Liliana masih di atas tempat tidurnya, sepanjang hari bersama Gerold tidak lantas membuatnya senang dengan caranya.
"Apa yang kamu pikirkan?"
Gerold menyisir rambutnya dengan santai mengunakan sisir milik Liliana. Kamar Marie terlalu sempit maka Gerold memindahkan Liliana usai bersama meraih kesenangan.
"Tidak ada"
"Liliana, kamu milikku"
"Sejak kapan?"
"Siang tadi"
Gerold dibuat gemas, dikeluarkan sebuah kalung dengan cincin di tengahnya. Jarinya cepat memakaikan pada Liliana, "Ini milik ibuku. Dia sangat tahu tentangmu walau aku belum menyebutkan nama" katanya pelan mengelus leher cantik Liliana.
"Kamu-- tapi istrimu lainnya"
"Mereka tidak pantas aku berikan. Satu dijodohkan dan satu memanipulasi banyak hal, aku bukan anak-anak Liliana"
"Kamu memanipulasi aku"
"Liliana..."
"Gerold, jangan datang lagi"
"Mengapa? kita sudah sepakat"
"Memang tapi aku tidak mau ada masalah di belakang jika belum ada kepastian dari semua pihak"
Gerold menimbang lama, "Aku mengerti tapi aku tidak menemukan alasan tepat aku tidak harus datang kemari" katanya keras kepala.
Mata Liliana melotot tak senang. Gerold memberikan senyuman terindah dan menariknya buat Liliana ingin muntah.
"Jangan seperti itu. Aku masih berstatus milik orang"
Decak tak puas dikeluarkan Gerold, menghampiri dan duduk di pinggiran tempat Liliana duduk dengan selimut di badannya.
"Kamu milikku dan aku milikmu. Itu hanya sebuah kertas, tidak akan merubah apa yang terjadi hari ini"
"..."
"Liliana, jangan keras kepala. Kita sudah sepakat, masalah bagaimana caranya membuat semua berjalan dengan baik tergantung kita"
"Aku-- tidak mau"
Paksaan selalu tidak membuahkan hasil, ini sama mencari jalan buntu jika berhubungan dengan Liliana. Peristiwa hari ini bisa terjadi karena desakan Gerold.
"Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku"
"Tidak tertarik"
"Liliana!"
Nada sedikit tinggi terdengar, Liliana menyipitkan matanya dalam-dalam. Gerold berbaring begitu saja di sampingnya, matanya terpejam.
"Kamu-- bukannya tadi mau pulang. Kok balik lagi tidur"
"Aku tidak bisa tenang tinggalkan pacarku, calon istriku jika kondisinya seperti ini"
"Hah! siapa calon istri atau pacar"
"Kamu"
Untuk sesaat Liliana dibuat terperangah dengan gombal spontan Gerold, orangnya malah menggoda dengan mengedipkan mata kemudian menutup lagi.
"Pergi!"
"Tidak mau"
"Gerold!"
"Ya sayang"
"Sialan Gerold, jangan buat drama disini"
Badan Gerold bergeser menghadap Liliana, selimut kencang di pegang. Tidak tahu harus bertindak apa, mendadak kosong.
"Aku suka kamu, Liliana"
"Aku tidak suka"
"Ya tidak apa-apa selama kamu bersamaku"
"Gerold"
"Aku tahu sejarah suamimu yang dulu, tidak masalah. Tetapi, aku bukan dia yang bisa kamu abaikan"
Untuk beberapa kali Liliana terpaksa menarik nafas sejauh-jauhnya. Namun, gerakan tangan Gerold yang menimpa badannya terasa hangat sampai ke hatinya.
"Kita perlu saling mengenal tapi tidak sekarang, kita pelan saja"
"Aku-- "
"Tidak apa, semua butuh waktu. Aku juga"
"Gerold, pergilah"
"Kamu jahat!"
Gerold merasa tak berdaya, iapun bangkit berdiri dari tempatnya. Tidak mau melihat lagi ke arah Liliana yang bingung dengan sikapnya.
"Aku akan datang lagi besok"
"Jangan!"
"Bukan kamu yang memutuskan tetapi aku. Kali ini, kamu tidak akan bisa menolak"
Gerold pergi tinggalkan kamar utama, di anak tangga terlihat pelayan rumah sibuk membersihkan rumah dengan kaku.
"Kamu!"
Pelayan bingung mendengar itu, Gerold berjalan mendekati. Wajahnya tajam mendaur ulang apa yang akan dikatakan.
"Jaga baik-baik nyonya. Aku tidak mau ada pria yang datang kemari. Usir!"
"Tapi tuan..."
