[Nanti kita bertemu. Aku tutup dulu.]
[Cepat pulang, kalau tidak aku cari keberadaan Kakak.]
[Iya.]
Panggilan terputus. Selanjutnya Eli beralih fokus ke Max. Eli tahu Max dengar seluruh pembicaraannya dengan Ara dan ibunya, Rein. Eli sudah putusan ia akan bicara baik-baik pada Max.
"Kau pro menyetir, kan?"
"Maksudmu?"
Eli menghela napas, ia menatap lurus Max tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun.
"Aku ingin cerita. Kau dan otak pintarmu pasti sudah menduga cerita ini."
Max mendengus. Ia menolak percaya Ara, Eli bahkan bibi kesayangan Max menyembunyikan hal sebesar itu dari semua orang. Max yakin kenyataan itu yang mengetahuinya hanya mereka.
"Tidak perlu. Analisaku bagus," ujar Max. Matanya tak lepas dari jalan. Merasa perlu, Max melihat sekilas Eli.
"Hanya kalian yang mengetahui fakta ini?"
"Em." Eli menjawab singkat. Tepat seperti dugaannya, Max tahu. Ia menyamankan diri di kursi penumpang tepat di samping Max. Max menghela napas berat, namun Eli tidak terlalu memikirkan hal tersebut.
"Ehem." Max memperbaiki letak duduknya. Hal itu spontan ia lakukan. "So, semalam." Lagi-lagi Max memperbiki letak duduk. "Kau…." Max terlihat ragu. "Kalian."
"Itu…" Mendadak Max jadi gagu. Max pikir tak akan berakhir baik. Mereka masih piyik. Melakukan one night stand adalah hal paling tak masuk akal yang pernah Max pikir.
Eli berucap tegas.
"Iya, kami melakukannya. Kau bisa menyebutku idiot atau sesuatu semacam itu. Aku hanya menginginkan anak dari Regas, tidak harus ia nikahi."
Max menggerem mobil mendadak. Eli tak siap, alhasil kepalanya hampir terpentok bagian depan mobil kalau saja tangan tidak bergerak lincah. Gerak refleks Eli harus diancungi jempol.
"You crazy?"
Tanpa melihat Max, Eli berucap lirih. "Iya."
"Oh Gosh." Max memukul stir kemudi. Emosinya tak terbendung.
***
Eli sampai rumah. Sengaja Eli minta Max menurunkannya 5 KM sebelum depan gerbang Sanjaya family. Eli tak ingin terjadi keributan. Biar Eli mengaturnya. Max setuju dengan syarat ia mengawasi Eli dari jauh. Max sampai mengikuti langkah Eli dengan jarak yang sama jauhnya. Max bertingkah selayaknya penguntit.
Eli tak masalah, Max baru saja menyelesaikan perang dengan dirinya sendiri dan Eli tahu hal itu tidak mudah. Eli menghargai Max.
Eli disambut Ara depan pintu gerbang. Eli menghela napas, sebegitu khawatirnya Ara padanya sampai-sampai menunggu di situ. Eli tak enak hati.
"Kakak baik?"
Baru menginjakkan kaki selangkah, Eli langsung diperiksa Ara seluruh tubuhnya. Ara bertingkah seperti pemeriksa agen rahasia di mana Eli berpotensi sebagai penyusup. Eli terkekeh lihat kelakukan sang adik.
"Kak."
Napas Ara tercekat, tanda buatan Regas terlihat jelas. "Regas? Kak Regas yang melakukan ini?"
Eli serba salah. Tenyata tidak semudah yang ia pikirkan. Mengatakan yang sebenarnya sangat-sangat sulit. Eli usahakan ia tidak menunduk. Meski suara Eli tidak terdengar baik, Eli katakan yang sebenarnya terjadi.
"Maaf, ini salahku."
Ara menatap nanar. Sedetik kemudian ia menggeleng. Sudah cukup lebih baik dihentikan. Ara menatap Eli tepat di matanya.
"Ayo masuk. Mom and Dad menunggu di dalam," ucap Ara. Tatapan serius yang biasa perempuan itu tunjukkan berubah datar.
"Daddy juga?"
"Iya."
"Kita ketahuan?" Eli gelisah. Redis sulit menerima kesalahan dalam bentuk apapun.
Ara menggeleng.
"Harusnya tudak, Mom sedang berusaha. Kak Regas belum ada kabar sampai sekarang, tapi terakhir yang aku dengar dari Mom, kak Regas akan pulang tidak lama lagi. Kau bersiaplah."
