"Dia ada di luar. Dari tadi mami lihat dia menangis terus." Jawab Batari dengan senyum ramahnya namun sedikit pilu.
"Mam, bisa tolong panggil dia untuk menemuiku sekarang?" Pinta Erlangga dengan suara lemah. Batari mengangguk lembut dan beranjak pergi untuk memanggil perempuan yang firasatnya mengatakan kalau anak sulungnya yang dingin dan keras kepala ini sudah menaruh hati pada anak penjahit langganannya.
Suasana berubah mendadak sunyi. Baik Gendhis maupun Elrangga saling diam tidak berkata apapun.
"Kamu … apa kamu sangat kesakitan?" Gendhis akhirnya memberanikan diri untuk bicara. Sekujur tubuh Elrangga dibalut perban putih yang menampakkan warna merah entah itu darahnya atau obat yang sedang digunakan. Leher pria itu menggunakan penyangga dan kedua tangan juga kakinya dipasang gips.
"Menurut kamu sendiri bagaimana?" Tanya Erl balik. Sesungguhnya Erl sangat bersyukur bisa lepas dari maut namun peristiwa kecelakaan yang menimpa dirinya tadi pagi itu tidak seberapa dibandingkan musibah yang pernah dialaminya saat memimpin pasukan layarnya saat menghadapi musuh di tengah laut.
"Hmm, terima kasih karena kamu sudah menghadang mobil itu agar tidak menabrak aku. Mungkin kalau tidak ada kamu, aku pasti akan …"
"Itu pasti! Kamu pasti akan mengalami luka parah dan pasti kamu yang sedang terbaring disini, bukan aku. Hehe," Jawab Erl dengan sisa tenaga yang dia miliki.
Gendhis mengerutkan keningnya.
"Aku becanda. Kamu ini perempuan yang sangat seriusan." Jawab Erl dengan senyum terpaksa.
"Cih! Walau keadaan kamu seperti ini, kamu masih bisa becanda." Gendhis mengerutkan bibirnya kesal.
Suasana kembali hening. Masing-masing bingung untuk menyusun kata yang harus diucapkan.
"Aku …"
"Aku …"
"Eh kamu dulu, kamu mau apa?" Gendhis dan Erlangga kompak mengucapkan satu kata yang sama. Namun, akhirnya Gendhis yang mengalah.
"Kemarilah, kenapa kamu berdiri jauh sekali. Aku tidak bisa melihat wajahmu." Posisi Erlangga yang terbaring kaku tidak bisa memalingkan wajahnya ke kanan maupun ke kiri, membuatnya kesulitan untuk melihat wajah perempuan jutek yang justru membuatnya sangat tertarik. Gendhis pun berjalan perlahan mengurangi jarak diantara mereka berdua.
"Apa yang ingin kamu katakan?" Tanya Gendhis saat posisi berdirinya sudah menempel di ranjang tempat Erlangga terbaring.
"Menikahlah denganku," Gendhis spontan melebarkan matanya.
"Apa-apaan ini? Aku dilamar oleh pria yang baru aku kenal beberapa hari saja dan … di rumah sakit pula?" Gumam Gendhis dalam hati.
"Kamu pasti kaget karena aku bisa mengatakan ini tiba-tiba. Tapi, aku yakin kalau kamu adalah perempuan yang tepat yang selama ini aku tunggu-tunggu." Jawab Erlangga dengan terbata-bata.
"Kamu gila! Kamu adalah satu-satunya pria gila yang aku kenal." Jawab Gendhis tanpa basa-basi.
"Ohh, hatiku kini lebih sakit dibandingkan anggota tubuhku yang lainnya yang terluka. Karena kamu mengatakan aku gila." Jawab Erlangga sambil memejamkan mata.
"Ya, kalau bukan gila, apa coba? Kamu melamarku dalam keadaan seperti ini. Dan, kamu tahu kita baru kenal beberapa hari. Dan juga, kamu tidak tahu siapa aku, begitu juga aku tidak tahu siapa kamu. Bagaimana mungkin …"
"Cukup orangtua yang sama-sama tahu. Aku yakin, mamiku tahu seperti apa keluarga calon menantunya." Jawab Erlangga sambil tersenyum lirih.
"Hah," Gendhis menggeleng-geleng tidak percaya dengan apa yang didengarnya baru saja.
"Permisi, pasien harus banyak istirahat. Waktu berkunjung sudah habis." Perempuan yang memakai jas serba putih itu menatap sinis Gendhis yang bisa berdiri sedekat ini dengan mas Erl targetnya.
