Regas menatap datar sang ayah sembari tangan memegangi pipi. "Why, Dad. Aku akan mengikuti ucapan Daddy. Daddy tak perlu khawatir, aku siap. Bagiku perasaan tidak penting."
Eli menunduk ketika daddynya menatap lurus padanya. Bisa Eli rasakan jikalau sang ayah hendak menghampirinya, sebelum itu terjadi, Rein sudah lebih dulu menahan lengan Redis. Suara Rein mengusai keadaan. "Stop. Kita berkumpul bukan untuk menyalahkan tapi mencari jalan keluar."
Rein melihat Eli. Sempat terjadi kontak mata antara mereka. Bisa Eli lihat terpancar kecepatan. Siapa yang tidak kecewa melihat anak yang diurus sedari kecil bertindak bodoh?
Tidak satupun.
Walau begitu Eli tak menunduk. Ia sudah melakukan dan itu adalah keputusan yang ia ambil. Baik buruknya akan Eli tanggung.
Redis mendengus, tak lama kemudian ia pun berucap, "duduk kalian, cepat."
Ara yang lebih dulu duduk, sementara itu Eli dan Regas menyusul. Hampir bersentuhan, Regas meremas kuat tangan Eli. Eli tak menunjukkan reaksi berlebih, ia hanya menatap lurus. Alis Regas bertaut, dalam otak langsung berpikir jikalau ada yang tidak beres dengan Eli.
Sikap perempaun itu berubah 180°.
Redis menghela napas berulang kali. Urat leher mencuat pertanda ia tengah berada di puncak kemarahan.
"Kau meniduri Eli, Regas?"
Keadaan tidak berpihak pada Regas, walau begitu Regas tak menunduk. Justru sebaliknya Regas mengangkat wajah tinggi-tinggi. Regas tak peduli, ia bebas melakukan apapun sesuka hati. Regas hanya patuh pada aturan ketat mengenai masa depan. Soal sikap, Regas cocok disebut anak kurang ajar. Hati Regas beku dan tak tersnetuh.
"Iya." Regas menjawab singkat. Tak terlihat keraguan.
Mata Redis berkilat marah.
"Kurang ajar. Beginikah azab aku punya sifat buruk dulu?" Redis memijat kepala. Tak lama kemudian ia menatap lurus orang-orang. "Walau bagaimanapun aku kepala keluarga." Redis beralih fokus ke Eli. Eli yang dilihat seintens itu menahan napas, tatapan Redis sangat mengintiminasi. Tatapan yang juga menunjukkan ketidaksukaaan yang terlihat nyata.
"Rein."
Rein melihat Redis, Rein tahu ia salah. Saat salah Rein harus minta maaf, ia tak ingin terjebak di situasi dan keadaan salah itu terus-terusan.
"Kau sangat tidak mempercayaiku? Aku baru tahu Eli bukan anak kandung kita. Itu pun aku mengetahuinya dari anak buah. Astaga Rein."
Redis menatap tajam Rein. Rein balas tatapan datar Redis dengan menatap datar juga. Rein punya alasan dan ia yakin terhadap alasannya. "Sebelumnya aku minta maaf walau ini tidak akan berdampak banyak. Tentunya tak akan mengubah apapun. Kau menarikku kembali. Hubungan kita kurang baik sehingga aku mengambil cara ini. Aku menemukan Eli di dekat rumah dan aku tak tega menitipkannya di panti asuhan."
Rein tidak mengalihkan pandangan sedikitpun dari Redis. Rein tahu yang ia lakukan. "Terlepas kau ingin marah, aku tidak merasa keputusanku sangat salah. Aku melindungi anakku. Hanya saja aku akui, aku kurang tegas mendidik Eli hingga ia terpikir melakukan tindakan tak masuk akal. Bukan bermaksud menyalahkan siapapun, sifat Regas dua kali lipat darimu." Rein menarap sang anak. "Dia bahkan tidak peduli dengan sispapun. Dia terlalu kaku."
Regas mendesis. Sejak muncul sifat buruk, Regas merasa ia tidak nyambung dengan ibunya. Semakin jauh, lama-kelamaan Regas marah. Ia tak menyukai Rein.
"Oke." Redis memijat kepala sebentar sebelum akhirnya berucap. "Eli, aku sudah dengar dari Regas kalau kamu tak masalah jika tidak dapat pertanggungjawaban. Kau hanya ingin anak dari Regas."
