Pagi menjelang. Eli bangun. Di samping, tak jauh berada dekat Eli, Eli lihat Regas masih tidur pulas. Tangan Regas bertengger manis di perut Eli. Eli meringis tertahan, rasa sakit di bagian intim mengalihkan seluruh pikirannya. Eli tidak meringis, ia tak ingin melakukan itu. hal pertama yang Eli lakukan adalah memeriksa ponsel. Sudah Eli duga ada banyak pesan dari Ara dan ibunya Rein. Saudari dan keluarga angkatnya tersebut pastilah khawatir.
Eli melihat Regas. "Mumpung dia masih tidur, aku pergi saja." Eli menatap datar, tak tersirat emosi apapun darinya.
"Bukan hanya aku yang bodoh, Regas, tapi kita," ucap Eli. Sakit di selangkangan sama sekli tidak Eli hiraukan, Eli melangkah menjauhi Regas. Serba hati-hati Lyra melepaskan diri dari kunkungan lelaki itu.
Regas tidak main-main, pegangannya kuat seolah tak ingin Lyra pergi.
Lyra menghela napas saat ia berhasil kabur dengan perjuangan keras. Denyutan di bagian intim Lyra tak berkurang. Yang ada makin tambah sakit.
Selama di perjalanan Eli melepon Max. Hanya Max satu-satunya orang yang bisa Eli mintai bantuan. Sebenarnya Eli membawa uang, hanya saja ia tidak ingin naik bus umum. Biarlah yang terjadi tetap terjadi.
[Halo. Di mana kamu, El?]
Eli senyum walau tipis. Ia ingin minta bantuan Max lebih dari sekedar menjemput. Ide briliant terpatri indah di otak Eli.
[Di halte. Kau sibuk?]
[Halte. Kirimkan sekarang alamatnya. Aku akan menjemputmu.]
Senyum Eli makin lebar. Belum minta tolong pun max memang ingin menjemput. Kebaikan Tuhan melaui perantara max memang yang terbaik.
Max baik dengan teman-temannya. Tak terdapat perbedaan perlakukan antara Eve, Ara dan Eli oleh Max. Max baik pada semua orang.
[Iya. Aku memang ingin minta bantuanmu. Aku kirim lewat chat lokasiku sekarang. Sebelum ini, aku ucapkan terima kasih.]
[Oke.]
Panggilan terputus menyisakan Eli menatap datar gedung yang menjadi saksi bisu ia dan Regas melakukan hubungan tak seharusnya. Eli bersmirk, sudah lama ia menginginkan Regas hanyut. Yang terlihat pada Eli selama itu hanyalah topeng.
"Kau salah menganggapku rendah, Regas. Aku tumbuh di keluarga baik, akan tetapi aku penuh ambisi."
Eli berdecih. "Rasa sakit yang membuatku kuat. Tidak akan ku biarkan kau menginjakku terus-terusan."
Eli menunggu. Harapan Eli, Max cepat datang menjemputnya. Eli takut Regas terbangun. Kalau itu terjadi Eli bisa habis. Well, setidaknya Eli bisa membela diri sih. Ia bukan perempuan cenggeng dan lemah. Eli tidak pernah melawan Regas agar keinginannya tercapai. Only it.
Masing-masing dari Regas, Eli dan Ara berlatih seni ilmu beladiri. Tujuannya untuk mempertankan diri. Rein membekali anak-anak agar bisa melindungi dirinya.
Sekitar lima belas menit kemudian Max sampai. ia langsung keluar mobil. Max memapah Eli masuk mobil. Semalam Ara mengkhawatirkan keadaan Eli. Ara memang pandai menyembunyikan kekhawatirannya, akan tetapi Max cukup peka untuk tahu yang dirasakan oleh sang sahabat.
"Are you oke?"
"No."
"What?" Max bertanya. Ia lihat cara berjalan Eli tidak normal. Eli mengibaskan tangan depan Max bertujuan menyadarkan lelaki tersebut. "Kita masuk dulu, nanti aku ceritakan."
Max mengangguk patuh. Max membukakan pintu untuk Eli. Sebelum pergi Max melihat sebuah gedung. "Bukankah ini apartemen pribadi Regas?" gumam Max dalam hati.