"Baiklah, aku pergi dulu. Semoga kamu lekas sembuh." Gendhis yang tidak peduli dengan tatapan sinis dokter muda itu, berkata pada Erlangga yang wajahnya mendadak suram.
"Kamu datang lagi besok, bukan? Aku ingin makanan buatan kamu. Mami bilang kamu pintar masak." Jawab Erlangga sambil tersenyum.
Gendhis justru mengernyitkan alisnya.
"Sejak kapan mami dari pria ini memuji masakanku? Kenapa pria ini berkata bohong?" Namun sedetik kemudian Gendhis baru sadar kalau ucapan Erlangga itu dikarenakan ada perempuan yang sedang menyimak interaksi dirinya dengan tentara muda ini.
"In Syaa Allah. Aku usahakan tapi aku tidak janji. Kalau begitu, aku pulang dulu." Jawab Gendhis lagi.
"Istriku, tunggu dulu …"
Baik Gendhis maupun Fifin menganga lebar mendengar kalimat absurd yang diucapkan Erlangga.
"Hai, kamu …." Gendhis menggemeratakkan giginya gemas.
"Eughhh, sakit sekali. Mungkin aku tidak bisa berjalan untuk beberapa hari ini. Dan, aku tidak bisa makan karena tanganku sakit sekali kalau digerakkan." Erlangga berkata dengan suara merajuk dan sedih. Seolah-olah kecelakaan ini disebabkan oleh Gendhis sehingga dia mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya.
"Baiklah SUAMIKU, aku akan kembali lagi besok. Jaga dirimu baik-baik." Tanpa berpikir panjang lagi, Gendhis segera bergegas keluar dari kamar rawat inap Erlangga dan menutup pintunya rapat-rapat. Tanpa diketahuinya, Erlangga tersenyum senang melihat sikap yang diberikan Gendhis padanya. Fifin yang melihat wajah sumringah Erlangga, menjadi kesal bukan main.
"Dasar orang gila! Berani-beraninya bilang istriku! Ahhh, aku harus bersyukur atau sedih ya dia kecelakaan? Sudahlah Gendhis, jangan dipikirkan lagi. Besok juga dia akan lupa. Dia hanya ingin memanas-manasi dokter itu saja. Cih! Dasar pria aneh!" Gendhis berjalan keluar dan memanggil taksi yang ada di dekat lobi rumah sakit. Dia akan pulang dulu untuk berganti baju lalu setelah itu kembali ke kantor.
"Sepertinya mas Erl menyukai perempuan tadi." Fifin yang telah selesai memeriksa kondisi Erlangga, meluangkan waktu untuk mengobrol sejenak dengan pria berseragam dalam dinas kesehariannya itu.
"Suka? Entahlah. Mungkin karena dia berbeda dengan perempuan kebanyakan lainnya." Jawab Erlangga sambil tersenyum. Pria itu tersenyum membayangkan saat pertama mereka bertemu yang sebenarnya momen itu tidak bisa dibilang manis, bahkan cenderung pedas dan pahit. Gumam Erlangga dalam hati.
"Berbeda? Apa yang membuatnya berbeda dengan perempuan lain?" Fifin mengerutkan keningnya ingin mengetahui alasan pria yang terlihat jelas selalu menjauh darinya itu.
"Dia tidak pernah melihatku dari seragamku." Jawab Erlangga singkat.
Dokter muda itu terdiam. Perkataan Erlangga seolah menghantamnya dengan sebuah batu besar ke dadanya langsung. Dia dan teman-temannya bertaruh untuk mendapatkan hati seorang perwira tentara lalu menjadi kekasih mereka. Hasil taruhan akan lebih besar lagi nilainya jika mereka bisa menikah dengan tentara. Fifin tersenyum kecut dan menghela napasnya dalam-dalam.
"Apa mas Erl menganggap aku hanya mengincar seragam yang mas Erl kenakan?" Tanya Fifin langsung.
"Mana mungkin kamu seperti itu. Pekerjaan kamu saja sudah sangat keren dan pastinya gajinya lebih besar daripada gaji seorang tentara." Jawab Erl sambil tersenyum.
"Tapi, aku memang memandangmu dari seragammu saja." Gumam Fifin dalam hati.
"Fifin, carilah pria lain yang bisa mencintaimu lebih baik. Aku tidak bisa memberimu harapan semu." Ucap Erlangga membuyarkan lamunan Fifin.