Eli kaget, namun pada akhirnya ia pun mengangguk. "Benar Dad." Selain memang begitulah kenyataannya, Eli tak punya banyak pilihan. Dapat pengampuanan saja Eli sudah sangat bersyukur. Redis terkenal kejam. Tak peduli siapapun orang itu, kalau salah harus dihukum.
Eli tak menampik kalau ia takut.
"Sudah aku putuskan. Regas." Regas menatap sang ayah. "Kau lanjutkan pertunangan dengan Natalie. Kalau kalian tidak cocok, kau harus menikah dengan Eli. Semua bergantung kamu. Lalu kau Eli." Eli yang merasa ia dipanggil mendongkrak. Redis lanjut berucap, "kalau kamu hamil, sembunyikan kehamilanmu. Semua keputusan Daddy serahkan ke Regas. Sebenarnya aku ingin menyuruh Regas memadu, sayangnya Regas akan bertunangan dengan Nata. Nata anak tuan Davidson dan Meyra, mereka bukan orang sembarangan."
"Poligami?"
Regas berucap, lalu ia menatap lurus Eli. Senyum miring mengembang hingga terlihat jelas di sudut bibir Regas. Untuk selanjutnya, hanya Regas dan Tuhan saja yang tahu.
***
Mencintai dan serakah adalah dua hal saling bertolak belakang akan tetapi sering berdampingan. Kedua istilah tersebut mengandung racun. Siapapun yang terjebak siap-siap sakit.
"Aku setuju," ucap Eli, saat itu ia tengah membaca quotes di media sosial soal masalah-masalah rumah tangga. Kepala mengangguk-angguk sembari mulut mengembung. Ara berada tak jauh dari Eli. Perempuan itu sedang memegang ponsel. Bagai mengalihkan ekspresi semudah membalikkan telapak tangan, wajah menggemaskan Eli kembali seperti semula. Ara sempat gemas, akan tetapi saat itu fokusnya terfokus pada ponsel. Ara tak tahu sesekali Eli meliriknya.
Eli berdecak. Ara itu terkena hubungan toxic dengan Max. Bagi Eli begitulah yang terjadi.
"Kau mau stuck di keadaan ini terus? Kau hidup di kedaaan fake, tahu gak."
Ara sedang chattingan dengan Max. Dengar ucapan Eli, Ara pun melirik sang kakak sekilas. Tengah mode menyebalkan, Ara berdecak. Ponsel langsung disembunyikan. Ara tahu Eli sudah melihat banyak, akan tetapi ia akan menghalangi Eli melihat isi chatnya sampai tuntas. Tidak boleh semuanya.
Ada memutar mata malas. "Aku tidak mau merusak hubungan persabahatan kami. Nanti canggung."
"Eve menyukai Max. Saat party perusaan pun, Max mengajak perempuan itu. Dulu teman Max hanya kau dan aku, lho. Sejak membawa Eve ke pesta, Max mulai dekat dengan Eve. Evelina pelarian Max, sebenarnya Max itu menyukaimu."
Ara tertegun sejenak, kemudian ia menatap Eli lurus. Ia tak lepas pandangan dari sang kakak. "Hah…" Ara bangkit, tidak lagi tengkurap di tempat tidur. Dada naik turun padahal Ara tidak sedang kekurangan oksigen. Tangan Ara memegang milik sang kakak. "Kita sama-sama punya masalah. Bukankah kita memang ditakdirkan bersama?"
Eli senyum tipis dengar ucapan Ara. Senyum itu lebih tepat disebut smirk. Ara sempat speecheless sebelum akhirnya membalas senyum Eli. "Aku kaget dengan perubahan barumu yang sekarang, but its oke, aku bukan tipe perempuan muluk. Aku bisa beradaptasi."
Ara mengalihkan pandangan saat ia lihat Eli bukan hanya bersmirk, akan tetapi tersenyum remeh. Jujur Ara kurang suka terhadap perubahan Eli.
"Baguslah." Eli melihat ke arah pintu. Mata terlihat menerawang.
Pembicaraan keluarga tak berlangsung lama. Redis sibuk dan Rein begitu.
Rein pribadi menitipkan Eli kepada Ara. Umur kedua perempuan itu terpaut cukup jauh, akan tetapi umur tak menjamin seseorang bersikap sesuai. Ara memiliki sistem berpikir dewasa. Dengan sikapnya tersebut, banyak orang mengira Ara lebih tua ketimbang umur asli.
Wajah Ara sedewasa sikap yang ia tunjukkan.
"Kak, kau tidak tertarik mecari tahu siapa orangtua kandungmu yang sebenarnya?"
Eli membeku.
*****