"Makan sajalah kamu. Tidak usah mikirin perempuan. Aku tinggal dulu ya."
"Okay, bang. Terima kasih bang." Kali ini suara dua orang yang menyahut ucapan Erlangga.
Fifin memukul setir kemudi ketika sudah duduk di dalam mobilnya.
"Kenapa susah sekali mendekati lelaki itu? Kalau bukan karena taruhan dengan teman-temanku, aku juga malas mengejar dia. Memangnya hanya dia lelaki yang bisa aku dapatkan? Cih! Jual mahal sekali." Fifin menghidupkan mesin dan melajukan mobilnya menuju sebuah tempat dimana beberapa temannya berkumpul untuk sekedar makan siang bersama.
"Fin, disini!" Sebuah tangan menggapai memanggil perempuan yang sudah sampai di sebuah kafe dengan tema artistic itu.
"Hai," Fifin pun menghampiri tiga temannya yang sudah sampai lebih dulu di lokasi.
"Darimana kamu?" Tanya salah seorang temannya.
"Ke kantor pacarnya, yang tentara itu loh. Hahaha." Salah satu teman lainnya menimpali.
"Oh, jadi kamu sudah sah pacarana dengan tentara?" Tanya teman yang pertama tadi.
"Belum! Sudah ah, malas aku bahasnya. Dia seperti lelaki gay saja." Jawab Fifin dengan wajah kusut.
"Gay? Masa gay jadi tentara? Ih kamu ngaco!" Jawab teman lainnya.
"Huhhh, masa aku ke kantornya bawa makan siang langsung ditolak mentah-mentah? Alasanya sudah kenyang makan. Minimal temani aku makan kek, walau dia sudah makan. Tidak ada basa-basinya sama sekali!" Masih dengan wajah sungutnya, Fifin masih kesal bila mengingat ucapan Erl yang langsung menolak dan mengusirnya secara halus.
"Huuuu, primadona kita ditolak. Hehehe." Jawab ketiga temannya bergantian.
"Ah kalian ini bukannya menghibur aku, malah mentertawakan aku. Aku masih kesal. Kalau bukan karena taruhan kita, aku juga malas mendekati dia. Andaikan lelaki yang aku incar belum menikah, aku pasti akan memilih dia, dibandingkan si Erl culun itu." Jawab Fifin dengan wajah penuh kekesalan.
"Culun? Aku lihat di fotonya tampan sekali, sayang. Mirip dengan actor Korea siapa itu, Rat?"
"Yang mana?"
"Yang main drama perang itu loh."
"Ih banyak kali drama Korea yang tema perang."
"Song … Song siapa gitu? Aku bukan penggemar drama Korea jadi aku tak hapal nama-nama mereka."
"Song Joong Ki?"
"Nah iya betul, ih dia cakep begitu kamu bilang culun. Memangnya lelaki yang kamu taksir itu yang mana, Fin?" Tanya salah seorang temannya yang lain.
"Dia owner klab malam yang pernah kita datangi itu. Yang tinggi, rahangnya ditumbuhi bulu-bulu halus, tatapan matanya tajam sekali. Aku suka tipe lelaki seperti itu. Mendominasi, tampan, dan sepertinya badboy. Hahaha," Fifin mulai bisa tertawa lepas dan itu tentu saja membuat teman-temannya cukup lega daripada harus melihat wajah Fifin sang pemimpin di genk mereka yang sedang dalam emosi tidak stabil.
"Wah iya tuh, sayangnya kita tidak bisa kesana lagi. Susah cari jadwalnya kalau lagi magang begini." Jawab teman lainnya.
"By the way, kalian sudah pesan makanan kan? Aku lapar nih belum makan siang." Ujar Fifin sambil mengerutkan bibirnya.
"Sudah, sebentar lagi datang kok." Jawab teman lainnya.
-----
"Maksud kamu apa dengan menyebarkan foto ini?" Gendhis menarik tangan Wahyu untuk berbicara dua mata di Lorong tangga darurat.
"Huhl, kamu sudah lihat ternyata." Jawab Wahyu dengan santainya.
"Dengar ya, selama ini aku menganggap kamu teman sama seperti yang lainnya. Jangan sampai anggapanku berubah ke kamu." Gendhis jijik sekali melihat respond Wahyu yang menggampangkan dan meremehkan kejadian yang akan menghancurkan hidupnya ini.
