"Em."
Max bergantian lihat ketiga sahabatnya. Cantik. Kalau ia disuruh milih, Max jamin gak bisa pilih mana yang paling cantik baginya.
"Em… kalian cantik. Tetap bersamaku nanti. Penampilan kalian menggoda iman."
Eli mengangguk antusias. Tuh kan apa yang ia bilang. Penampilan mereka terlalu sexy, selain itu pasti seluruh perhatian tertuju pada mereka. Bukannya apa-apa, Ara, Eli dan Eve jarang berpenampilan bold. Ke sekolah hanya pakai liptin dan bedak tipis.
Tiba-tiba Eli ngerasa gugup bertemu Azka. Akhir-akhir ini anak auntie Reni itu sering kedapatan memperhatikan dirinya. Bahkan Ara pun pernah lihat Azka lakukan hal tersebut.
Eli tatap bingung Ara yang pegang kuat tangannya. Kenapa, ada yang salah?
Ara berjanji pada dirinya sendiri. Walau ia seorang yang berkedudukan sebagai adik, ia akan melindungi kakaknya. Selagi bisa, Ara dengan senang hati melindungi sang kakak.
"Aku akan melindungi Kakak."
Dengar ucapan Ara, Eli terkekeh pelan. Ia pun mendekat ke sang adik. "Dimana-mana, kakak yang melindungi adiknya," bisik Eli.
"Aku gak mau terjadi ketimpangan sosial antara kita."
"Gak timpang kok," sergah Ara. Ia tidak setuju dengan ucapan Eli.
"Mom bilang, uncle Radit dan Dad hubungannya kurang baik. Sebelum Mom bilang begitu aku pun memang kurang suka ke auntie Reni. Ternyata Mom pun berpikir sama sepertiku."
"Oh ya, katanya nanti ada murid baru pindahan sekolah lain," ujar Eli mengalihkan cari tema pembicaraan lain. Sembari pergi menuju mobil mereka.
"Em." Ara mengangguk. "Anaknya auntie Meyra dan uncle Davidson. Sepupu Max."
Mata Eli berbinar. Ia belum tahu sepupu Max perempuan atau laki-laki. Menghilangkan rasa penasarannya, Eli putuskan bertanya langsung ke Maxime. Biar plong.
Mereka sedang berada di perjalanan menuju mobil. Yang bawa mobilnya nanti belum tahu siapa. Mereka sudah di semester dua sekolah SMA. Ara sudah punya surat izin mengemudi sementara. Sejenis surat perjanjian menjelang ia mendapatkan surat izin mengemudi.
"Max, sepupumu laki-laki atau perempuan?"
Max mendengus malas. Dengar pertanyaan soal sepupu mengingatkan Max ke adik sepupunya tersebut.
"Perempuan."
"Wah." Mata Eli berbinar bak anak kecil dapat ice cream dan cokelat. Bahagia banget.
Max berhenti tiba-tiba. Eli yang sibuk terpesona padahal belum lihat sepupu Max tak sengaja tabrak punggung Max. Langsung ditarik Ara deh.
Wajah Max mendadak serius.
"Ku sarankan kalian hati-hati dengannya. Dia licik. Sejak kecil pun selalu ingin menang sendiri."
Mata Max menerawang. Ingat masa-masa ia bersama adik sepupu perempuan yang super menyebalkannya tersebut. Sedikit-sedikit nangis kalau permintaannya tak terkabul. Gak bisa di ajak keja sama. Dinasehati nyolot terus, pokoknya gak mau ngalah. Max tidak suka sifat Natalie.
Eve mengangguk paham.
"Siapa nih yang nyetir?"
"Biar aku aja."
"Cie yang sudah dapat KTP dan SIM sementara," seloroh Max menggoda Ara. Sampai-sampai tuh tangan iseng colek dagu sang sahabat.
Terkadang, interaksi mereka yang kelewat intens buat orang-orang berpikir kalau Max playboy. Punya banyak pacar. Tiga orang di dekatnya itu pacarnya Max.
Sejahtera sekali hidup Max. Sudahlah tampan, ramah, kaya, baik, suka menabung, ditambah punya tiga pacar sekaligus. Hanya Ara satu-satunya orang yang tidak terlalu Max sentuh bagian tubuhnya.
Setiap ingin lakukan itu, seperti ada penghalang besar berupa tembok tak terlihat. Max pun bingung. Sejak kapan tembok penghalang itu muncul?
Max terus bertanya-tanya mengenai hal itu.
"Baru pertama kalinya Ar kamu bawa mobil ada penumpangnya. Yakin bisa?" Terdengar nada ragu dari cara berucap Eli.
