"Diamlah dan Kerjasama denganku." Bisik Erlangga di telinga kiri Gendhis.
"Apa maksud kamu?"
"Masuklah, nanti aku jelaskan didalam." Gendhis pun terpaksa ikut dan masuk kedalam mobil. Kepergian mereka berdua mendapat tatapan penuh tanda tanya dari Batari, Eko, dan juga Fifin.
Mobil Jeep itu pun melaju meninggalkan rumah orangtua Erlangga dengan membelah gelapnya malam di area komplek perumahan cukup mewah tersebut.
"Huh, akhirnya …"
"Akhirnya apa? Jelaskan padaku!" Gendhis tidak terima dirinya dipaksa masuk kedalam mobil tanpa diberi penjelasan apapun.
"Maaf, aku terpaksa menyeretmu dalam masalah ini. Aku sudah bosan selalu diatur kencan oleh mamiku." Jawab Erl sambil terus menyetir. "Oya, rumah kamu dimana? Aku antarkan sampai rumah." Jawabnya lagi.
"Tidak terima kasih, aku bisa pulang sendiri. Turunkan aku di halte saja," Gendhis meluruskan duduknya dan menatap jalanan di sebelah kirinya dari balik kaca jendela.
"Aku sudah menyusahkanmu jadi aku ingin menebusnya dengan mengantarkan kamu pulang." Ujar Erl.
"Menebus? Bagaimana kalau kamu memperbaiki ucapanmu yang tidak jelas tadi ke orangtuamu? Aku ini belum pernah pacaran dan aku tidak punya pacar, jadi mana mungkin aku tidur dengan orang lain." Ucap Gendhis sengit membela dirinya.
"Kamu sedang promosi ke aku kalau kamu itu masih perawan?" Erlangga menatap Gendhis sekilas dengan pandangan herannya.
"HAIIII! Aaaargggh, berhenti di depan! Aku mau naik angkot saja. Cepat, berhenti!" Hilang sudah kesabaran perempuan yang terbiasa tenang dan tidak mengeluarkan emosi itu. Kini seolah untuk pertama kalinya dia berteriak dan kesal luar biasa.
"Sudah jam 10 malam. Kendaraan umum pun sudah tidak ada yang lewat lagi. Aku antarkan pulang saja. Kamu jangan menolak lagi. Dari tadi menolak terus kalau tidak dipaksa." Erl mengatakan yang ingin dikatakan sejak tadi.
"Aku bisa pulang sendiri. Aku terbiasa pulang tengah malam, tidak seperti kamu yang mungkin tiap hari antar jemput pakai sopir. Cih!"
"What? Aku pakai sopir setiap hari? Aku bisa saja naik angkot. Hanya saja mobilitasku lebih cepat terselesaikan kalau bawa kendaraan sendiri. Daaan, aku tidak setiap hari pakai sopir karena aku juga bisa menyetir sendiri." Elak Erl.
"Oya. Ahh, aku baru ingat. Rara, temanku, dia bingung kenapa kamu mulai susah dihubungi. Ternyata, karena ada perempuan lain ya. Siapa namanya? Fifin? Pantas saja temanku kalah bersaing karena lawannya seorang calon dokter. Hmm, akan aku bilang padanya besok untuk berhenti berharap pada tentara yang biasanya memang mengincar pasangan yang sudah mapan karirnya." Gendhis menyeringai sinis dengan ocehannya yang membuat Erl kadang terbelalak kadang menghela napas.
"Aku sudah bilang padanya untuk tidak bertemu lagi. Bukan karena aku sudah bertemu perempuan lain. Tapi, karena aku memang sedang sibuk di kantor."
"Tapi, sesibuknya kamu masih sempat bertemu dengan perempuan lain."
"Itu karena mommyku yang memaksa."
Gendhis menyeringai lagi namun kali ini dia enggan untuk menjawab. Sejujurnya, matanya sudah lelah menahan kantuk sejak tadi, ditambah lagi perutnya yang kenyang semakin membuat kedua kelopak matanya berat untuk dibuka. Suhu mobil yang dingin, aroma kopi pewangi mobil yang menenangkan, tidak sanggup lagi baginya untuk menahan kantuk lebih lama. Akhirnya, perempuan yang terkenal galak pada semua pria itu pun tertidur pulas dengan kepalanya bersandar ke kaca jendela sebelah kiri.