"Gendhis, katakan apa kurangnya diriku? Aku ini tampan, kaya, dan status sosialku juga sangat terkenal. Aku bekerja hanya untuk formalitas saja. Banyak perempuan yang ingin menjadi pacarku. Cuma kamu yang selalu melewatkan kesempatan ini." Ujar Wahyu dengan penuh percaya diri.
"Hah? Apa? Hahahaha. Terus kalau aku tidak mau, kenapa? Kamu juga bukan lelaki tipe idealku. Pokoknya, sekali lagi kamu berbuat aneh-aneh seperti ini. Aku akan membuatmu menyesal karena telah menggangguku." Gendhis membalikkan tubuhnya hendak pergi namun tiba-tiba lengannya ditarik paksa Wahyu dan tubuhnya di tempelkan ke dinding.
"Kamu jadi perempuan jangan munafik! Aku tahu kamu sebenarnya suka padaku tapi kamu jual mahal kan? Kamu ingin aku yang mengejar-ngejar kamu. Aku tahu itu dari tatapan mata kamu. Huh!" Hampir saja wajah mereka bertemu kalau saja Gendhis tidak mendorong dada pria kurang ajar itu menjauh.
"Suka padamu? Mengejar-ngejar kamu? Kamu benar sekali. Aku sangat suka … menghajar kamu!"
BUGGG!
Tendangan lutut kanan diberikan Gendhis ke perut pria yang tanpa persiapan sama sekali itu. Tidak hanya perut, tapi wajah Wahyu pun diadukan ke lututnya sehingga hidung pria angkuh itu mengucurkan darah segar dari hidungnya. Tubuh Wahyu dihempaskan ke belakang dengan mudahnya dalam sekali dorongan.
"Simpan saja kesombongan kamu itu untuk perempuan lain. Karena itu tidak akan berhasil padaku. Cih!" Gendhis menginjak telapak tangan Wahyu sambil melewati lelaki yang terkapar itu sendirian di Lorong tangga darurat tersebut. Wahyu memekik kesakitan yang bertambah-tambah.
Selama jam kerja sampai selesai, tampak Wahyu memendam kekesalan yang teramat dalam pada perempuan yang sudah dua kali mempermalukan dirinya itu. Niat jahat pun mulai muncul di pikirannya. Wahyu akan membuat Gendhis kehilangan kehormatannya dan menanggung malu seumur hidupnya.
Jalanan kota Jakarta di sore hari kembali dipadati oleh karyawan yang akan pulang kerumah mereka masing-masing. Namun, tidak dengan Gendhis yang hari ini harus menyelesaikan tugas-tugasnya hari ini juga. Akibat insidennya dengan Wahyu tadi siang, perempuan itu tidak bisa berkonsentrasi sampai sore.
Tepat pukul 7 malam, akhirnya Gendhis menuntaskan pekerjaannya. Masih ada satu orang temannya lagi yang bekerja.
"Aku duluan ya," Ujar Gendhis.
"Iya, hati-hati." Mereka pun berpisah sementara untuk bertemu lagi esok hari. Bukan, tiga hari lagi. Karena hari ini adalah hari Jumat yang berarti penghujung weekend untuk semua karyawan.
Suasana di lantai ini sepi sunyi senyap. Karena weekend jadi semua orang bergegas pulang tepat waktu. Gendhis berdiri didepan pintu lift menunggu benda berbentuk persegi panjang itu terbuka dan memuat dirinya.
TING!
Gendhis langsung menekan tombol angka satu. Tidak butuh waktu lama, perempuan pemberani itupun keluar dari pintu lift dan berjumpa dengan salah seorang satpam yang masih bertugas.
"Masih ada orang di kantornya, mba?" Tanya si bapak penjaga keamanan.
"Masih ada teman saya satu lagi, pak." Jawab Gendhis.
"Baiklah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya, mba."
"Iya pak, terima kasih."
Masih ada beberapa mobil yang hilir mudik di depan lobi mengambil penumpang para pekerja gedung perkantoran ini. Tepat di hadapan Gendhis tiba-tiba berhenti mobil jeep yang dia langsung menduga siapa pemiliknya.
"Masuklah," Benar saja, dialah pria menyebalkan itu.
"Darimana dia tahu aku kerja disini? Dan bagaimana bisa pas waktunya begini?" Gumam Gendhis dalam hati.