Selbiva berjalan dengan ekstra hati-hati di sepanjang jalan D , ia tidak mau terlihat mencolok. Semalam mendapatkan pesan untuk menemui Dasma di sebuah rumah jalan D no 3A melalui kurir.
Rumah-rumah berderet dengan kelas menengah. Tidak banyak kegiatan disini selain suara-suara orang berjualan menawarkan beberapa barang dagangan.
Sekali lagi memastikan alamatnya, kerutan muncul ternyata sebuah gedung berlantai empat. Selbiva naik mengunakan tangga yang ada di ujung.
Kamar 3A,
tok... tok... srek...
Dasma berdiri depan Selbiva dengan wajah berantakan, "Hai..." kata Selbiva canggung. Tak terduga, Dasma menarik masuk dengan kuat sehingga Selbiva langsung jatuh dalam dekapannya.
"Pagi, kamu sangat cantik"
"Eh"
"Kamu harum"
"Dasma, lepaskan aku"
Dasma terpaksa melepaskan, "Masuklah. Untuk sementara kita melakukan proyek tersebut disini selama rumah di desa sedang dalam perbaikan. Apa tidak masalah untukmu?" tanyanya khawatir.
Kaki Selbiva melangkah masuk, mata mengamati perabot di dalamnya, tidak terlalu besar tapi terasa nyaman dan bersih.
"Tidak masalah"
"Kita perlu bicara tentang pengaturan. Kamu tahu dengan status yang kamu miliki sedikit sulit untuk kita bergerak"
"Apa maksudmu?"
"Duduklah dulu, aku ambilkan minuman. Kamu ingin teh hijau atau teh melati? aku tidak punya kopi karena aku tidak suka"
Dasma mengambil dua gelas, Selbiva menggerjap mengingat kapan terakhir kali ada yang membuatkan sesuatu.
"Selbiva..."
"Teh melati saja, terima kasih"
Tangan besar Dasma lincah melakukan apa yang diminta Selbiva. Perasaan asing muncul di dalam hati Selbiva, menakar sejauh mana Gerold dan Dasma. Ini berlebihan untuk membandingkan bukan pikirnya seraya meletakan tas tangan di atas meja yang terdapat disudut.
"Kamu tinggal disini, sejak kapan?"
Aroma teh melati membius satu ruangan kecil kamar ini. Gelas diletakkan, Dasma duduk depannya setelah Selbiva merasa nyaman untuk duduk.
"Belum lama. Kamu alasan utamaku tinggal disini sebenarnya"
"Hah? aku tidak mengerti"
Satu teguk untuk membasahi terasa menenangkan, "Proyek ini sangat penting untukmu. Aku juga butuh tempat lain untuk menganalisa pernikahanku dengan Liliana".
"Kamu-- tidak bahagia?"
"Tidak terlalu. Liliana pribadi yang mandiri, aku juga. Kami tidak cocok dalam segala hal. Aku butuh tempat bersandar yang membuatku lebih nyaman bukan sendirian. Apa kamu mengerti maksudnya?"
"Aku mengerti"
"Bukan karena dia istri tidak baik, bukan itu tapi pria itu butuh pengakuan dan pelayanan yah kamu mengetahui jelaslah"
Teh melati terasa hangat di hati Selbiva ketika meminumnya disertai mendengarkan curahan hati seorang Dasma Chinla.
"Gerold sering memujiku juga tentang ini. Fezu kakakku, kaku seperti batang pohon"
"Nah itu yang aku maksud"
Tepukan pelan dilayangkan pada tangan Dasma diatas meja, "Ada aku. Sekarang, kamu bisa berbagi denganku. Bagaimana juga, anak yang aku lahir nanti adalah anakmu. Aku ingin kamu ada untuknya" kata Silbiva penuh simpati.
Dasma tersenyum senang, mengangguk dan meminum tehnya dengan penuh semangat. Rencananya berhasil satu langkah, masih ada beberapa langkah di depannya, ia harus memastikan Selbiva benar-benar jatuh dalam pelukannya.
🔥
Tidak api jika tidak disediakan dan mempunyai niat sejak awal. Fezu menyisir rambut lurusnya dengan hati-hati.
tok... tok...
"Fezu, apa kamu masih tidur?"
tok... tok...
"Fezu..."
Ingin mengabaikan tetapi tidak ingin menimbulkan masalah, Fezu membukakan pintu. Hanzu menguap depannya.
"Ada apa?"
"Apa kamu akan pergi ke kantor hari ini?"
