Chereads / I'm Yours (perjuangan cinta) / Chapter 20 - 20 Eli Testing Azka

Chapter 20 - 20 Eli Testing Azka

"Begini, aku jelaskan step by step. Pertama Kakak bilang ke Natalie agar dia menolak perjodohan. Kalau dia tidak mau, kita pura-pura dekat. Ini pasti terdengar menjijikkan bagimu. Aku mengancam Natalie. Dia keras kepala menerima perjodohan, maka aku akan merebutmu darinya."

Demian diam. Ia menatap Ara tanpa berkedip. Ara yang dapat tatapan itu tertawa setengah memaksa. Cara melihat Demian kahs orang tak percaya.

Kalau Ara senyum tak enak. "Hehehe, aku kehabisan pilihan."

Demian mengangguk. "Aku usahakan Raras. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan memperburuk nama keluarga kalian."

Ara menatap Demian lurus tepat di matanya. Sedetik kemudian Ara menghela napas. Ia berhasil. Meyakinkan Demian tidak sesulit seperti ucapan Max. Wait, batin Ara berontak. Alis Ara mengerut sadar terhadap yang ia pikirkan.

"Terima kasih," ucapa Ara. Tugas Ara sudah selesai, ia akan pergi saat itu juga.

"Iya."

Demian bangkit, ia kembali fokus ke berkas. Ara meringis lihat aktivitas lelaki itu. Pasti melelahkan. Ketertarikan Ara muncul, niat awal ingin permisi undur diri tak jadi ia lakukan. Ara malah bangkit mendekat ke Demian.

"Aku tidak sempat membawa buah tangan dari Indonesia. Kakak mau apa?"

Bukan sok dekat atau sesuatu seperti itu, Ara berbasi-basi sebab ia sudah sampai di situ. Menganggu seseorang di malam hari bukan hal baik. Jadi Ara berpikir ia mungkin bisa berbasa-basi.

"Kiss on lips."

Mata Ara membulat. Baru Ara sadar Demian tidak sebaik yang ia pikir. Lelaki itu penuh dark aura. Perlahan Ara mundur. Keringat mengalir di sepanjang punggung. Ara parno, nanti kalau dia diterkam tiba-tiba berabe urusannya.

Tanpa mengalihkan pandangan dari berkas, Demian berucap. Sebelum melakukan itu ia tersenyum tipis yang bagi Ara mirip seringai.

"Tidak mau kan, sudah sana pulang. Cepat pergi sebelum aku mengunci pintu."

Bulu kuduk Ara berdiri. Mana mungkin dia mencium di bibir Demian. Mau bibir menggoda itu panas sekalipun, Ara tak mungkin melakukan itu.

Ara mengangguk patah-patah. Ara yakin wajahnya pasti tidak layak pandang saking takutnya.

"Ooh, aku pergi. Sekali lagi terima kasih."

Cepat-cepat Ara pergi, menyisakan Demian menatap punggung Ara. Ara ngacir. "Dia mengemaskan. Aku suka."

"Tapi lebih mengemaskan Talie. Dia harus aku kasih pelajaran. Aku di sini tidak menyentuh perempuan padahal sudah tua begini sebab dia. Untuk dan demi dia. Benar ucapan Ara, aku jangan menyerah dulu. Siapa tahu masih ada celah untukku masuk." Tangan Demian mengepal kuat.

Ara keluar, jantung Ara masih berdetak cepat. Baru keluar Ara di tarik Max. Agar tak kelepasan berteriak Ara menutup mulut. Max menatap Ara tatapan penuh tanda tanya. Mata mengerjap lamat-lamat.

"Bagaimana? Kak Demian tidak menyentuhmu, kan?"

Wajah Ara masih ngeblank. Walau begitu Ara tidak lupa menjawab.

"Ku pikir dia menahan diri. Aku bersyukur lewat dari maut."

Max terkekeh geli. Baru kali itu ia dengar Ara bicara berlebih. Biasanya kaku dan datar terus.

Max menelisik penampilan Ara dari atas sampai bawah. Ara risih dapat pemandangan begitu.

"Aku tidak disentuh kok. Yang ada aku takut kamu menerkamku. Cara kamu meneliti sudah mirip macan ketemu kelinci."

"Hehehe." Max justru terkekeh. Tangan menyurai rambut khas anak basket. Ngomong-ngomong, Max dan Azka memang anak basket.

"Aku first kiss kamu Ra."

Plak. Tak tanggung-tanggung, Ara memukul lengan Max. Empu sontak meringis sakit. Tanpa rasa bersalah Ara berjalan meninggalkan Max.

"Ayo, besok kita sekolah."

"Kita di jet berdua aja lho Ra. Nanti kamu peluk aku ya pas tidur."

Max menjauh sebagai jaga-jaga kalau Ara kembali memukul. Syukurlah hal itu tak terjadi. Ara melengos melanjutkan perjalannya, sedangkan Max sibuk tertawa.

