"Idih, galak bener. Kamu tolong bilang ke nyonya, ada yang mengantarkan baju jahitan dan orangnya sedang menunggu di pos." Ucap si bapak petugas.
"Ya, coba nanti aku bilang nyonya. Tapi tidak janji ya dia akan ke sana." Jawab pelayan perempuan itu sambil berlalu.
Bapak petugas itu mengernyit keki dan dia pun keluar kembali ke pos penjagaan.
Sementara itu didalam ruangan tamu, duduk empat orang dewasa yang terdiri dari dua wanita dan dua pria. Mereka duduk saling berpencar. Sang pemilik rumah, Eko Pradipta dan istrinya, Batari Maheswari duduk bersebelahan di sofa panjang. Sementara, dua lainnya adalah sang anak sulung, Erlangga Pradipta duduk di sofa single sebelah kanan mereka dan satu lagi perempuan cantik dan sangat anggun bernama Fifin Tunggadewi duduk di atas sofa single di sebelah kiri mereka.
"Duh nak Fifin, maafkan Erlangga ya sampai harus menunggu semalam ini untuk bertemu. Dia orangnya sibuk sekali akhir-akhir ini." Jawab Batari dengan senyum lembah lembut sambil menatap tajam ke arah anak lelakinya yang dari tadi datang diam saja tidak melihat ke arah tamu cantik tersebut.
"Tidak apa-apa, tante. Saya maklum kok kalau mas Erl pasti sangat sibuk. Saya yang minta maaf karena datang di hari kerja seperti ini." Jawab Fifin dengan senyum manisnya sambil menyelipkan helaian rambut yang jatuh di pipinya ke belakang telinga.
Erl yang sudah jengah sejak tadi, seperti ingin menghilang dari muka bumi dan tenggelam sampai ke dalam dasar Samudra saking jenuhnya. Dia tidak pernah menyukai pertemuan seperti ini yang selalu dibuat oleh maminya. Tapi, karena ingin menghormati kedua orangtuanya, Erl pun terpaksa menuruti saja.
"Maaf nyonya, tadi pak Wiro bilang kalau ada orang yang menunggu di pos penjagaan untuk mengantarkan jahitan untuk nyonya." Pelayan yang baru saja selesai meletakkan minuman diatas meja untuk tamu dan tuan rumahnya itu.
"Jahitan? Oh iya, ya ampun, mami lupa kalau bu Dewi bilang ingin mengantarkan jahitan. Bilang pak Wiro untuk menyuruhnya masuk. Kasihan sampai malam begini mengantarkan jahitan." Batari panik begitu mengira ada seorang wanita tua sedang menunggunya di pos sampai malam untuk mengantarkan jahitan.
"Baik, nyonya." Pelayan perempuan itu pun segera bangkit berdiri dan meninggalkan ruang tamu keluar menuju pos penjagaan.
"Siapa, mi?" Tanya pak Eko.
"Penjahit langganan aku, pi. Hasil jahitannya rapih dan bagus. Aku mengenalnya dari sesama ibu-ibu di arisan yang biasa menjahitkan pakaian seragam ke beliau. Sebentar ya pi. Oya nak Fifin, maaf ibu mau menemui tamu dulu. Silahkan diminum dulu tehnya." Batari pun pamit undur diri untuk menemui tamu yang dikiranya bu Dewi tersebut di ruangan depan.
"Selamat malam, bu." Senyum ceria tetap ditampilkan Gendhis meskipun tubuhnya lelah setelah berjalan jauh dengan perutnya yang sudah sangat lapar.
"Loh, aku pikir bu Dewi yang mengantarkan jahitan." Ucap Batari kaget begitu melihat perempuan muda yang ternyata berdiri di hadapannya dengan pakaian sederhana namun terlihat jelas seperti pulang dari bekerja.
"Saya anaknya bu Dewi. Ibu tidak bisa mengantarkan pakaian jadi dititipkan ke saya." Ucap Gendhis dengan penuh sopan santun. Nyonya besar yang ada dihadapannya ini benar-benar terlihat seperti nyonya pemilik rumah kaya raya, sesuai dengan rumah yang dimilikinya.
"Oh ya ampun, maafkan ibu ya nak, ibu tidak bisa mengambil hasil jahitan karena sedang ada tamu. Kamu kesini naik apa?" Batari melihat penampilan Gendhis dari atas sampai bawah. Mata gadis itu tampak lelah dan sendu namun senyumnya terus bersinar seperti memberitahukan ke semua orang kalau dia baik-baik saja meskipun hari sudah malam dan perut keroncongan.
