Kakak adik tiri itu punya hubungan aneh. Max jujur agak jijik. Bukan, bukan jijik pada Demian, tapi Talie. Natalie kalau menggoda orang lain tidak tanggung-tanggung. Padahal orangnya masih bocil.
"Apa?" Ara bertanya tak sabaran.
"Ck, ini aku lagi mikir." Max menatap Ara sekilas sebelum akhirnya lanjut berpikir.
"Kak Demian orang kaku dan lurus. Dia adalah bayangan mix antara kamu dan Regas. Tapi ambil aspek yang baik-baik. Dia kan sudah tua."
Klepak. Ara kelepasan memukul lengan Max. Tersisalah Max mengusap pelan bekas mendaratnya pukulan Ara. Kalau sedang gemas, Ara tak segan-segan memukul orang.
Max berdecak. Gigi menggerutuk kesal.
"Aku serius, dengar baik-baik. Faktor umur juga berpengaruh. Kak Demian gak suka Talie kalau saja tuh bocah gak gencar buat keributan, kerjaannya menganggu kak Demian terus. Kau tahu kan maksudku dengan mengganggu."
"Menyerahkan tubuh?" Tanya Ara polos. Sebab kasus Eli dan Regas, Ara jadi kepikiran begitu.
Pukulan mendarat di bibir penuh Ara, si pelaku pemukulan hanya menatap datar. Dalam hati bersorak, yes, satu sama. Pembalasan dendam yang epik.
"Kau kenapa sih?"
Max memutar mata malas. "Bukan begitu Ar. Hubungan mereka sangat tertutup. Orang kaku dan dingin sulit terbuka. Sulit mengetahui apakah mereka sudah melakukan begituan atau belum."
Ara kelepasan hampir ingin memukul Demian kalau tidak berpikir saat itu mereka bicara serius. Pembicaraan yang 'begituan' Ara memulainya.
Max tersenyum sembari menaik-turunkan alis sengaja menggoda Ara. Ara memutar mata malas.
"Pikiran kak Demian kerja dan kerja terus. Saking bucin kerja, depan pintu kamar bertulis life is work. Kasih sayang kak Demian pada Talie adalah adik dan kakak. Dasarnya Talie punya seribu cara. Aku tak akan menjelaskan secara mendetail. Sekarang..." Max menatap Ara intens. Kalau saja mereka tidak sedang berucap serius, pastilah Ara akan merona. Itu untuk perempuan pada umumnya. Ara berbeda. Sejauh itu walau ia menyukai Max, Ara pandai mengatur diri sehingga tak akan ada yang tahu kalau Ara menyimpan rasa untuk teman sepermainannya tersebut.
Eli sih tahu sebab Ara sebegitu apik menyembunyikan. Eli tahu gelagat Ara kalau menyukai orang akan tetapi terhalang sesuatu. Nah, seperti yang Ara lakukan.
"Saranku kau dekati Demian dan bilang padanya untuk batasi pergerakan Talie. Waktumu tidak banyak, jadi kita pergi malam ini."
"Pergi?"
Alis Ara saling bertautan. Ia menatap bingung Max. Max gemas, sebagai bentuk pelampiasan, tangannya meremas kuat kantong celana. Ara polos atau bagaimana pokoknya Max gemas.
Max tergoda ingin menampol bibir penuh nan menggoda itu lagi. Lalu setiap melihat bibir Ara, terbayang ciuman mereka dulu. Sebelum makin menjadi-jadi, Max menggeleng. Ia tak mau Ara ilfeel.
Kalau Ara mengamuk, makin rumit ceritanya nanti.
"Amerika, kak Demian di sana."
Mata Ara membulat. Pergi ke Amerika bukan keputusan baik. Baru minta izin Ara sudah dicekal duluan. Daddy Redis tak akan membiarkannya!
Rein sih mungkin masih bisa diajak diskusi, namun soal izin, tak ada yang tahu. Ara sangsi diperbolehkan.
"Aku kurang yakin, Max." Ara menekuk wajah. Kalau berhadapan dengan mata pelajaran tersulit sekalipun Ara tak pernah terpikir ia akan sefrustasi itu.
Max memegang tangan Ara, meyakinkan perempuan itu terhadap ide yang ia tawarkan.
"Aku bantu kamu minta izin. Soal uncle Redis serahkan padaku dan kamu bagian auntie Rein."
Mata Ara membulat. Ia tak berani dengan Redis. Tidak berperikemanusiaan kalau Ara mengorbankan Max.
"But? Aku..."
