia salah bertindak, cepat-cepat ia menurunkan jari sehabis menunjuk Natalie. Tidak sopan. Prinsip Ara, biarlah orang di luar sana memiliki sikap seperti yang mereka anut, Ara punya kepribadian sendiri yang menjadi warna tersendiri miliknya.
Terdengar tawa penuh paksaan Talie. Ara miris, telinga tak sanggung dengar ucapan Natalie, alhasil Ara mengusap pelan. Ada sensasi merinding saat Ara dengar tawa tanpa emosi namun justru terlihat memainkan emosi.
Ara mengambil kesimpulan kalau hidup Natalie sulit. Perempuan itu pasti tertekan.
Bukan hantu depan Ara, manusia tulen, sayangnya tubuh Ara merinding. Seperti ada pasang hembusan angin merasuk sampai ke tulang.
Ara terlihat menerawang, mata menatap ke langit. Tatapan Ara kosong. Ia tengah memikirkan sesuatu.
"Kau bisa sih ingin menikah dengan kak Demie. Bukan maksudku merendahkan kak Demie, dia anak angkat, jadi kalian bisa bersama."
"Hahaha." Kalimat baik-baik Ara dibalas tawa menggelegar.
Ara kembali melihat Taile. Menurit Ara perempuan di hadapannya itu tak beres. Sikapnya bahkan lebih buruk dari Meyra. Mau dilihat dari sisi manapun, Ara ilfeel.
Ara setia menunggu ucapan Natalie, ia ingin dengar lebih jauh.
"Mari kembali ke pembivaraan awal, Raras. Kenapa kau memyaranku menolak perjodohan selain sebab Regas brengsek. Kita tidak dekat, menurutku ada alasan lain."
Taile memainkan lidah dalam mulut. Eksistensi itu membuat gigi Ara menggerutuk kesal. Ara kesal. Tangan mengepal demi menyalurkan emosi.
"Well, bisa jadi Regas sudah punya pacar atau brengsek maksudmu itu dia…" Talie mendekat ke Ara. Hilang sudah rasa takut Natalie, ia penuh kebencian. Rasa takut tidak lebih kuat dari benci.
Munculnya keberanian, glow up, growth adalah dari cemooh untuk pembuktian. Taile kehilangan rasa takut berganti benci tak terbendung.
Ara tidak mundur, seolah menantang Talie, Ara justru bertahan di posisi awal. Wajah Taile mendekat ke telinga Ara. Belum berucap apapun tangan Ara sudah mengepal kuat. Urat leher mencuat. Ara harus melonggarkan kembali tangan sebab tak mau aliran darah terhenti.
"Regas Sanjaya suka tidur dengan jalang."
Sengaja Natalie meniup daun telinga Ara bertujuan lebih menggoda perempuan itu. Tinju Ara menguat sampai buku jari memutih. Sepersekian detik kepalan tangan Ara terbentuk sempurna. Dalam hati Ara kelepsn mengumpat.
Terdengar helaan napas kasar. Ara sengaja menguatkan helaan agar terdengar. Ara tak peduli Natalie tersinggung.
Otak Ara berpikir mencari pembalasan pas. Ia tak boleh diam.
Ara bersmirk, ia menoleh sehingga jarak kedua orang itu terhitung hanya beberapa centimeter. Wajah saling berhadapan satu sama lain.
Jangan main dengan Ara, Ara tidak mudah jatuh.
"Kalian belum bertemu. Kalau sudah bertemu nanti, kau lihat saja betapa menyebalkan kak Regas." Ara tersnyum remeh. Tangan terulur mengusap pipi Natalie. Terbersit ide gila yang tak pernah hinggap di kepala Ara.
*****