Tetap sama atau berubah?
Untuk Max, Eli yakin masih sama. Namun untuk Eve, Eli masih belum yakin. Ia meragu. Eve baik, hanya orang itu punya kepribadian misterius. Belum bisa Eli tebak tingkat ketulusan Evelina.
"Sanjaya's family punya banyak anak. Sejarah paling wow," celutuk Nata sebegitu mudah.
Max tak bisa diam. Ia senggol lengan adik sepupunya itu. Tak ada keraguan sedikitpun. Lain kali, mulut Nata harus dibawa ke tukang cuci, biar bersih.
Julitin orang agresif banget.
"Why Max. Aku bicara fakta, ini namanya komentar."
Max putar mata malas. Tak ingin respon ucapan sang adik sepupu lebih jauh. Kalau direspon yang ada makin gak mau berhenti ngomong. Tuh mulut sudah seperti kran air yang setiap saat ngomong tiada henti.
Nata berada satu tahu dibawah mereka. Tahun itu baru kelas XI SMA. Pindah sekolah saat hampir akan lulus.
"Your name, Nona?"
Tanpa bas-basi Eve sebut namanya. Biar gak terlalu lama diluar gedung. Sudah Eve pikirkan bagaimana sikap Nata terhadap dirinya yang tak punya marga. Marga khusus orang-orang terhormat.
Selama para orang kaya tersebut tak menghina, Eve tak masalah.
Olok-olok, Eve tidak berpikir jauh terhadap hal-hal seperti itu. Sudah biasa, fungsi mulut manusia adalah perusak. Di samping untuk bicara yang harusnya hal baik-baik.
"Evelina."
"Tanpa marga?"
"Apa gunanya marga kalau sikap tak menunjukkan keagungan marga tersebut." Alis Eve terangkat. Ia tampilkan ekspresi sedingin mungkin. Tak ingin ambil pusing terhadap reaksi balasan Nata padanya nanti.
Smirik khas Eve pun langsung menguasai keadaan. Tidak tanggung-tanggung.
Eli kaget. Tuh kan, Eve selalu punya plot twist yang buat ia tak habis pikir. Kadang lemah lembut, terkadang judes. Tuh mulut tajam seperti silet dan pedas kayak cabe rawit.
Diluar ekspektasi, halnya justru Nata bilang justru begini.
"Masuk yuk. Aku ikut kalian ya. disini kalian satu-satunya orang yang aku kenal. Kalau sudah dapat teman pas, baru aku tentukan pilih circle mana."
Max putar mata malas. Kalau bukan permintaan secara pribadi uncle Davidson yang sangat ia hormati dan auntie Meyra yang begitu tulus menjaga Nata, Max tak ingin dekat sepupunya tersebut—anggap orang itu teman dekat seperti Ara, Eli dan Eve. Jawabannya tidak.
Maklum, anak satu-satunya. Kakaknya Demian yang selalu disusahin tinggal keluar negeri. So, gak bisa manja-manja dengan sang kakak. Sejak kecil Nata dan sang kakak Demian dipisah, tak dibiarkan dekat terlalu lama.
Usia yang terpaut jauh melancarkan niat tersebut. Demian berhati-hati dalam ambil tindakan terhadap keduanya, mengingat keduanya bukan saudara kandung.
Max sudah berjanji jaga Nata. Ia tahu fakta Demian bukan kakak kandung sang adik sepupu.
Nata pun tahu, ia dan Demian bukan saudara kandung. Bukannya menghindar, yang ada Nata semakin gencar goda sang kakak yang umurnya sangat jauh tersebut. Jail memang tuh orang.
Bersikap centil masih belum terlihat. Nata hampir tak punya kesempatan berlaku genit. Ia terus dalam pengawasan. Habis, Davidson pun terus menghindar kalau Nata mulai bertingah genit.
Untuk menghindari berita buruk, Mr Davidson tinggalkan Demian ke luar negeri. Memberikan Demian kekuasaan sendiri, leluasa bentuk label miliknya.
Bebas menjalani hidup sesuka hatinya, asal tak buat buruk nama keluarga Davidson.
Sejauh itu Demian tak bersikap macam-macam. Orangnya penurut. Hanya satu hal yang tak mau Demian turuti, yaitu disuruh menikah. Demian terang-terangan bilang menyukai Nata, akan ia buktikan ketulusan cintanya. Berjuang mendapatkan izin Mr Davidson dan momnya, Meyra.
