Eli sempat tertegun, tak lama kemudian ia pun berucap tegas. Eli tak boleh goyah, baik dalam bentuk apapun itu. Keluarga tak baik bagi Eli. Ia dibuang, terlepas apapun alasan ataupun kronologinya, Eli tak menganggap keluarganya baik.
"Sering terpikir olehku, Ar. Semakin aku memikirkannya, aku makin tidak mau membiarkan itu terjadi."
"Why?"
Eli mengela napas, "terlepas dari orangtua kandungku miskin ataupun kaya, aku tak mau oranguaku nanti menjadi alasan kita berpisah. Aku tak sanggup."
Ara terkekeh gemas. Tangannya terulur menyetil pipi gembul Eli. Ara suka mencubit pipi sang kakak. Rasanya nyaman dicubit.
Eli meringis walau begitu Ara sama sekali tak menarik diri. Justru Ara makin semangat menjahili sang kakak.
"Ar."
Ara menarik diri. Eli marah. Saat itu Ara menghela napas. Seolah Ara menanggung banyak beban. Berharap dengan helaan napas tersebut beban Ara terangkat seluruhnya. Paling tidak berkurang.
"Kita cari tahu dulu. Aku prihatin Kakak tidak tahu siapa orangtua kandung Kakak dari kecil sampai sekarang. Kakak mau yang menikahkan Kakak nanti Daddy? Bukan orangtua kandung Kakak? Lagian kalau kita cari, setidaknya kita tahu siapa yang melahirkan kakak ke dunia ini. Saol Kakak tidak mau berpisah, tenang saja. Siapa tahu orangtua Kakak sudah meninggal."
"Hus." Eli menepuk pelan mulut Ara. Kalau serius Ara bicara pedas, ternyata kalau main-main bicara aneh. Eli tak sanggup dengar ucapan ara. Terlalu menakutkan. Anak itu suka aneh-aneh.
"Hehehe." Ara kembali tengkurap, menyeloyorkan kakinya di ranjang milik sang kakak.
"Aku serius, Kak."
Ara melihat langit-langit kamar. "Sebaiknya Kakak cari tahu dulu."
Eli mendesis. Ara menoleh, ia rasa ada yang salah. Mata Ara mengerjap lamat-lamat.
"Aku juga serius soal Max. Kamu mau dia diambil Eve?"
Tidak menunggu waktu lama Ara langsung respon ucapan sang kakak.
"Tidak." Ara memggeleng. "Tapi kalau itu yang terjadi, aku pikir memang itulah yang harus terjadi. Dengan kata lain aku dan dia tidak berjodoh."
Eli mendengus, ucapan Ara seperti bukan keluar dari mulut orang berpendidikan, akan tetapi orang gila. Ara bukan orang gila, Eli anggap otak Ara memang tak mau berkencan sebab prinsip orang itu memang begitu. Tapi tetap saja, Eli gemas. Jelas-jelas Ara juga menyukai Max.
Pertanyaannya, kenapa menampik?
Harusnya tidak melakukan itu. Harusnya begitulah.
"Ya Tuhan Ara. Kau sama saja idiotnya dengan aku. Buang jauh-jauh tak nyaman. Kau bersembunyi dibalik kalimat kurang tepat, tahu gak. Berpikir realistis Ar, kamu jalani dulu. Max sering kasih kamu kode keras dan aku yakin kau menyukai Max," pungkas Eli.
"Kalau tidak dicoba belum tentu bisa atau tidak, lho," lanjut Eli. Perempuan itu memutar mata malas.
Ara terlihat menimbang-nimbang. Eli pun membarikan kesempatan untuk adik perempuannya tersebut berpikir. Eli yakin, Ara pasti dapat jawab pas. Jawaban yang sesuai hati dan perasaannya.
"Mungkinkah?"
Eli gemas, tangan terangkat ingin becek-becek wajah Ara saking gemasnya.
"Sangat mungkin. Ingat, menyesal itu selalu di belakang, tak pernah di awal."
Ara mengangguk. Sebuah keputusan nangkring di otaknya. Ide Eli tidak sangat buruk sih. "Oke, mulai besok aku akan mulai jujur."