"Ya, kemungkinan begitu"
Hanzu masuk dalam kamar Fezu, berbaring diatas tempat tidurnya. Fezu menutup pelan pintu lalu mengambil lagi sisir di atas meja rias.
"Kak Gerold tidak pulang lagi"
"Mungkin ada bersama Selbiva"
"Minggu ini ketiga kalinya tidak datang dalam acara keluarga, apakah akan timbulkan masalah?"
"Masalah apa?"
"Posisi"
"Tidak akan terjadi. Selbiva hanya bisa menghabiskan dana kebutuhan bukan pengubah keputusan di rumah ini ataupun hidup Gerold"
"Kamu tidak cemas"
"Tidak. Aku tahu sebatas apa Selbiva"
"Jangan remehkan dia. Aku pernah melihatnya melakukan hubungan suami istri yang tak pantas di rumah ini, menurutmu berapa lama lagi akan terdengar suara teriakan pengumuman kehamilan"
Fezu berbalik menghadapnya, tatapan tenang menyapu badai yang sering dilihat Hanzu selama mengenalnya.
"Aku bilang tidak ya tidak. Dasma bukan orang yang bisa diajak untuk melakukan sebuah kerugian tanpa keuntungan di masa depan"
Hanzu cepat duduk, "Itu berarti Selbiva harus mengeluarkan uang ekstra demi melancarkan proyeknya sedangkan uang hanya bisa didapatkan dari dompet Gerold dan seijinnya".
"Betul!"
"Tapi Fezu, aku rasa kita harus waspada juga. Ini seorang anak bukan barang atau benda permainan yang mudah dipermainkan satu orang ke orang lainnya"
"Aku tahu"
Hanzu beranjak dari tempat tidur. Ada perasaan yang tak bisa disebut pada Fezu sekian lama memendamnya tetapi apakah ia akan berhenti ketika Fezu mulai mempertimbangkan seorang anak? bukankah itu berarti ia akan kehilangan Fezu selamanya? rasa takut merayapi hingga sakit.
"Fezu, pernahkah kamu berfikir untuk bebas?"
"Bebas?"
"Ya, satu kali saja dalam hidupmu untuk memutuskan apa yang kamu inginkan"
Fezu melihat Hanzu yang berjongkok di depannya, "Aku teman kecilmu berharap kamu bahagia, apakah itu sulit Fezu?" tanya Hanzu lemah.
Benar perkataan Hanzu, tanpa kehadiran pria di depannya ini, hari-hari di rumah besar ini terasa berat dan menyedihkan setiap saat.
"Aku-- "
"Pertimbangkan Fezu"
"Kalau aku memikirkan itu, apakah kamu akan ada disana? aku takut Hanzu"
Pelan jari Hanzu menyentuh pipi berwarna pink tipis dengan penuh perasaan, "Aku akan ada dimana kamu ada, Fezu. Apakah karena itu kamu mengadopsi Wuya demi keluarga ini atau untukmu?" tanyanya.
"Aku membutuhkan pegangan, Hanzu"
Air mata mengenang di pelupuk mata Fezu berikan arti Wuya baginya, Hanzu bangkit dari berjongkok lalu memeluknya erat-erat. Tidak perlu banyak perkataan, cukup sebuah pelukan pengertian diperlukan saat ini.
Di balik pintu, Sosio bersandar dengan wajah tegang. Tanpa sadar Sosio menjauhi kamar Fezu, ia tak mau menggangu.
Tidak ada yang tahu apa itu rasa takut hingga kamu tahu, orang yang kamu harapkan dalam hidup lebih memikirkan diluar dirimu sendiri. Tidak ada cahaya, tidak ada pertemuan ataukah pertolongan yang bisa dianggap. Berharap pada langit diatas langit untuk menghibur dalam artian sebenarnya tetapi terasa jauh. Apakah senyum itu terlihat palsu atau harganya terlalu mahal untuk dibeli?.
Hati ini sakit.
Jika kamu mencari tapi menemukan sebuah jawaban itu menyakitkan, apakah itu berharga untuk bertahan ketika kamu tahu, pada akhirnya tetap sendirian.
Sosio terus berjalan dengan lunglai menuju ruang kaca, ia berhutang maaf terhadap Fezu. Ia terlalu efisien dan egois saat itu. Pelayan datang membawakan secangkir teh untuknya, Sosio duduk dengan wajah berat.
"Ibu..."
Wajah tampan, badan gagah, kemampuan hebat itulah putra kebanggaan sekaligus dilema sepanjang hidup Sosio yaitu Gerold Deng.