Fezu duduk menunggu Gerold di ruang khusus yang dipesan Gerold, beberapa kali berganti posisi duduk. Hati tidak tenang, bagaimana menjawab apabila bertanya? bagaimana caranya mengatakan bahwa ini tidak seperti yang terlihat? kepalanya pusing tujuh keliling mencari solusi sebelum Gerold datang.
srek....
Gerold berdiri cukup lama mengatur emosinya, tak mau ada perdebatan atau perkataan dari Fezu. Iapun berpura-pura seraya membuka pintu, Fezu spontan berdiri.
Wajah Gerold tampak buruk, "Gerold..." panggil Fezu khawatir, perlahan duduk setelah Gerold duduk di depannya kemudian mengambil makanan tersebut.
"Makan!"
"Gerold...."
"Jangan bicara! makan saja Fezu"
Diam, Fezu menemani makan. Entah apa yang dipikirkan Gerold, Fezu tidak berani bertanya. Ruang khusus terasa dingin seperti kutub es.
🔥
Liliana melepaskan sepatunya, sandal rumah dipakai sebagai gantinya. Pelayan menghampiri dengan membawa teh panas untuk diletakan di meja ruang keluarga.
"Apakah Marie sudah tidur?"
"Sudah, tuan Dasma berada di kamarnya, nyonya"
"Oh, pulang?"
"Baru saja nyonya"
Pelayan pergi tinggalkan, Liliana melangkah arah kamar. Ragu-ragu masuk tetapi cepat atau lambat harus dihadapi, terpaksa masuk.
"Kamu sudah pulang"
"Eh, iya"
Heran dengan sikap Dasma yang tergolong tenang hari ini, "Apa kamu ingin makan sesuatu atau.... " kata Liliana ragu melanjutkan ketika Dasma beranjak dari tempat tidurnya, menghampiri dan menepuk sisi kedua lengannya.
"Liliana, mulai besok, kita pisah kamar. Bagaimana menurutmu? aku capek bertengkar denganmu setiap saat"
"Aku-- "
"Kamu tidak bisa berikan apa yang aku butuhkan. Liliana, untuk masa ke depannya, kamu tidak perlu melayaniku masalah hubungan suami istri kecuali aku menginginkanmu. Aku akan datang ke kamar ini"
"Oh"
"Aku tahu, pernikahan kita tidak didasari cinta tetapi aku sudah berusaha sekuat tenaga agar kamu mengerti kebutuhan ku"
Liliana terpaku di tempatnya, tidak terbayangkan ada sebuah momen dimana Dasma akan mengambil keputusan semacam ini. Dasma menghela nafas berat, "Aku hanya ingin hidup tenang sampai sisa hidupku" ujarnya.
"Dasma, kamu tahu perasaan tidak bisa dipaksakan. Aku-- "
"Aku tahu"
Dasma menjauh beberapa langkah darinya, menatap mata Liliana yang memancarkan penuh tanda tanya, "Aku ingin dicintai Liliana dan kamu tidak bisa memberi maka biarkan aku mencarinya dari orang lain".
"Kamu-- "
"Aku tidak meminta banyak, bisakah? kali ini aku bersikap egois"
Liliana merasa ini seperti badai yang menghantam sebelum terang muncul tetapi benarkah ini yang diinginkan hatinya.
"Tapi malam ini bisakah kamu berikan padaku secara sukarela sebagai perpisahan hubungan kita?"
Tatapan penuh harap diberikan, Liliana hanya bisa mengangguk menyetujui disertai badan kaku ketika Dasma meraih badannya.
Cinta tak bisa dipaksakan ataupun diperintahkan tapi kesungguhan bisa mengerakkan hati yang mustahil di balik kata.
🔥
Hanzu mengelengkan kepala melihat Fezu dan Gerold keluar dari ruang khusus dengan wajah penuh kesulitan. Iapun menghampiri, "Kak... kalian pulang bersama?" tanyanya.
Fezu menutup rapat mulutnya, takut mengatakan sesuatu yang salah. Gerold memakai kembali jas yang diberikan kepala restoran Dawn.
"Tidak, kakak ipar mu membawa mobil. Aku masih ada urusan di rumah kedua" jawab Gerold pelan, melirik sekilas perubahan wajah Fezu yang mungkin terjadi tetapi kosong.
Hanzu terkejut mendengar jawaban Gerold yang mudah, "Kantor? kak, ini sudah malam" katanya memprotes.
"Tidak apa-apa Hanzu, aku pulang lebih dulu. Selamat malam" elak Fezu segera keluar dari restoran Dawn, semakin lama berinteraksi dengan keduanya bisa fatal terbaca rencananya oleh Gerold.
