Dasma menelan makanan yang dibuat Liliana yang seperti karet. Pagi-pagi Liliana sudah sibuk di dapur, pelayan turut membantu di sampingnya.
"Liliana, kamu ada apa? pagi-pagi sudah membuat kehebohan di dapur. Kamu lihat makanan yang kamu buat ini"
Liliana datang membawa semangkuk bubur, meletakan di atas meja. Dasma merasa ngeri melihat bentuk buburnya.
"Tidak mau makan ya tidak usah. Jangan menghina orang yang sudah susah payah membuatnya"
Nada marah dan teguran secara bersamaan membuat kesal Dasma, "Aku pergi kerja dulu" katanya beranjak dari duduknya.
"Kerja? kamu kerja?"
"Ya, harus kerja. Apa salahnya dengan kerja? semalam aku sudah katakan mulai hari ini, kita pisah kamar. Aku akan berusaha keras mencari kebutuhan yang aku inginkan" kata Dasma berjalan dengan gagah ke arah pintu keluar.
Tekad kuat diucapkan seperti angin surga bagi yang mendengarkan, Liliana nyaris bertepuk tangan dan muntah. Pelayan bengong.
"Semalam baik-baik saja, mengapa berubah gila? benar-benar aneh"
"Nyonya semalam saya mendengar nyonya berteriak, apa semuanya baik-baik saja? saya tidak berani keluar kamar"
Warna merah spontan muncul pada wajah Liliana, "Baik-baik saja" katanya mengalihkan pandangannya ke arah Marie yang mengerut lipatan keningnya melihat buburnya aneh.
"Beri makan Marie, aku akan istirahat dulu di kamar. Siapapun yang datang, katakan saja aku pergi"
"Baik Nyonya"
Liliana tidak mau mengingat apa yang terjadi menjelang pagi tadi, buru-buru naik ke lantai dua, kamarnya. Teringat bibirnya sedikit bengkak ketika di cek, benar-benar bajingan mesum berkedok bangsawan.
🔥
Sosio minum kopi paginya dengan elegan dan sempurna, senyum tak henti memenuhi wajahnya, Fezu menemani.
"Ibu mertua, apa langkah selanjutnya?"
"Dimana Gerold? apakah semalam pulang ke rumah, Fezu?"
"Tidak pulang"
"Kamu ini bagaimana! Fezu, sebagai istri kita harus bersikap banyak cara untuk bisa mempertahankan pernikahan"
"Aku sudah berusaha ibu mertua"
Cangkir di tangan diletakan di atas meja dengan kencang, "Tidak! kamu belum berusaha. Jadi istri itu, dirumah harus bersikap seperti pembantu depan suami. Di kamar harus bersikap layaknya pelacur dan diluar harus bersikap elegan, sopan, ramah dan loyal".
"Ibu mertua, aku benaran sudah berusaha. Aku tidak mengerti maksud ibu mertua, pembantu?"
Mata tajam Sosio seperti ingin memotong tubuh Fezu menjadi bagian-bagian kecil dan dimasak. Fezu gemetar di tempat duduk.
"Pelayan disini banyak tapi mereka dibayar untuk melakukan pekerjaannya tapi kamu harus berfikir kamu adalah pembantu yang melayani pakaiannya, makanannya bahkan bagian terkecil sekalipun"
"Ternyata begitu"
"Rayu, berdandan cantik dan harum di atas tempat tidur"
"Tapi ibu mertua, aku dan Gerold pisah ranjang selama pernikahan. Kami hanya melakukan hal itu jika ada tamu dirumah agar tidak menimbulkan gosip diluar"
Kata-kata nasehat menguap seketika, Sosio menarik nafas panjang karena terlalu jengkel sikap pasrah Fezu.
Cangkir kopi di ambil lagi oleh Sosio untuk menenangkan emosinya. Fezu diam-diam menyesap isi cangkirnya dengan senyum tersembunyi.
"Kalian ternyata disini"
Dua kepala menengok arah suara, Hanzu datang dan duduk di sampingnya Fezu. Cangkir yang berada di tangan Fezu di ambil alih oleh Hanzu, "Kakak ipar jangan terlalu banyak minum kopi, ini tidak baik untuk kesehatanmu" ujarnya penuh simpati.
"Minum ini saja"
Gelas berisi jus di berikan dalam tangan Fezu, "Hanzu, kamu mau makan roti isi selai kacang atau strawberry. Selai coklat kesukaanmu habis" kata Fezu pelan meminum jus.
