"Ikut aku."
"Kak, selesai pembukaan promnight. Hati-hati, kalau macam-macam ke kak Eli aku tendang pusaka Kakak," ujar Ara berbisik. Ia masih sadar untuk tak bicarakan aib sang kakak depan umum. Segala sikap buruknya terhadap Eli. Ara simpan baik-baik hal tersebut.
Rein berpesan, sampai mereka setidaknya lulus SMA, jangan sampai orang luar tahu kalau Eli bukan anak kandung Rein. Terutama sikap buruk Regas pada Eli. Tidak berbuat menutupi, Rein hanya cari waktu pas agar situasinya tak terlalu panas.
Ancaman Ara bukan sekedar ucapan, sudah banyak yang terealisasi. Sepak terjang Ara bukan usapan jempol belaka. Tuh pusaka Regas sudah tak terhitung berapa kali dapat servis gratis Ara.
"Aku gak punya waktu. Sekarang ikut."
Eli berikan tatapan tenang agar Ara tak terlalu mengkhawatirkan dirinya. Mengungkapkan secara langsung bahwasanya ia tidak apa-apa. Seburuk-buruknya sikap Regas, lelaki itu tak pernah umbar perlakukan buruknya ke orang luar.
Perihal hubungan Eli dan Regas, segala bentuk interaksi dekat atau bahkan yang intens pun tak pernah dilihat Eve. Ara pun jarang bisa lihat hal itu walau mereka berada dalam satu rumah.
Regas sangat berhati-hati soal hubungannya dengan Eli. Jangan sampai ada orang lain tahu. Cukup antara mereka. Regas biasa menemui Eli secara diam-diam.
Kalau Max sih sudah sering lihat interaksi kedua orang tersebut. Bahkan sebab merasa ada yang aneh, Max sengaja memperhatikan keduanya.
Saat itu Max dalam proses pengamatan.
Regas overprotektif jaga Eli, atau punya hubungan seperti Nata dan Demian?
Tiba-tiba Max terpikir begitu. Walau akal sehat Max sering mengatakan tidak mungkin. Ia tidak percaya.
Setelah kepergian Regas dan Eli, Max kembali mengalihkan fokusnya ke Nata. Saat itu, di jamin Max akan jadi duta wisata dadakan. Tak hanya memperkenalkan tempat dan struktur sekolah kepada Nata, akan tetapi juga teman-teman mereka. Nasib.
Max sering kali disusahkan oleh Nata. Orang itu menyebalkan, bukan cute.
Manja?
Tidak sama sekali.
Dapat timing pas, Max pun dekati Ara. Lelaki itu terlihat kurang menikmati acara promnight. Baru hendak diajak ngobrol, Ara malah izin pergi ke toilet.
"Kamu kebelet atau mau memastikan keadaan Eli?"
Ara mengerjap lamat-lamat. Sedetik kemudian pun terlihat berpikir. Kemudian, Max pun melanjutkan kembali bicaranya.
"Aku tidak terlalu yakin soal ini, Ar. Mungkinkah Eli bukan anak kandung auntie Rein?"
Ara datar. Sempat terlihat perubahan raut wajah. Tak ingin terlalu ditunjukkan, ekspresi tersebut cepat berganti. Ara tipe orang yang bisa kendalikan ekspresi wajah.
Meski begitu, dalam hati sibuk berpikir jawaban pas agar kecurigaan Max tak semakin besar.
Ara ingin melindungi status sosial Eli. Oleh sebab itu tidak ada orang yang boleh tahu tentang identitas asli Eli.
*****
Eli bicara tegas. Sesuai dengan ekspresi wajah.
"Bukan, kak Eli anak kandung Mom," balas Ara. Seperti biasanya, vibe perempuan itu seperti mafia woman. Tak terlihat keraguan sedikitpun pada orang tersebut.
Ara lebih banyak datar. Seperti emosi tidak berlaku pada diri orang itu.
Otak Ara penuh tentang Eli. Terbersit pikiran susul sang kakak. Hah... Ara dan Eli sudah buat perjanjian. Seandainya tidak ada kesepatakan sial yang buat Ara tidak bebas mencampuri urusan Eli dan Regas, Ara pasti sejak dulu sudah memarahi Regas berlaku kasar pada Eli.
Kalau disuruh memilih antara Regas dan Eli. Tentu Ara akan memilih Eli. Sepanjang hidup Ara lebih banyak ia habiskan bersama dengan Eli, bukan Regas.