"Kamu … sudah makan?"
"Oh sudah, nyonya." KRUUUKKK!
Gendhis memejamkan mata dan mengatupkan bibir menahan malu. Perutnya tidak bisa diajak kerja sama dengan mulutnya. Batari terkekeh melihat wajah perempuan muda dihadapannya yang malu-malu.
"Kamu pasti lelah sekali. Bagaimana kalau kita makan malam bersama? Kebetulan kami baru saja mau makan malam." Jawab Batari.
"Oh tidak tidak, terima kasih nyonya. Saya harus segera pulang sebelum kendaraan umum terakhir. Saya kesini hanya ingin mengantarkan ini dan langsung pulang." Jawab Gendhis.
"Ada apa sih, mi? Papi panggil mami untuk …" Seketika kedua bola mata Erlangga membesar. Begitu juga dengan Gendhis. Keduanya sama-sama menatap tajam satu sama lain. Ini pertemuan kedua mereka namun mereka berdua seperti sepasang musuh bebuyutan yang sudah lama bertemu dan bertengkar berabad-abad. Batari yang melihat interaksi anaknya dengan anak dari penjahit langganannya itu langsung mengernyitkan alisnya.
"Ada apa dengan mereka?" Gumam seorang ibu yang tidak bisa ditipu perasaannya.
"Kamu? Sedang apa kamu disini?" Erlangga berjalan menghampiri maminya namun sorot matanya tidak lepas dari perempuan yang pernah mengajaknya berdebat sengit itu. Gendhis memejamkan matanya sekali lagi dan menghela napas perlahan, mencoba menahan amarah karena dari kalimat yang diucapkan pria itu ternyata wanita elegan dihadapannya ini adalah ibu dari pria kurang ajar versi Gendhis itu.
"Hush Erl, kamu bicara apa? Tidak baik berkata kasar pada seorang perempuan." Batari menepuk lengan berotot anaknya. "Maafkan anak saya, dia memang terlalu emosional. Hehe," Jawab Batari sambil tersenyum ramah.
"Tidak apa-apa, nyonya. Ini bukan pertama kalinya dia berkata kasar." Jawab Gendhis dengan suara dibuat setenang mungkin.
"Apa? Hei, aku …"
"Erlangga! Cepat masuk kedalam! Ini urusan mami dengan dia. Kasihan Fifin itu kamu anggurin sejak tadi. Ajak ngobrol dong dia." Jawab Batari mulai tersulut emosinya melihat anak sulungnya tidak mendengar ucapannya.
"Mami?" Terpaksa Erlangga mematuhi ucapan maminya. Dengan sebalnya dia meninggalkan dua perempuan di ruangan depan. Masih terlihat dengan jelas seringai sinis Gendhis sebelum dia pergi dari tempat itu. Gendhis menjulurkan lidahnya kearah pria yang pernah masuk ke dalam mimpinya itu namun bukan dengan cara yang menyenangkan.
"Kamu kenal anak saya?" Tanya Batari sambil menarik lengan Gendhis untuk duduk di kursi yang disediakan di dekat mereka.
"Oh tidak usah tante, saya mau segera pulang saja." Gendhis kini ingin semakin pergi meninggalkan rumah ini, begitu mengetahui kalau anak pemilik rumah ini ternyata adalah pria menyebalkan itu.
"Sudahlah, kamu jangan menolak terus. Ini sudah malam. Anak perempuan tidak baik malam-malam keluyuran sendirian. Kamu pasti habis pulang kerja ya makanya kemalaman." Ucap Batari sambil menebak-nebak.
"Hehehe, benar nyonya. Maafkan saya jadi mengganggu waktu nyonya." Ingin rasanya Gendhis lari dari rumah ini secepat kilat namun wanita pemilik rumah ini bersikukuh memaksanya untuk tinggal lebih lama.
"Kalau begitu, ikut saya sebentar."
"Eh mau kemana, nyonya? Tunggu, nyonya." Gendhis tidak mengerti mengapa wanita ini memaksa dengan menarik tangannya ikut menuju ke dalam rumah.
"Erlangga, tolong kamu pesankan ojek mobil online untuk mengantarkan … siapa nama kamu?" Tanya Batari pada Gendhis.
"Gendhis, nyonya."
"Gendhis, mi."
Erlangga dan Gendhis kompak menyahut sehingga membuat semua orang melotot tidak percaya.