"Kak, kamu jaga perasaan kakak ipar"
"Untuk apa? dia juga tahu mengapa kita bisa menikah"
"Kak!"
"Jangan ikut campur!"
Gerold merasakan kekesalan mendengar Hanzu yang gemar protes akhir-akhir ini, ia pergi keluar restoran Dawn. Dilihatnya, mobil yang ditumpangi Fezu sudah pergi dari sini.
"Tuan Deng, silahkan naik. Kita pergi ke rumah ketiga atau rumah kedua?"
"Rumah ketiga saja, aku tidak ingin bertemu siapapun malam ini"
"Baik tuan"
"Tidak jadi, kita pergi ke rumah keluarga Chinla, tepatnya Liliana"
"Hah! apa tuan? Liliana siapa?"
"Cepat lakukan saja pergi ke rumah Chinla di jalan J no 45"
"Baik tuan"
Sopir menutup pintu mobil kemudian berlari memutar menuju kursi pengemudi lalu mulai mengendarai mobil dengan sigap. Gerold mengengam erat sisi mobil, ia hanya ingin memastikan saja.
Hidup hanya satu kali namun, berat untuk melanjutkan langkah seandainya nasib bermain-main dengan drama yang dibuat.
Badan penuh keringat, Liliana turun dan mencari udara segar di luar rumah. Malam ini perasaan bersalahnya pada almarhum suaminya semakin menjadi-jadi. Ia hanya berlaku wajar pikirnya.
Bertahun-tahun berharap pada satu orang untuk hidup bersama selamanya tapi kini tanah kubur belum kering sudah bersama pria lain. Apakah nasibnya masih akan sama? tidak boleh!
brak! bum!
"Sial!"
Mata terbelalak memandang Gerold muncul depan mata tepatnya jatuh dari pembatas dinding belakang rumahnya, "Kamu!" teriak setengah Liliana terkejut.
"Mau apa ke rumah ku lewat....?"
Sesaat Liliana kebingungan melihat Gerold turun dari tembok pembatas rumah, berulangkali melihat ke atas lalu arah Gerold. Sungguh tak percaya. Gerold merapikan pakaiannya yang kusut akibat melompati dari atas, lumayan tinggi pikirnya.
"Liliana, kita bertemu lagi"
"Hah!"
"Kamu-- mau apa?"
Gerold berjalan maju, "Sekedar ingin menyapa" katanya memperhatikan gaun tidur yang dipakai Liliana. Terlihat sopan dan nyaman, sangat berbeda dengan dua istrinya.
"Menyapa? tuan Deng, liat jam berapa ini?"
"Pagi aku rasa"
Jarak mereka berdua sangat dekat, hanya satu langkah besar bisa menghapus jarak tersebut.
"Tuan Deng, anda menginginkan apa sebenarnya hingga pagi buta datang ke rumahku"
Kepala dimiringkan, Gerold bisa melihat jejak pada tubuh Liliana dan ini menjengkelkan baginya.
"Kamu baru saja bersamanya"
Tuduhan dengan nada cemburu seperti tak pada tempatnya, Liliana tertawa garing mendengarnya bahkan semakin kencang membuat Gerold tidak senang.
"Apa yang membuatmu tertawa?"
"Tuan Deng, anda sangat aneh. Saya wanita menikah, wajar melakukan kewajiban tapi anda? apa yang sebenarnya maksud kemari?"
"Aku hanya ingin tahu"
"Ingin tahu?"
Liliana diliputi kebingungan mendengar jawabannya, Gerold menghapus jarak mereka berdua dan meraup apa yang sejak di restoran Dawn pikirkan sebelumnya.
Linglung, reaksi keduanya. Gerold mundur beberapa langkah ke belakang, "Aku harus pulang, lain kali kita bertemu lagi" ucapnya penuh kepuasan.
"Kamu-- !"
Namun, Liliana tidak bisa berkata-kata karena Gerold cepat memanjat tembok pembatas rumah.
"Apa yang... sial, pria kurang ajar dan mesum!"
Teriakan kencang Liliana terdengar sampai telinga Gerold diluar tembok pembatas rumah. Senyum mewarnai wajah Gerold. Sopir celingukan arah kanan dan kiri ketakutan.
"Tuan..."
"Pulang ke rumah tiga. Bagaimana keadaan nyonya kedua?"
"Tidak baik. Nyonya kedua Deng marah karena tidak bisa menghubungi tuan"
Gerold masuk ke dalam mobil setelah menatap tembok pembatas rumah, rasa peach di mulutnya sangat mencerahkan. Ini sangat menyenangkan.