Tak sekedar memegang, Max mengusap pelan tangan Ara. Max tahu kalau ingin meyakinkan Ara harus begitu. "Trust me, hubunganku dan uncle Redis tidak seburuk hubunganku dengan Regas."
Ara tanpa sadar mengangguk. Tak ada pilihan lain. Ara terlanjur mengambil keputusan, pertama-tama Ara harus berjuang lebih kuat. Soal berhasil atau tidaknya tergantung peluang.
Pegangan Max lepas. Detik itu juga Ara merasa ada yang hilang. Max melihat jam tangan. "Sudah hampir masuk. Ayo sebelum orang-orang mencari kita. Soal paspor biar aku yang urus. Walau bagaimanapun kita belum sepenuhnya punya KTP."
Max terkekeh, setelah itu seringai khas terlihat. Ara terpaku melihat Max tumbuh sampai sedewasa sekarang. Sejak kecil aura kharismatik bercampur brengsek memnag sudah terpancar dan itu hot.
Ara menggeleng. Ia ingin fokus. Jangan sampai terpikir soal aura Max.
***
Ara menganga lihat pesawat jet pribadi. Depan mata Ara langsung!
Ara melirik Max melalui ekor mata. Perjuangan lelaki itu tidak tanggung-tanggung. Max hanya terkekeh lihat ekspresi Ara yang biasa datar mirip orang idiot.
"Pesawat ini rugi kalau tidak dipakai. Ayo, hari semakin larut."
"Wajahmu tidak apa-apa?" Ara menunduk yang kemudian menatap lurus lagi. Rasa bersalah Ara semakin besar ketika ingat ia menyusahkan Max.
Wajah Max lebam sebab membantu minta izin pada Redis.
Max menggeleng, tangannya menyentuh wajah mamar di bagian pipi kiri. "Gak, aku juga punya guru beladiri seperti kalian kok. Kau tak perlu khawatir. Aku tidak melawan sebab dia uncle, kalau teman seangkatan sudah aku sleding. Cepat, besok kita harus sekolah."
Ara mengangguk. Ia menarik tangan Max. Senyum muncul di wajah lelaki itu. Max tersentuh. Berbagi hangat walau tidak dengan kotak fisik berlebihan pun sudah Max syukuri. Ia berkeinginan menjaga Ara. Membantu perempuan itu sekuat yang ia bisa lakukan.
Dalam pesawat pribadi Ara minta bantuan pramugari membawa air hangat dan kain. Sementara itu Max minta sekaleng soda. Kalau tidak minum vodka atau whisky, Max akan minum soda.
Mengemi makanan, kedua orang itu kompak memesan steak daging.
Ara mengusap pelan pipi Max.
"Terima kasih, aku berhutang budi padamu."
Max terkekeh. "Hanya hutang budi aja Ras, gak perasaan gitu?"
Ara menarik tangan mejauh. Muli lagi Max menyebalkan. Ara gak suka. Max balas menahan tangan Ara agar tak menjauh. "Jangan. I'm just kidding. Tetap elus."
"Gak." Ara bersikaras menarik tangan, alhasil keduanya kepentok kepala masing-masing. Ara ketawa ngakak. Sudah ia perhitungkan akhir yang mereka alami. Kalau ingin bermain-main, ya begitulah yang terjadi.
Ara punya ide, sekalian ia mengalihkan pembicaraan.
"Aku gugup Max."
Max mengangguk. "Ini baru pertama kalinya kau bertemu kak Demian. Wajar kok." Max mengusap pelan kepala Ara. Hal itu ia lakukan sebentar. Setelahnya Max kembali fokus ke depan.
"Kau tak perlu khawatir. Aku di sampingmu. Begini. Aku punya ide."
"Apa itu?"
"Saat bertemu kak Demian nanti, kau pergi sendirian. Pakai kemampuan beladirimu kalau kak Demian macam-macam. Dia kuat, tapi kamu juga tak kalah tangguh."
"What?" Mata Ara melotot tajam. "Kok kamu menyuruh aku berhadapan dengan orang kayak gitu, sih? Nanti kalau aku dicincang kak Demian gimana?"
"Jangan berlebihan, kau bukan Ara, aku gak kenal Ara berlebihan begini."
Ara terkekeh sinis. Max melihat perempuan itu sekilas lalu kembali fokus ke apapun di hadapannya. Max rolling eyes.
Ara mengangguk paham. Ia benar ucapan Max, Ara bukan tipe orang heboh. Soal berhadapan dengan Demie pun juga bukan hal sangat buruk.
"Oke. Terima kasih. Aku bisa jaga diri."
Ara menghela napas berat. Semua orang punya rasa takut, tak terkecuali Ara.
*****