Sudah Damian pikirkan cara pas serta langkah yang ingin ia ambil. Bentuk label sendiri merupakan salah satu jalan menuju niatnya tersebut.
"Bagaimana kabar kak Demian?" tanya Max.
Ia suka Demian. Orang yang lebih pas ia panggil paman itu dengan senang hati Max panggil kakak.
Umur mereka terpaut sekitar kurang lebih 15 tahun.
Nata mengangguk antusias. Keren lho dapat pertanyaan begitu. Momen manis yang jarang mereka lalui berlalu-lalang kuasai otak Natalie.
"Baik, aku dan Kakak sudah berpacaran."
Lah!?
Max sah-sah hanya bertanya soal kabar. Mulut usil Nata malah bilang hal tak pantas. Seolah bangga hubungannya di ketahui orang luar. Berita buruk!
"Jaga mulut kamu Nat."
Tatapan laser Max tertuju langsung untuk sepupunya tersebut. Tuh mulut kok gak bisa dikontrol!?
Nata bukan anak kecil yang harus dinasehati lagi.
Sebal. Kalau bisa, ingin Max cabik tuh mulut. Biar gak bisa ngomong sekalian.
"Kenapa sih, memangnya hubungan kami haram, tabu?" cibir Nata sampai mulutnya maju beberapa centi. Sial, tuh ekspresi sangat tidak diharapkan. Max kesal berkali-kali lipat.
Bisa ringan tangan nih akhirnya.
"Nanti kita bicara. Oke."
"Tentu, aku ingin lihat banyak orang disini, pasti seru."
Pendidikan SMA Nata ia habiskan di luar negeri. Hanya doang SMA sih yang di situ, kalau yang lain tidak.
Alasan Nata pindah bukan sebab gak cocok. Nata nyaman di sekolah barunya. Sebab ingin memisahkan ia dan Demian, Nata dipindahkan ke Indonesia. Sistem berpikir kuno sekali.
Dengan kekuasaan Demian, masih mudah kok ia ingin bertemu Nata. Kesibukan sih yang buat orang itu sulit bergerak.
Kesibukan yang mencekik.
Ara perhatian Max. Kayaknya tuh orang ada banyak 'misi.' Setahu Ara, Nata satu-satunya anak perempuan. Pasti banyak dimanjakan.
Ara juga tahu fakta keluarga Nata. Ia harusnya anak tunggal. Ara pun juga pernah kok bertemu kakak Demian.
Rein ajarkan Ara panggil kakak bukan paman. Padahal waktu kecil dulu pakai panggilan paman terus. Eli pun sama.
Wajah Max yang biasa ceria berubah serius. Tak jarang sih Max bersikap serius. Orang itu bersikap pas sesuai keadaan.
Fleksibel tergantung wadah yang tampung dirinya.
"Ar, ada kak Regas tuh," celutuk Eve.
Sontak Ara lihat ke segala arah, mencari keberadaan sang kakak.
"Mana?"
Hah?
Sejak kapan kak Regasnya pulang?
Tubuh Eli tegang. Terakhir pertemuan ia dan Regas berakhir tak baik. Regas paksa Eli full naked depan orang itu. Memperlakukan Eli bak perempuan murahan.
Eli telan ludah sulit. Sejauh itu, Eli bersyukur Regas masih belum jebol hal berharga yang 'harusnya' ia jaga baik-baik. Tapi dengan begitu mudah Eli berikan hal tersebut ke Regas.
Regas bersikap random, Eli takut orang itu punya rencana yang lebih menakutkan terhadapnya.
Berusahalah terlihat tenang, Eli kuatkan tekad untuk tak pegang lengan Ara. Kalau takut kebiasaan Eli pegang lengan sang adik. Tak salah ucapan Ara bilang ingin melindungi Eli.
Eli punya kemampuan beladiri, sejauh itu sikap Eli tidak terlalu buruk. Ia bukan kerbau yang dicolok hidungnya agar ikut kemanapun tuannya pergi.
Seburuk apapun Eli, ia dan ambisinya, Eli pun ingin hidup bahagia versi ia sendiri. Tak sulit dapatkan hal tersebut.
Sret.
Baru pertama datang tangan Eli sudah di pegang.
Bagaimana tidak takut?
Regas agresif.
*****