"Ar." Eli memegang tangan Ara. Pergerakan Ara yang hendak membawa Eli masuk jadi terhenti. Tatapan datar Ara sudah berubah, tak lagi terlihat. Ara ingin menatap Eli lebih baik.
"Regas bilang dia dijodohkan dengan Natalie"
Mata Ara membulat. "Maksudmu sepupu Max?"
"Em."
Ara masih syok.
"Oh Gosh, Daddy yang merencanakan itu?"
"Begitulah," jawab Eli singkat. Tak terlihat emosi padanya. Ara menatap penuh selidik, merasaa aneh terhadap sikap sang kakak. "Kau tidak mati rasa, kan? Kau tidak sedih?"
Eli menggeleng. Ia tidak kepikiran soal apapun. "Aku tidak masalah tidak Regas nikahi. Yang aku ingin darinya hanya anak."
"You crazy," ucap Ara spontan. Syaraf otak langsung mumet dengar ucapan Eli, Ara merasa bodoh. Ara terkena penyakit saraf terjepit mendadak. Nyawa tak lagi berada di tubuh. Tanpa diduga Eli menarik tangan Ara kemudian membawa perempuan itu masuk. Otak Ara masih berproses, senang kata lain Ara ngelag. Ara pasrah ketika Eli mengiringnya.
"Kak, kau sudah gila?"
"Tidak Ar." Eli menjawab pendek, seolah pertanyaan soal gila itu sudah menjadi makanan sehari-hari dan Eli tidak tersinggung sedikitpun.
Ara tiba-tiba menangis, satu air mata meluncur begitu mudah, Ara merasa bersalah saat kakaknya bersikap begitu. "Tapi Kak, kenapa kau begini. Kakak punya akal sehat bukan untuk jadi begini."
Eli menatap Ara sekilas. Ia tersenyum tipis.
"Aku buta. Usia kita terpaut kurang lebih dua tahun. Kau tak perlu khawatir, Mom memberikan akses untukku hidup sendiri. Sisanya aku akan berjuang." Eli menghadap ke Ara. Mereka berhenti tepat di ruang keluarga. Kalau ingin bicara serius, keluarga Sanjaya selalu melakukan hal tersbeut di ruang pribadi.
Eli memegang bahu Ara erat. Menatap tepat di mata sang adik. "Sudah lama aku merencanakan hal ini. Kau tak perlu khawatir, aku tidak lemah."
Mau ucapan Eli seperti apapun, tak mengurangi ketakutan Ara. Ara tak rela sang kakak memilih hidup begitu.
"Tapi Kak." Ara merengek. Seumur hidupnya, Ara tak pernah melakukan itu. Saat Ara mulai mengingat dunia, setahunya ia tak pernah merengek bahkan itu untuk benda yang sangat ia inginkan. Ara tak banyak menginginkan apapun. Baik dalam bentuk barang, makanan ataupun hal yang dianggap berharga. Ara termasuk perempuan yang tidak banyak bunyi.
Air mata Ara kembali mengalir sadar ia tak kan mampu memperbaiki hal yang terjadi. Eli punya pendirian kuat, sekali perempuan itu menginginkan sesuatu, maka ia akan stuck berada di keadaan itu tanpa terkecuali. Kalau seperti itu, Ara bingung. Ia tak tahu bagaimana menghadapi sang kakak.
Eli menghapus air mata di sudut mata Ara. Ara jarang memangis, lalu saat melakukan itu, hati Eli terasa tercubit. Eli tak rela.
"Maaf, tapi inilah keputusanku."
"Ehem."
Ara dan Eli berbalik. Di sana bisa Eli lihat Regas menatap datar. Tangan dimasukkan ke saku celana. "Aku sudah datang. Ayo masuk." Regas melihat jam tangan. "Aku tak punya banyak waktu."
Tangan Ara mengepal. Ara tak tahu siapa yang harus disalahkan. Antara Regas dan Eli sama-sama salah. Pergolakan emosi menguasi Ara. Eli menggengam erat tangan sang adik. Tatapan Eli mengisyaratkan tak ada yang harus dikhawatirkan, semua akan baik-baik saja.
Ara menurut, ia pun mengikuti kedua orang di hadapannya. Sekali menginjakkan kaki, Regas dapat pukulan telak dari sang ayah. Ara yang melihat itu bungkam. Eli diam, ia pun kaget. Tak pernah terpikirkan olehnya redis memukul Regas.
*****