Eli ikut-ikutan tengkurap dekat Ara, ia menatap lurus adiknya tersebut yang kelihatan ragu. Sudah menjawab pun masih ragu. Ara memegang ponsel terus akan tetapi tidak kunjung membuka pesan di sana. Eli gemas. "Bagus, tidak sia-sia aku ngomong sampai air liur kering. Kau memang harus jujur." Eli mengusap pelan kepala Ara, memperlakukan sang adik seperti anak kecil.
"Kak." Suara Ara memberat, itulah tipe suara Ara yang sebenarnya. Ara perempuan, akan tetapi punya deep voice mematikan. Eli merinding, lelaki sih wajar punya suara berat, tapi kalau eprempuan, bagi Ara itu aneh. Terkesan menakutkan.
Ngeri, serak-serak basah.
"Kakak mau dimadu? Saranku lebih baik jangan. Aku dan Mommy tetap berada di samping Kakak. Menikah dengan syarat dimadu lebih baik jangan. Memang sih Kakak tak menikah, Kakak tak mendapat pertanggungjawaban. Tapi aku dan Mommy mau yang terbaik untuk Kakak."
Ara menatap lurus Eli. Tangan terulur menyentuh perlahan bahu Eli. Ara jarak dengan begitu mereka lebih mudah terhubung pemikirannya. Ara menghela napas panjang.
"Kakak boleh menikah dengan orang lain. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Kesalahan Kakak besar, namun ini bukan berarti akhir dari segalanya. Kakak masih bisa dapat kebahagiaan. Kalau tidak dapat kebahagiaan dari kak Regas, belajar ikhlas dan menerima kenyataan, Kak. Tidak semua hal sesuai keinginan. Carilah kebahagiaan di tempat lain. Andai di suatu tempat tak bisa mendapatkan itu, cari tempat lain yang menawarkan kebahagiaan."
Eli menurunkan tangan Eli di bahunya. Perasaan Eli campur aduk. Alhasil Eli pusing.
"Aku berusaha, Ar. Menenangkan hati Regas memang sulit, tapi itu bukan berarti mustahil."
"Bagiku mustahil," ucap Ara mantap. Toh memang begitulah kenyataannya. Sejak kecil Regas menunjukkan kalau ia orang penuh ambisi. Menikah dengan Nata bahkan bukan masalah asal membawa keuntungan.
Ara tidak suka energi yang Regas pancarkan. Bagi Ara, Regas memancarkan aura negatif.
Eli menatap prihatin. Bisa-bisanya orang seperti Ara tak suka pada kakak kandungnya sendiri. Kasihan.
"Dia kakakmu lho. Masa kau tidak bisa melihat sisi terang darinya walau sedikit?"
Ara mengangkat bahu acuh. "Well, Kakak kan tahu aku dan kak Regas tidak akrab. Dia bukan sosok Kakak lelaki idaman." Ara melihat ponsel lagi. Jujur ia penasaran apakah sudah ada jawaban dari Max. Ara dan Max jarang chattingan. Ara agak aneh ketika lelaki itu memgechatnya duluan.
Eli menyentuh pelan pundak sang adik, sembari melakukan itu, Eli pun berucap. Fokus Ara teralih sepenuhnya mendapat perlakuan sang kakak. Eli menatap sang adik penuh perhatian. "Kalau kamu mau melihat pesan, lalkukanlah. Seperti yang kamu lihat, aku berisik."
"Huh, menyebalkan. Tidak kok." Ara mengelak. Mati-matian ia melakukan itu agar tidak ketahuan ia berharap Max menjawab pesan. banyak hal yang Ara pikirkan saat itu. Ara terus menyebut jikalau ia kesal, yang tentunya hanya dalam hati.
Tiba-tiba Eli merebut ponsel Ara, sebagai bentuk pertahanan diri Ara hendak mengambil kembali ponselnya. Eli sudah menduga hal itu, secepat ia merebut ponsel, secepat itu juga Eli menjauhkan benda tersebut dari Ara.
Eli senyum mengejek. "Mau kau atau aku yang buka chat darinya?" Mata Ara membulat, ia tak akan membiarkan hal itu terjadi. Pokoknya gak boleh!
Sedetik kemudian sudut bibir Ara terangkat, ia menatap remeh. "Buka saja kalau bisa. Aku memakai sandi yang hanya aku yang tahu. Aku punya pertahanan ganda, aku juga punya sidik jari, Kakak tak akan bisa membukanya."
"Kau meremehkanku?"
Eli tahu banyak hal, tidak sesederhana yang Ara pikirkan.
*****