Chereads / Siap, Komandan! / Chapter 21 - 21. Menghadap Orangtua Erlangga

Chapter 21 - 21. Menghadap Orangtua Erlangga

"Ketiga, aku tidak mau ada perselingkuhan dan tidak ingin di poligami. Aku tahu kalau di tentara ada aturannya untuk tidak boleh beristri lebih dari satu. Tapi, ya yang namanya lelaki pasti bisa mencari celah kalau dia mau." Ujar Gendhis. Erlangga terdiam untuk sesaat.

"Kenapa? Kamu … keberatan?" Gendhis bisa melihat sorot mata Erlangga yang bingung dan sedang berpikir.

"Sejujurnya … aku sedang mencari istri kedua." Jawab Erlangga dengan wajah sendu.

"APA? GILA KAMU!" Suara Gendhis yang cukup kencang memancing perhatian semua pengunjung di rumah makan ini. "Aku tidak sudi. Pembicaraan ini aku anggap …"

"Dengarkan aku dulu!"

"Aku tidak mau!" Gendhis mengambil tas untuk pergi meninggalkan pria yang menurutnya sudah berbohong padanya itu.

"Dengarkan aku! Istri pertamaku itu negara." Jawab Erlangga. Gendhis yang sudah berdiri dan akan meninggalkan Erlangga, spontan berhenti dan menatap mata pria yang sudah berkata konyol beberapa detik yang lalu.

Erlangga kembali duduk tegap di tempat dia semula.

"Sebelum aku menjadi tentara, aku sudah disumpah untuk selalu patuh dan taat pada semua peraturan yang mengikat. Bagi seorang tentara, istri pertama mereka adalah ibu pertiwi. Ketika negara sudah memanggil, maka tidak akan ada bantahan. Apapun kondisi pribadi dan keluarga. Bagaimana? Apa kamu sanggup?" Erlangga melemparkan syarat pertama yang dia ajukan, dari sekian banyak syarat yang sudah Gendhis ajukan. Perempuan yang semula ingin pergi itu terdiam dan berdiri mematung. Tidak berapa lama kemudian, dia pun kembali duduk di tempatnya semula.

"Kalau hanya itu, aku sanggup. Aku … sudah terbiasa mandiri dan hidup mengandalkan diriku sendiri." Jawab Gendhis dengan wajah tertunduk.

"Hanya itu syarat dariku. Aku tidak ingin mengajukan syarat ABCD dan lain sebagainya. Bagiku, pernikahan adalah komitmen bersama yang harus dipatuhi oleh sepasang suami istri dengan segala kondisi yang terjadi." Jawab Erlangga.

"Huft, jadi … haruskah aku menerima lamaranmu?" Gendhis tidak berani untuk mengajukan syarat-syarat lainnya setelah mendengar satu syarat dari pria yang sudah melamarnya di sore hari yang syahdu ini.

"Bagaimana kalau kita kerumah orangtuaku dulu? Hari sudah semakin gelap. Aku khawatir ibumu akan khawatir kalau kamu pulang lebih telat lagi." Jawab Erlangga. Gendhis melihat suasana di luar restoran dari balik kaca jendela. Langit memang sudah mulai menggelap. Peran matahari sudah tergantikan dengan ratu malam yaitu bulan. Kendaraan diluar sana pun sudah semakin macet karena banyak karyawan yang sedang berebutan untuk sampai rumah bertemu keluarganya lebih cepat.

"Iya," Jawaban singkat yang diberikan Gendhis membuat Erlangga tersenyum senang. Tidak ada lagi emosi memuncak dan amarah meletup-letup yang ditunjukkan perempuan ini setelah beberapa kali pertemuan mereka. Keduanya pun berjalan dengan tenang menuju mobil Jeep Erlangga yang terparkir di halaman restoran. Dalam perjalanan ke rumah orangtua Erlangga, keduanya terdiam tidak ada pembicaraan sama sekali. Hanya lagu lawas dari Titi DJ 'Bahasa Kalbu' yang disetel Erlangga dari radio favoritnya, yang menemani perjalanan mereka berdua.

Keduanya pun terhanyut dengan suasana yang didendangkan lagu tersebut. Gendhis tidak pernah menyangka kalau dia dilamar oleh seorang tentara dan semua itu tidak melalui proses pacarana seperti kebanyakan pasangan lainnya. Pria ini menginginkan seorang istri, bukan seorang pacar. Dan, untungnya Gendhis pun menganut asas tanpa pacaran. Asalkan cocok maka dia setuju untuk menikah. Pacaran bisa dilakukan setelah menikah.