Ara menggeleng lihat kelakuan Max. Terbersit ide di otak Ara. Biar Max berhenti tertawa, lebih baik Ara jahilin.

"Max, i love you. Kita nikah yuk."

Tepat seperti dugaan Ara, tawa Max langsung terhenti. Setelah itu gantian Ara tertawa renyah. "Hahaha, wajah kamu mirip kotoran hewan."

Ara berlari saat Max mengejar. Kelakuan dua orang remaja tanggung itu diperhatikan oleh masyarakat sekilas sebelum akhirnya kembali fokus pada kesibukan masing-masing.

***

"Houm."

Ara menguap. Semalam ia kurang tidur. Ara tidur di kamar Eli. Eli sengaja tak membangun Ara sebab kasihan. Ara jarang tidur kurang dalam satu malam. Jadwal tidur perempuan itu teratur.

"Jam berapa, Kak?" Mata Ara masih rapat seakan tak mau bangun. Tidur belum puas, Ara ingin lanjut tidur.

"Mandi gih. Sudah pukul 06.00."

Mata Ara sontak terbuka. Seperti orang kebakaran jenggot, Ara berlari ke kamar mandi. Ara tertawa ngakak lihat kelakuan adiknya tersebut.

***

"Regas?" Eli menatap aneh. Eli tak menyangka kalau Regas masih di rumah, Eli pikir Regas sudah ke kampus. Tahu-tahu masih di rumah. Hal yang paling tidak masuk akal Regas memanggil Eli secara terang-terangan.

Gelagat orang itu mengatakan ingin mengantar Eli ke sekolah. Eli tidak yakin sih.

"Aku antar kamu ke sekolah," ucap Regas pendek. Tak memberikan kesempatan Eli berontak, lelaki itu membawa Ara ikut bersamanya.

Ara ditinggal.

"Cih, bodoh. Kenapa tidak sekalian mengajakku?"

Mulut Ara mengerucut menandakan ia merajuk. Sedetik kemudian mata Ara melotot. Bisa gawat kalau orang-orang di sekolah melihat Regas hanya mengantar Eli. Kalau mau aman Ara harus ikut.

"Tunggu aku!"

Sebelum mobil berjalan, Ara sudah sampai duluan depan pintu mobil. Sementara itu Eli dan Regas masih berdebat.

"Kak El, gak apa-apa, ayo berangkat. Tenang ada aku kok."

"Siapa yang mengajakmu?" sungut Regas. Wajah sangat tidak bersahabat. Ara berdecih dapat perlakuan begitu. Tak kalah tajam, Ara menatap Regas penuh intimidasi.

"Aku ada salah apa sih Kak? Dulu kamu overprotektif lho, kenapa sekarang seperti membenciku?"

Emosi Ara membuncah. Sudah lama pertanyaan tersebut bersarang di otak Ara, saat itu akan ia tanyakan. Regas banyak berubah.

***

"Pagi Eli, Ara."

Ara merangkul pundak Azka. Sepupunya itu berpaduan antara manis dan manly. Azka punya duality yang menakjubkan.

"Aku dengar kau menyebut namaku depan kak El. You miss me?" Ara bertanya sembari menaikkan turunkan alis. Senyum menggoda muncul.

Azka mengacak-acak rambut Ara.

"That's right Raras. Dispen lomba bukan keinginanku. Bahkan acara promnight pun aku lewatkan. Eh, ku dengar ada anak baru, kalau tidak salah putri Mr Davidson."

"Em begitulah." Ara terkekeh. Interaksi kedua orang itu tak lepas dari pengamatan Eli. Mata Eli menelisik dari akar sampai ujung.

Azka sadar, ia menatap Eli sembari tersenyum miring. "Why causin?"

Cepat-cepat Eli menggeleng. Ia berusia lebih tua dari orang-orang di hadapannya. Oleh sebab itu soal menyembunyikan emosi, Eli bisa dikatakan lebih baik. Berada dekat orang-orang labil dijadikan Eli sebagai ramah belajar. Jiwa anak-anak yang menggebu-gebu adalah salah satu pengamatan bagus yang rugi ditinggalkan.

"Gak apa-apa." Eli menggeleng. Sedetik setelah itu tangan di posisikan di dada angkuh. Eli menatap Azka penuh selidik. Di saat-saat terakhir terpikir sesuatu. "Kamu." Eli menunjuk Azka tepat di dadanya.

Ara mencium bau-bau ketidakwajaran. Harus Ara hentikan tindakan Eli. "Kak." Ara menarik jari Eli agar turun. Sayangnya pergerakan Ara ditahan. Bukan Eli yang menahannya, akan tetapi Azka.

"Langsung kau katakan Eli. Apa yang salah dariku?" Azka menuntut.

*****