Entahlah, bukan tak percaya terhadap kemampuan Ara, yang setiap kali berbuat selalu perfect. Hanya kurang setuju. Masih sayang nyawa lho. Beda situasinya saat jadi kelinci percobaan Ara berprofesi jadi MUA.
Kepercayaan Eli terhadap Ara yang digaungkan maha megah, ia kesampingkan kalau menyangkut nyawa.
"Trust me. Tenang aja."
"Aku percaya kamu kok." Eve senyum. Tak sedikitpun ia berpikir macam-macam kalau Ara yang menyetir mobil. Kesempatan itu justru ia pakai untuk duduk berdekatan dengan Max.
Lagipula, Max habis minum beer. Sepuluh kali lebih baik Ara yang menyetir. Ada dan tidaknya penumpang tidak terlalu berpengaruh. Mumpung tempat promnight tidak jauh.
Perdebatan itu tak berlangsung lama. Promnight sudah menunggu.
***
Bugh.
Ara kurang memperhatikan jalan hingga menabrak seseorang. Bukan hal yang asing lagi sih. Setiap kali jalan, hampir selalu Ara nabrak sesuatu. Kalau gak tiang, bunga atau gak pohon. Kebiasaan. Saat orang lain bicara dengannya, Ara fokus memperhatikan orang tersebut, makanya gak terlihat benda-benda yang ia tabrak.
Hoky gak jauh-jauh dari Ara, buktinya walau sering nabrak, Ara gak pernah yang namanya nabrak mobil dan motor. Kalau nabrak beneran, auto pindah alam.
"Max, ini teman-teman kamu?"
Ah, benar yang Max bilang. Pada pertemuan pertama pun Ara langsung bisa rasakan aura negatif yang buat seseorang kesal. Terpancar jelas dari sepupu Max. Tahu orang itu sepupu Max sebab punya garis wajah yang mirip.
Cara memanggil pun gak ada kesan sopan-sopan sama sekali.
Nada bicara Max serius.
"Nata, yang sopan dong."
"Maksudmu aku harus menyapa dulu?"
Oh god. Ara kesal, emosi di ubun-ubun.
*****
Ara kenal ke auntie Meyra. Walau gak sering lihat sih. Pasangan itu, uncle Davidson terpaut usia jauh diatas sang istri. Dulunya uncle Davidson pernah suka ke mom Ara. Ara tahu kok.
Gak nyangka anaknya bakal model menyebalkan begitu, padahal menurut kisah Rein, uncle Davidson sangat baik. Seorang penguasaha kaya dan bijak.
Sifat buruk Nata pasti turunan dari momnya.
Ara juga tahu auntie Meyra sebelas dua belas sifatnya kayak auntie Reni. Mereka kan satu circle.
Ara bersyukur anak auntie Reni yang merupakan sepupu cukup jauhnya itu bukan perempuan. Kalau perempuan mah, aduh, pusing kepala.
Terlebih kalau lebih banyak ambil sifat ibunya. Persis model Nata sekarang.
"Kenalin, aku Rara Raras Danjaya."
Uluran tangan Ara disambut baik Nata. Ara sempat speecheless. Ia pikir dengan sikap buruk Nata, ia tak akan dapat respon positif.
Tahu-tahu baik toh.
"Natalie Davidson." Senyum ramah pun terlihat. Otak Ara berproses, mungkinkah Nata orang berkepribadian 4 D?
Sikapya cepat sekali berubah.
Kemudian atensi Nata beralih ke Eve dan Eli.
Mata hitam pekat itu berbiar seperti anak kecil. Kalau gak nyebelin, Ara gemas lihat tingkah Natalie.
"So beautiful. Cantik, siapa nama kalian?"
Tangan Nata terulur. Max bereaksi julid. Max yakin teman-temanya lagi tahan diri biar gak menghujat. Atau, lebih banyak bingung ketimbang ingin menghujat. Sikap Nata aneh. Memang begitu sih orangnya.
Sikap cepat berubah-ubah. Max sering merekomendasikan tuh orang kerja jadi aktris, bukan pewaris tunggal Davidson Corp.
Hubungan Max dan Nata kurang akrab. Selain itu, hubungan family mereka pun memang tidak baik.
Eli mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya mempetkenalkan dirinya. Saat sebut marga Sanjaya, Eli tiba-tiba jadi insecure. Kalau Eve, Max, Azka dan orang baru bernama Nata tahu ia bukan anak kandung family Sanjaya, Bagaimanakah cara mereka bersikap pada Eli ke depan?
*****