Sosio mengutuk berkali-kali dalam hatinya, seharusnya sejak awal sudah menduga jika keduanya lebih serasi, mengapa juga berkeras menikahkan Fezu dengan Gerold. Terlihat Fezu melayani Hanzu dengan luwes tanpa cela sedikitpun.
"Hanzu, dimana Gerold?"
"Kakak? aku belum melihatnya pagi ini. Mungkin ada di rumah istri kedua"
"Jangan konyol, tidak ada istri kedua disini! hanya ada Fezu"
"Iya... iya hanya Fezu"
Hanzu mengalah demi ketenangan dan kebahagiaan paginya bersama Fezu dan ibunya. Ini keinginan lamanya. Sosio menghembuskan nafas dingin sementara Fezu tidak terganggu dengan perdebatan mengenai dirinya.
🔥
Dasma menghitung biaya yang harus dikeluarkan hari ini, perhitungan semula tidak ada keuntungan sama sekali.
"Bu, rumah perlu di renovasi. Aku ada proyek tapi uangnya tidak akan cukup jika renovasi"
Ibu Dasma meletakan rebusan ubi dalam mangkok ke atas meja. Bapak Dasma menaikan kakinya diatas kursi dengan rokok di antara jarinya. Mereka berdua tertarik mendengar kata proyek.
"Besar dapatnya?"
"Proyek apa?"
"Buat bayi"
"Hah!"
Ibu Dasma tertunduk mendengar itu. Dasma tertawa sambil mencomot ubi, terasa lembut dan manis di mulutnya.
"Begini....."
Dasma terus mengatakan perihal rencana Selbiva padanya. Keduanya mendengarkan rencana putranya dan kesulitannya.
"Dasma, ibu rasa pembangunan rumah ini tidak perlu dilakukan. Kamu bisa menyewa rumah Johir ujung desa yang sering kosong"
"Benar perkataan ibumu, rumah Johir kosong sudah lama, cukup sewa dan bersihkan"
"Harganya murah, coba tanya ke pak Sobirin di sebelah rumah Johir. Hitung-hitung bantu tetangga cari uang. Kamu katakan padanya, untuk menutup mulut tetangga agar tidak bocor"
"Uang tutup mulut juga tidak murah Bu"
"Buat tulisan di kertas, minta mereka cap jempol lalu ingatkan sekali lagi resiko bisa di masukan dalam penjara jika di bocorkan"
"Tapi Bu, aku katakan apa proyek ini"
Mereka bertiga berpandangan satu sama lain, ini membingungkan. Dasma mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompetnya, "Ini uang untuk tiga hari, hari Senin baru bisa dicairkan di bank" ujarnya.
"Dasma, coba kamu tanyakan pada Selbiva nama proyek agar warga tidak melabrak"
"Benar itu Dasma, kamu tanyakan"
"Aku tidak nyakin bisa bertanya sekarang. Dia pasti bersama suaminya"
"Aih, bagaimana bisa proyek berjalan jika bertemu akhir minggu saja? pemupukan dan penyiraman harus dilakukan berkala"
"Kamu juga harus minum obat-obatan yang bisa melancarkan dan meningkatkan daya tahan yang bagus"
Dasma mengganguk saja, nasehat panjang ibu dan bapaknya membuat hati dan kebahagiaan di masa depan semakin jelas terlihat.
Hari menjelang sore, Dasma meninggalkan desa, tujuannya hanya satu yaitu hotel Earth. Selama ini, Dasma bekerja sebagai pelayan tamu khusus disana. Tidak ada yang tahu karena semua pelayan tamu khusus wajib mengunakan topeng.
"Hei, Dasma. Uang kamar bayar dulu untuk minggu depan"
"Iya... iya ini"
Harga kamar mendapatkan diskon setengah harga jadi Dasma tidak keberatan membayar demi proyek berharganya itu. Otak bekerja keras mencari cara untuk menghubungi Selbiva, jaman ini menyebalkan karena harus menulis surat. Teknologi belum berkembang.
"Aku perlu orang untuk menyampaikan informasi, kemana orang bisa bawa"
Teman seperjuangan pelayan khususnya menoleh kepadanya, "Kamu suruh kurir depan saja. Kalau rahasia, jangan beri tanda apapun dan beritahu jika terlihat oleh orang cepat bakar atau buang ke tempat basah" serunya berikan ide.
"Hebat! aku kesana dulu"
"Hei, tunggu dulu, atur dulu ini tamu dalam daftar, main kabur saja"
"Hehehe maaf"
Daftar di ambil Dasma, deretan nama-nama wanita bangsawan tercetak disana dengan tanda-tanda simbol merah. Uang... uang dan uang hanya itu yang ada di kepala Dasma saat ini.