Max menggeleng. Ia tepis jauh-juah pikiran buruk di kepalanya. Cepat-cepatax masuk ke mobil, lebih tepatnya di kursi kemudi. Sama seperti Ara, Max juga sudah dapat SIM sementara. Untuk sekadar menyetir dengan jarak tidak sangat jauh, Max bisa.
"Tell me. Kau habis dari apartemen Regas, kan?"
Eli menoleh. Tatapan perempuan itu bingung. "Kau tahu?"
"Aku dan Regas tidak akrab, tapi aku tahu sekuruh tempat pribadinya. Demi kamu aku menyetir jauh, nih." Mesin mobil sudah menyala, Max menatap Eli intens. "Jadi ku harap kamu jujur. Entah apa yang kalian sembunyikan, tapi aku mencium ada yang tidak beres."
Eli tersenyum tipis. "Aku akan bilang jujur kok. Sebelum itu, tolong kita pergi dulu sebelum Regas bangun."
Max menatap tak percaya, sedetik kemudian sontak membuang muka. Sekilas ia melihat kissmark di leher Eli. Penampilan Eli berantakan. Dalam hati Max mengumpat. "Sialan."
Seperti ucapan Eli, mobil Max mulai berjalan konstan. Pikiran Max penuh, banyak hal negatif nangkring di otaknya. Dari sekian banyak pikiran buruk, yang paling banyak terasa adalah Ara sudah diunboxing Regas. Sepanjang perjalanan Max tak henti-hentinya mengumpat.
Eli tidak mematikan ponsel, ia lihat Ara menelponnya. Eli menghela napas, sekarang ia tengah bersama Max. Eli tak mau terjadi kesalahpahaman antara mereka. Eli sadar diri ia tak boleh main-main dengan Ara. Eli tahu yang namanya terima kasih.
Maxsibuk menyetir mobil dengan mata fokus menatap ke depan. Lantas orang itu pun berucap.
"Kau gelisah. Ku sarankan angkat teleponnya kalau bukan dari Regas. Jangan katakan kau sedang bersamaku kalau kau ragu. Biar aku yang mengurusnya nanti."
Eli berdehem. Setelah itu ia memperbaiki letak duduk. Baguslah, Max paham. Eli merasa lebih baik seiring ucapan orang itu. Max tak langsung membantu, sekedar ucapan saja sangat berarti untuk Eli.
Eli bersyukur.
"Terima kasih."
Tak membuang waktu Eli menggeser tombol hijau. Suara berat Ara terdengar. Bukan, Eli tahu benar tipe suara Ara, kali itu bukan Ara, akan tetapi Rein. Eli menahan napas, sebab sudah terlanjur mengangkat telepon, Eli tak akan menghindar.
[Halo Eli, kau di mana sayang?]
[Kami mengkhawatirkanmu. Regas tidak macam-macam kan, sayang?]
Secepat Eli mengangkat telepon tanpa keraguan, secepat itu pula Eli menjawab pertanyaan sang ibu. Eli sangat menghormati Rein. Rein tidak membedakan perlakukan antara ia dan Ara. Kasih sayang sama sampai sebelum tahu fakta sebenarnya, Eli tak pernah menduga kalau ia bukan anak kandung.
[Mom, aku baik. Sekarang aku di taksi menuju rumah. Mom tak perlu khawatir, aku tidak diperlakukan buruk oleh Kakak.]
Di seberang sana terdengar suara helaan napas. Eli merasa bersalah membohongi ibunya. Sekali berbohong, terasa seribu jarum menancap di otak Eli. Berbagai kemungkinan buruk berlaku lalang. Eli tak sanggup. Apa mau di kata, Eli tak punya pilihan lain.
[Mom.]
[Ya sayang?]
Eli melirik Max sekilas. Yang ditatap sama sedang menatapnya sebelum akhirnya kembali fokus ke jalan.
[Nanti aku hubungi lagi. Tolong jaga Ara.]
[Kak, apa yang kau katakan. Cepat pulang.]
Eli senyum dengar suara berat Ara berubah imut. Eli suka suara itu. Ara memiliki banyak sisi yang hanya ditunjukkan pada keluarga. Untuk Max adalah pengecualian.
[Tentu. Kau jangan khawatir. Aku baik kok.]
Eli menghela napas berat yang pastinya dapat didengar oleh orang berjarak jauh di sana. Eli memang gila. Well, Eli tak ingin menjadi gila terus-terusan. Eli punya rencana.
*****