Chereads / Siap, Komandan! / Chapter 8 - 8. Sudah Punya Calon Istri

Chapter 8 - 8. Sudah Punya Calon Istri

"Gendhis, nyonya."

"Gendhis, mi."

Erlangga dan Gendhis kompak menyahut sehingga membuat semua orang melotot tidak percaya. Tampak raut wajah tidak suka terlihat jelas pada Fifin, perempuan yang akan dijodohkan dengan Erlangga.

"Kalian sudah saling mengenal?" Eko terheran-heran karena selama ini dia tidak pernah melihat anak sulungnya jalan dengan seorang perempuan. Gendhis tidak berani menjawab karena pria paruh baya itu tampak menatap tajam dirinya dan pria menyebalkan ini.

"Hanya bertemu sekali. Sudahlah, pi. Jadi aku pesenin ojek online?" Erlangga mengeluarkan ponselnya untuk membuka aplikasi yang dibutuhkan.

"Tidak, terima kasih. Aku bisa pulang sendiri. Kalau begitu, aku pulang dulu, nyonya. Yang penting amanah dari ibu sudah tersampaikan. Assalammualaikum." Gendhis hendak berbalik keluar namun lagi-lagi Batari menarik lengannya dan menahannya untuk tidak kemana-mana.

"Kamu makan malam dulu sama kami lalu pulang. Tadi aku dengar perut kamu berbunyi minta diisi." Jawab Batari sambil terkekeh. Ucapannya membuat Erlangga menyeringai tipis. Fifin lagi-lagi tidak suka melihat ekspresi Erlangga yang kini tampak aktif tidak seperti saat mereka sedang duduk bersama. "Tidak apa-apa kan nak Fifin? Biar semakin ramai semakin seru." Ujar Batari pada tamu yang diundangnya.

"Oh tentu saja, tante. Ini kan rumah tante jadi terserah tante saja." Jawab Fifin dengan suara gemulainya.

"Oh ini toh perempuan yang membuat Rara tersingkirkan. Pantas saja pria menyebalkan itu tidak pernah menghubungi Rara lagi." Gumam Gendhis dalam hati sambil menatap sinis Erlangga. Pria yang ditatap langsung mengernyitkan alisnya karena tidak tahu menahu apa yang ada dalam pikiran Gendhis.

"Kenapa dia menatapku seperti itu? Dasar perempuan aneh!" Umpatnya dalam hati.

"Ya sudah, ayo kita semua menuju meja makan. Papi juga sudah lapar sekali." Semuanya berjalan dan bangkit beranjak menuju ruangan makan yang letaknya kemungkinan setelah tikungan berikutnya ini. Tapi tidak dengan Gendhis yang kakinya berat untuk melangkah.

"Gendhis, ayo kita makan malam." Batari memanggil Gendhis sekali lagi yang tampak ragu-ragu.

"Kamu bisa jalan sendiri atau mau digendong?" Ucap Erlangga asal.

"Erl!" Kompak Eko dan Batari membentak Erlangga yang ucapannya terdengar tidak mengenakkan. Erlangga berlalu dan meninggalkan Gendhis yang lagi-lagi menyeringai sinis.

"Kalau saja tidak ada orang, sudah aku cekik kamu, dasar pria menyebalkan dan angkuh!" Rutuk Gendhis dalam hati.

Mereka berlima pun duduk mengelilingi meja makan. Batari duduk bersebelahan dengan Gendhis, sementara Erlangga duduk bersebelahan dengan Fifin. Fifin dan Gendhis duduk saling berhadapan namun penampilan keduanya sungguh jauh berbeda. Fifin masih lengkap dengan riasan di wajahnya dengan pakaiannya yang anggun dan aksesoris yang menambah kecantikannya menguar berkali-kali lipat. Tapi tidak dengan Gendhis yang hanya mengenakan kemeja dan celana panjang bahan. Sebelum makan tadi dia menggulung rambutnya keatas seperti stupa candi Borobudur. Leher jenjangnya yang putih tampak terlihat jelas dan itu membuat Erlangga langsung terpesona dibuatnya.

Penampilannya yang sederhana mampu menghipnotisnya untuk menatap Gendhis lebih lama terus dan terus. Batari yang melihat anaknya menatap perempuan muda yang duduk disebelahnya itu, langsung menyenggol kaki suaminya dan memberi gerakan isyarat dengan matanya. Eko yang semula tidak menyadari hal ini, langsung bengong melihat betapa anak sulungnya ini tidak berkedip sama sekali. Untung, yang ditatap sedang asyik makan jadi tidak memperhatikan.