Perjalanan menuju rumah orangtua Erlangga akhirnya berakhir setelah mendengarkan beberapa lagu yang diselingi dengan wawancara antara pembawa acara radio dengan tamu yang diundangnya. Tampak wajah gugup Gendhis terlihat jelas oleh Erlangga. Perempuan itu belum juga membuka sabuk pengamannya. Terlihat berkali-kali Gendhis menarik napas dan menghelanya. Jari jemarinya bergetar saking gugupnya.

"Kamu tenang saja. Aku yang akan berbicara pada orangtuaku dan orangtuamu. Kamu cukup hadir saat aku mengatakannya." Jawab Erlangga.

"Tunggu dulu! Tidakkah … ini terlalu cepat?" Gendhis memegang lengang Erlangga yang akan segera turun dari mobil. Pria itu melihat lengannya yang untuk pertama kali dipegang oleh perempuan berkarakter ini.

"Kamu gugup ya? Tarik napas, tahan, hembuskan perlahan-lahan. Aku yang memulainya dan aku yang akan bertanggung jawab. Aku ingin bergerak cepat sebelum aku pergi bertugas ke luar negeri." Jawab Erlangga dengan tenangnya.

"Kamu enak bicara begitu. Kamu tidak lihat aku gemetaran dan gugup begini? Ini pertama kalinya bagiku untuk melakukan ini." Jawab Gendhis dengan wajah cemberut manja.

"Hehehe, sama. Aku juga baru pertama kalinya akan meminta ijin dan restu pada kedua orangtuaku, dan orangtua calon istriku. Pegang tanganku. Tenanglah. Ucapkan Bismillah dan semuanya akan berjalan dengan mudah." Jawab Erlangga.

Gendhis mematuhi apa yang diucapkan pria ini. Namun, jantungnya tidak bisa berbohong. Bahkan tangannya yang sejak tadi tenang, kini mendadak gemetar. Gendhis meringis ingin menangis.

"Apa kamu … tidak menerima lamaranku? Atau, kamu …"

"Ayo keluar!" Sorot mata Erlangga membesar ketika melihat respon perempuan ini selalu diluar bayangannya. Erlangga pun keluar mengikuti langkah Gendhis yang sudah berdiri di depan mobil.

"Pegang tanganku. Semua akan baik-baik saja." Ucap Erlangga.

"Iya,"

Erlangga menggenggam tangan yang sudah ingin dilakukannya sejak lama itu. Perempuan yang membuatnya spontan mengorbankan nyawanya demi melindunginya.

"Assalam'mualaikum," Erlangga mengucapkan salam lalu membuka pintu besar utama. Gendhis pun mengucapkan salam di rumah yang kedua kalinya dia datangi.

"Erlangga … Gendhis?" Tampaknya kedatangan Erlangga dan Gendhis tidak tepat pada waktunya. Batari dan suaminya sedang menerima tamu yang merupakan kedua orangtua Fifin dan juga Fifin sendiri. Mereka berlima berdiri dan bengong melihat kedatangan Erlangga dan Gendhis … yang sedang bergandengan tangan mesra. Fifin menggigit bibirnya kesal melihat pemandangan yang membuatnya mual itu.

"Siapa dia, Erlangga?" Retno Kenconowati, mami dari Fifin bertanya pada Erlangga yang masih tetap menggenggam tangan Gendhis meski Gendhis sudah berusaha menarik tangannya tanpa ketahuan.

"Mohon maaf, ternyata ada tamu. Apa bisa saya mengambil waktu mami dan papi sebentar?" Erlangga berkata pada kedua orangtuanya. Batari dan Eko saling bertukar pandang satu sama lain. Eko langsung paham apa yang dimaksud anak sulungnya.

"Baiklah. Mohon maaf pak bu, saya dan maminya Erlangga harus berpindah tempat sebentar. Mohon maaf sekali, nggih." Jawab Eko dengan suara penuh kesopanan.

"Ten-tentu saja. Kami akan menunggu disini." Jawab Retno dan Agung secara bergantian.

Fifin merasakan ada niatan yang akan menggagalkan rencananya. Oleh karena itu, dia bersuara dengan lantang sebelum Erlangga mengatakan maksud kedatangannya pada kedua orangtuanya.

"Mas Erlangga, apa mas tahu maksud kedatangan aku dan kedua orangtuaku ke rumah ini?" Fifin bertanya dengan suara bergetar menahan emosi. Gendhis bisa merasakannya sesama perempuan.