Sekalian itu, walau mereka sudah satu rumah, Ara dan Regas tidak seperti saudara pada umumnya. Lumrahnya kakak laki-laki melindungi sang adik perempuan sampai bertingkah overprotektif. Sayang sekali hal itu tidak berlaku pada Regas.
Orang tersebut lebih banyak menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Tidak peduli terhadap kedaaan dan perasaan orang lain. Dari itu Ara mengambil kesimpulan, Regas kakaknya adalah orang egois.
Apapun yang terjadi antara Regas dan Eli, selama nyawa Eli tak terancam, Ara hanya harus diam. Bertingkah seperti menghargai privasi namun kesal terhadap keterdiaman tersebut.
Ara bak tak bisa melakukan apapun. Tak berguna.
Akal sehat Ara berontak, ia tak bisa tepati janji. Saat itu, khawatir lebih besar ketimbang rasa hormat dan saling percaya. Baik kepercayaan Eli pada Ara maupun sebaliknya.
Ara khawatir lihat Eli dibawa dengan cara kasar oleh Regas.
Sialnya, Max tak mau beranjak. Buat Ara berpikir dua sampai tiga kali susul Eli. Ara tertahan oleh adanya Max. Bahkan rencana ingin pergi ke toilet pun terlupakan.
Di waktu dan tempat yang sama, bergeser letak posisi, Eli disudutkan Regas. Kali itu Regas semakin bersikap kasar. Tak jarang orang itu tanpa rasa kasihan dorong kuat tubuh Eli ke dinding.
Tangan Eli mengepal. Terbersit niat terjang selangkangan Regas. Persis seperti yang Ara lakukan. Kalau Ara bisa, kenapa Eli tidak?
Ah, Eli mulai bersikap naif. Plin plan. Kalau ingin bertahan, ya bertahan. Menyerah, bisa juga lakukan hal tersebut.
Bebas pilih.
Namun pada kenyataannya, seorang Elisabeth terlalu naif atas keinginan untuk bisa dibilang obsesi menginginkan Regas. Menginginkan benih dari orang tersebut.
"Kau sengaja pakai pakaian begini?"
Suara Regas tajam, bak silet yang menyayat hati begitu dalam. Menorehkan luka. Darah mengalir sebegitu deras. Rasa sakit yang tak tertahankan. Ucapan menohok yang langsung mengena di hati.
Eli diam. Tidak ia tunjukkan perubahan ekspresi pada dirinya. Eli bersikap seperti Ara yang seperti tidak punya emosi.
Tidak mengalihkan pandangan sedikitpun dari Regas, Eli lantas bilang begini.
"Berpikirlah aku murahan. Kau lupa, dulu pun sudah pernah pakai pakaian begini."
Pertama dan terakhir kali Eli pakai baju terbuka saat pesta perusahaan Sanjaya. Regas paksa Eli ganti baju yang ia pakai. Lalu tidak ada penolakan berarti Eli. Perempuan tersebut ikut perintah Regas.
Lantas sekarang orang itu cemburu seolah Eli hanya boleh berpakaian sexi atas kehendaknya?
Oh Gosh, lucu sekali.
Kalau ingin nolak, tentu Eli bisa. Eli memang ingin. Eli dengan keinginannya mengenai Regas yang membuat Eli setuju. Menuruti keinginan Regas adalah cara yang Eli pakai untuk dapatkan hal yang ia mau.
Bugh.
Eli membatu. Regas pukul dinding tepat di samping wajahnya. Sedikit lagi pukulan itu pas kena wajah.
Untuk sementara waktu jantung Eli terasa berhenti berdetak. Ia tak tahu harus melakukan hal seperti apa. Rasanya sulit. Eli yakin wajahnya pucat seperti mayat hidup.
Tidak dialiri darah.
Sembari tatap Eli kesal, Regas pun berucap. Sebelum itu ia sempatkan bersmirk.
"Kau hanya boleh berpakaian terbuka atas keinginanku. Ara yang buat kamu begini?"
"Memangnya kenapa kalau aku begini, Kak? Aku tetap milikmu."
Regas menjauh. Setelah Eli perhatikan, Regas selalu menghindar saat Eli bilang dirinya milik orang itu.
Regas membuang muka.
"Kau benar, you're mine." Regas berdecih jijik seperti melihat kotoran.
"Meski begitu." Regas kembali lihat Eli. Berbalik menghadap kekasih gelapnya tersebut. "Aku tidak suka milikku dinikmati orang lain."
Regas bersmirk.
*****