"Ehem, jadi nak fifin ini kerja dimana?" Batari mencoba mencairkan suasana yang sempat dingin.

"Saya masih magang di rumah sakit, tante. Untuk mengambil title dokter saya." Jawab Fifin dengan suara lembut dan penuh percaya diri.

"Wah, calon bu dokter. Hebat yaa. Biasanya memang kalau tentara dan dokter itu saling berjodoh." Jawab Eko dengan suara tegas. Erlangga mengernyit tidak suka dengan kalimat yang diucapkan papinya. Tapi tidak dengan Fifin yang terlihat senang sekali seolah sudah mengantongi ijin dari calon ayah mertuanya.

"Ah terima kasih, om. Tapi, itu kembali lagi ke mas Erl apakah mas Erl sudi mengenal saya yang hanya seorang calon dokter atau sudah punya pilihan hati lainnya." Jawab Fifin malu-malu.

Gendhis yang mendengarkan semua percakapan ini hanya bisa diam mendengarkan, tidak mengucapkan sepatah katapun.

"Maaf, aku sudah punya calon istri." Jawab Erlangga tiba-tiba.

"APA? Siapa dan dimana orangnya? Kenapa kamu tidak mengenalkan kepada kami?" Batari panik mendengar jawaban enteng sang anak. Fifin pun melongo tidak percaya dengan yang didengarnya.

"Dia adalah … perempuan yang duduk disebelah mami."

"Uhuk uhuk uhuk," Tiba-tiba tempe yang baru saja ditelan Gendhis seolah menjadi sangat sesak dan membuatnya ingin mati karena tidak bisa bernapas.

"Kamu kenapa? Ayo diminum dulu." Batari yang kaget langsung mengambilkan air putih dan memberikannya pada Gendhis.

"Kamu jangan mengada-ngada! Kita hanya bertemu sekali dan itu juga karena pertemuan yang diatur temanku itu." Jawab Gendhis spontan setelah berhasil mengontrol napasnya kembali.

"Pertemuan apa?" Batari semakin tidak mengerti apa yang dimaksud keduanya.

"Kami pernah bertemu sekali dan aku langsung merasa cocok dengan kamu. Kesan pertama kamu itu sangat kuat melekat dan aku teringat-ingat terus sampai sekarang." Jawab Erlangga lagi dengan senyum penuh misteri.

"Huh, aku malas berdebat. Tuan nyonya, terima kasih atas jamuannya. Hari sudah malam dan saya harus segera pulang. Dan, untuk sekali lagi saya tegaskan, diantara kami tidak ada hubungan apapun. Aku dan dia hanya …"

"Pernah tidur bersama sekali. Kamu lupa?" Ucap Erlangga dengan seringai jahilnya.

"APA? Kalian pernah tidur bersama?" Batari dan Eko bertanya dengan suara lantang.

Seolah dunia mau runtuh, Gendhis bingung harus berkata apa. Yang bisa dia lakukan hanya menghela napas dan memejamkan mata untuk mengumpulkan keberanian.

"Tidak, itu semua tidak benar. Mana mungkin aku tidur bersama dengan pria yang bukan suamiku." Jawab Gendhis dengan suara lemah.

"Kamu sudah menikah?" Tanya Batari lagi.

"Belum, aku masih belum ingin menikah. Nyonya, saya harus pergi dari sini. Lelucon kamu sama sekali tidak lucu." Gendhis berkata pada Erlangga yang diam dengan sorot mata tajam seolah ingin menghunus.

"Aku juga sudah kenyang. Karena aku sedang santai, aku antarkan kamu pulang." Jawab Erlangga sambil berdiri.

"Aku tidak mau!" Gendhis membungkukkan tubuhnya memberi hormat dan perempuan itu bergegas berlari meninggalkan rumah untuk segera mengejar angkutan umum yang mudah-mudahan masih lewat.

Namun malang, kaki dan tangan Erlangga yang lebih panjang dan kuat berhasil menggapai tangan Gendhis dan membuatnya masuk kedalam mobil jeep yang dimilikinya.

"LEPASKAN AKU! APA YANG KAMU LAKUKAN?"

"Diamlah dan Kerjasama denganku." Bisik Erlangga di telinga kiri Gendhis.

"Apa maksud kamu?"

"Masuklah, nanti aku jelaskan didalam." Gendhis pun terpaksa ikut dan masuk kedalam mobil. Kepergian mereka berdua mendapat tatapan penuh tanda tanya dari Batari, Eko, dan juga Fifin.