Erlangga yang tidak mendengar suara ocehan perempuan disebelahnya, tertegun ketika melihat ternyata penumpang disebelahnya justru tertidur pulas. Pria itu pun meminggirkan mobilnya di tepi jalan dan berhenti sejenak.
"Mom, berikan aku alamat ibu penjahit itu."
"Kamu dimana? Main pergi begitu saja. Mami tadi tidak enak sama Fifin." Suara maminya terdengar cukup kencang sehingga membuat Erlangga menjauhkan posisi ponsel dari telinganya.
"Sudahlah mom, berikan saja aku alamatnya. Kirim lewat chat saja ya. Aku tunggu sekarang." Erl pun mematikan ponselnya dan menunggu beberapa saat sambil menatap perempuan yang masih tertidur pulas. Wajahnya perpaduan cantik dan ayu. Meskipun tersembunyi dari raut wajahnya yang galak namun itu semua tidak bisa menyembunyikan kecantikan alami yang dimiliki perempuan ini.
Pesan dari maminya pun datang dan alamat yang diminta tertulis dengan jelas, lengkap dengan patokannya. Erl kembali melanjutkan perjalanan menuju alamat yang tertera dilayar ponselnya. Karena pria itu terbiasa menemukan alamat dengan lebih cepat maka alamat Gendhis pun tidak susah untuk dicari. Setelah setengah jam, mobilnya pun tiba di depan sebuah pagar yang terbuat dari besi yang tingginya hanya setinggi dadanya. Pria itu menekan bel yang terdapat di pintu pagar rumah tersebut. Jalanan didalam gang sangat sunyi dan gelap. Tidak ada lampu jalanan, pencahayaan hanya berasal dari lampu teras di setiap rumah. Erl membayangkan perempuan galak ini pulang setiap malam dengan kondisi jalanan seperti ini, pastilah rawan bahaya dan kejahatan.
"Maaf, anda siapa ya?" Dewi, ibu dari Gendhis keluar muncul menemui Erl yang masih berdiri di luar pagar.
"Bu Dewi? Perkenalkan, saya Erlangga, anak dari bu Batari yang ibu jahitkan pakaiannya." Erl mengulurkan tangannya dengan santun dan mengecup punggung tangan Dewi yang terheran di malam hari ini ada seorang anak muda yang datang dengan mobil Jeep terparkir di depan pagarnya. Lebih heran lagi ketika mendengar nama Batari, salah satu pelanggan jahitannya yang pakaiannya dia titipkan pada Gendhis untuk diantarkan.
"Oh, pakaiannya sudah saya titipkan ke anak perempuan saya, Gendhis. Apa … dia belum sampai rumah ibunya mas ya?"
"Sudah kok bu, Gendhis sudah mengantarkannya langsung ke mami saya. Saat ini saya yang ingin mengantarkan pulang Gendhis." Jawab Erl dengan tersenyum ramah.
"Mengantarkan pulang Gendhis? Dimana dia sekarang?" Dewi tidak melihat sosok anaknya di dekat anak muda dihadapannya.
"Ibu …" Dan, itulah dia perempuan yang tertidur pulas kini baru keluar dari mobil yang ditumpanginya. "Maaf, aku ketiduran. Dan, terima kasih sudah mengantarkan aku pulang, walau tidak perlu sebenarnya." Jawab Gendhis dengan wajah datar tanpa ekspresi, namun cenderung judes. Erl berusaha untuk tetap tersenyum walau pria itu gemas sekali ingin mencubit kedua pipi perempuan itu yang kalau sedang marah, justru tampak lebih imut.
"Kamu kok bisa naik mobil nak … siapa namanya?"
"Erlangga, bu."
"Ya, nak Erlangga."
"Dia memaksa untuk mengantarkan aku. Akunya ketiduran jadi tahu-tahu sudah sampai disini." Jawab Gendhis sambil menahan bibirnya yang ingin menguap.
"Kalau begitu, aku pamit undur diri. Assalammualaikum," Erl yang tahu diri pun segera berpamitan ingin pulang.
"Terima kasih ya nak Erl sudah mengantarkan anak ibu pulang." Jawab Dewi dengan kalimat yang sangat tersusun penuh sopan santun.
"Sama-sama, bu." Erl masuk kedalam mobil namun menunggu ibu dan anak itu menutup pagar lalu masuk kedalam rumahnya.
Senyum lega tampak terpancar dari bibir Erlangga karena dia berhasil mengetahui rumah dari perempuan yang mulai hari ini ditetapkan akan menjadi target calon istri baginya.