"Tidak ada kata tapi. Nyonya butuh waktu istirahat"
"Eh, iya"
Walau tak mengerti tetap saja mengatakan iya demi masalah selesai. Gerold mendengus dingin lalu pergi tinggalkan rumah melalui pintu depan.
"Tuan, nyonya besar mencari anda"
Gerold baru saja duduk di mobil tetapi sopir sudah panik. Malam tanpa bintang ternyata masuk dalam pandangan mata.
"Besok, kita pulang sekarang"
"Baik tuan"
Mobil berjalan lambat meninggalkan rumah Liliana. Di lantai dua, gorden terbuka pelan ingin mencari tahu.
"Sial Gerold, kamu cari masalah"
Kata-katanya entah di tunjukan pada siapa tetapi Liliana tahu, arwah suaminya akan datang menghakimi jika ia berniat melakukan hal aib.
-
Selbiva mondar mandir di rumah, ini hari ke berapa Gerold tidak datang. Terlalu asyik dengan Dasma, lupa dengan tujuan utamanya.
"Gerold dimana kamu"
Berulangkali berucap tapi tidak ada sautan dari arah manapun hingga suara mobil masuk rumah.
"Gerold..." teriaknya senang, berlari menyambut kedatangan orang yang ditunggu tetapi Selbiva bengong dibuat.
"Dasma?"
"Aku dengar kabar jika suamimu tidak bisa datang jadi aku datang"
"Kamu gila. Bagaimana jika ketahuan?"
"Tidak akan. Aku sudah minta orang untuk berjaga-jaga diluar"
"Tapi..."
"Aku merindukanmu, sayang"
Dasma sengaja datang begitu tahu Gerold tidak akan datang dari berita kurir pengintai. Banyak orang sedang mencari, mana ada waktu mengurusi Selbiva.
"Dasma, aku-- "
"Aku juga mencintaimu"
Dasma terus membawa Selbiva masuk dalam rumah, jika dibiarkan terus diluar bisa kacau. Kepanikan terlihat di wajah Selbiva.
"Percayalah padaku, dia tidak akan datang"
"Apa maksudmu?"
"Orang-orang keluarga Deng sedang mencarinya. Entah masalah apa, tetapi ini kesempatan bagus untuk kita berdua"
"Dasma, aku takut"
"Tidak akan. Aku lapar, apa ada makanan?"
"Ada, tunggu sebentar"
Selbiva bergegas arah dapur, Dasma memperhatikan nuansa tampilan rumah yang mewah. Tidak menduga ternyata jauh berbeda dari rumah Liliana.
"Tunggu di ruang keluarga saja, aku panaskan dulu beberapa"
"Oke"
Dasma bergerak arah ruang keluarga yang dimaksud, ternyata sangat luar biasa. Senyumnya senang mendapatkan tiket menuju kekayaan yang tanpa nominal. Kapan lagi bisa bertindak sebagai tuan rumah sekaligus suami Selbiva, pikirnya.
Pintu gerbang rumah Selbiva,
"Siapa pemilik mobil?"
"Tidak tahu tuan"
"Cari tahu, besok bawa ke kantor untuk aku lihat"
"Baik tuan"
"Pulang ke rumah besar saja"
"Baik tuan"
Semula niat Gerold ingin menghabisi Selbiva dalam satu gerakan halus tetapi kenyataannya, sungguh menampar wajah hingga jadi lelucon.
Perjalanan singkat dari rumah Selbiva menuju rumah besar, mobil sudah mencapainya.
"Kak?"
"Hanzu, mengapa kamu disini?"
"Aku tinggal disini"
"Sejak kapan?"
"Sejak lama. Ibu seharian mencarimu"
"Aku tahu, aku masuk dulu mencarinya"
"Ya kak"
Hanzu bertindak seperti adik yang baik dan pengertian membuat Gerold tidak senang di hati dan menutup mata.
Gerold melepaskan dasi yang mengikat, terasa lelah tetapi melihat Fezu berdiri di anak tangga dengan wajah terkejut bikin malas.
"Kamu pulang?"
"Kenapa? tidak senang?"
"Bukan begitu"
"Aku tidur di kamar tamu. Jangan ganggu aku sekarang ini. Kamu mengerti!"
"Gerold..."
"Diam!"
Gerold terus melanjutkan langkahnya menuju kamar tamu di lantai pertama. Kali pertama Fezu terkejut mendengarnya.
bum!
Dunia mulai terpisah dengan cara kejam, Fezu menitikkan air matanya dengan tidak berdaya. Hanzu datang dengan wajah suram.
"Belum tidur?"
"Ya"
Hanzu berbalik pergi, hatinya sakit melihatnya. Fezu diam menunggu tapi tak ada suara lagi.