Cahaya matahari menyengat muncul di permukaan. Gerold menyengir sendiri di dalam mobilnya, sepanjang malam berdiam disini secara gila. Sopir tertidur pulas depan kursi penumpang tanpa peduli majikan bertindak aneh.
klik.
Gerold bersemangat, satu ayunan kuat menarik dirinya naik melewati tembok pembatas rumah Liliana.
bruk!
Kaki kuat dan besarnya menapak kuat di atas tanah. Tidak ada kegiatan di dalam rumah, Gerold mengira-ngira dimana letak kamarnya. Tiba-tiba, Gerold menangkap gerakan dari arah dapur rumah.
"Gotcha!"
Liliana sedang menaikan ceret air. Mulutnya sibuk menguap tanpa menyadari ada serigala lapar mengintai dan berusaha masuk dalam rumah melalui pintu dapur yang mengarah ke tembok pembatas rumah.
klik.
Suara pintu ditutup tidak di dengar Liliana, Gerold mengendap masuk dengan hati-hati. Liliana bersandar di meja dapur, mata setengah di pejamkan, terlihat masih mengantuk.
"Liliana..."
Suara dalam dan serak terdengar di telinga Liliana. Gerold terpana untuk kedua kalinya karena kali ini, Liliana terlihat sangat cantik dengan tampilan sederhananya.
Gerakan ingin berteriak langsung dibungkam Gerold mengunakan tangannya pada mulut Liliana. Mata indah nan cantik menyapa Gerold dengan kekuatan penuh.
"Aku hanya ingin melihatmu"
Tidak ada suara balasan, Liliana kesal dibuatnya. Gerold tertawa pelan saat kaki Liliana bergerak ingin menendang tapi malah mengenai rak bawah di dekat mereka berdua.
brak!
Kerutan kesakitan muncul bikin hati tak tega, "Aku akan melepaskan tapi jangan berteriak" ujar Gerold mengamati bola mata Liliana yang sedikit berair.
Pelan dilepas tangan yang membungkam, "Apa masih sakit? sini aku lihat" kata Gerold berjongkok di bawah.
"Tuan Deng, anda mengapa seperti pencuri di pagi hari begini"
"Sudah aku katakan, aku ingin melihatmu"
Gerold melihat warna kemerahan pada kaki Liliana, cepat berdiri di hadapannya. Liliana menatap waspada.
"Tuan Deng, mengapa kamu senang sekali masuk rumah lewat belakang? depan ada pintu"
Tidak mau menjawab, Gerold cepat mengarahkan Liliana untuk duduk di kursi, "Dimana kotak obat?" tanyanya celingukan mencari kotak di sekitarnya.
"Tidak punya"
"Tidak punya? bagaimana kalau terjadi masalah kesehatan? kamu ini bagaimana menjaga diri? Marie bisa berbahaya jika tidak ada kotak obat"
"Sebelumnya tidak pernah ada kecelakaan tapi sejak tuan Deng kemari, aku akan memikirkan pencegahan kecelakaan"
Tangan terlipat depan dada, warna semburat merah di pipi dan mulut cemberut, sungguh gemas dibuatnya.
"Jangan salah paham"
"....?"
"Aku benar-benar ingin melihatmu. Kalau aku mengatakan ingin bertemu, kamu pasti menolak"
"Sudah pasti"
"Karena itu, aku sengaja datang kemari"
"Biasakan pakai pintu depan, aku tidak mau mati karena serangan jantung"
"Konyol!"
Gerold menggeser kursi agar dekat Liliana, "Kamu sendirian di rumah? dimana suamimu Dasma?" tanyanya ingin tahu.
Suasana rumah yang masih sepi, pelayan tidak datang membantu, sedikit menimbulkan mencurigakan bagi Gerold.
"Dasma sibuk dengan proyek diluar. Aku tidak tahu apa itu. Pelayan datang dan pergi, ini belum waktunya. Ada pelayan yang bertugas menjaga Marie, kemungkinan sibuk mengurus Marie sekarang ini. Tuan Deng, pergilah"
"Aku butuh kopi"
Gerold menguap, tatapan meminta perhatian diberikan pada Liliana yang enggan lakukan sesuatu.
"Liliana, aku tamu disini"
"Tamu? tamu tidak datang dari depan, apa pantas disebut tamu?"
"Pantas karena tamu ini datang untuk mencuri hati pemilik rumah"
"Kamu-- !"
Tak mau berdebat lagi, Liliana bergerak mengambil apa yang diinginkan Gerold seraya berfikir, semakin dibuat maka semakin cepat pergi.
Imut pikir Gerold mengetahui kekesalan Liliana di wajahnya. Iapun mulai membanding-bandingkan dengan kedua istrinya. Sungguh bak bumi dan langit.
"Minum habis setelah itu pergilah"
Cangkir berisi kopi diletakan depan Gerold, Liliana hendak duduk menjauh tapi keburu tangan panjang Gerold menariknya kembali duduk di kursi tadi.
"Aku suka roti, ambilkan"
"Isi apa?"
"Selai kacang saja"
Walau enggan, Liliana tetap melakukan perintah Gerold, tangannya lincah bergerak mengoles roti. Semua gerakannya itu membuat Gerold merasakan kehangatan dalam hati.
Benar-benar berbeda, di rumah besar Fezu hanya diam menemani tanpa minat membantu mengoles atau membuatkan kopi sementara di rumah Selbiva, meja selalu kosong.
"Liliana, kamu pernah berfikir pernikahan kami adalah kesalahan?"
Roti diletakan pada piring usai diolesi, "Tidak pernah. Apakah tuan Deng merasa menyesali pernikahan sendiri?" tanya Liliana menatap lekat mata Gerold.
"Pernah"
"Hah? mengapa? hidupmu itu sempurna, ada dua istri menemani semua kebutuhanmu"
"Maksudmu bagian itu?"
"Iya, pelayan juga banyak. Apalagi coba, ada anak juga. Dibandingkan aku yang sendiri, kamu jauh lebih beruntung"
"Memang benar beruntung tapi aku tidak punya istri rasa teman"
Sontak Liliana terdiam. Gerold memakan roti buatan Liliana dengan semangat, "Tiap pagi aku akan mampir minum kopi dan makan roti bersamamu disini" katanya.
"Tidak!"
"Mengapa tidak?"
"Hari ini, kebetulan aku lapar jadi membuat semua ini. Hari biasanya, ada pelayan yang urus"
"Kalau begitu, ya kamu buat mulai sekarang"
"Tidak mau"
Liliana meraih kopinya, menyesap kemudian mengoles rotinya dengan penuh semangat. Gerold tertegun melihat kebahagiaan kecil dari Liliana yang diperlihatkan.
"Aku akan membayar"
"Tidak butuh"
"Liliana...."
"Itu namaku"
"Jangan jadi orang yang menyebalkan"
"Oh, aku memang seperti ini. Dasma saja tinggal diluar rumah karena sifat ini"
"Begitu ya"
"Iya"
"Kalau begitu, aku akan berusaha sekuat tenaga mengubah kamu menjadi istri rasa teman milikku"
plak!
Sendok di tangan dibanting Liliana karena mati kesal, "Tuan Deng, anda harus pergi. Ini waktunya anda bekerja" serunya.
"Hahaha, Liliana...."
"Pergi!"
"Isi cangkirku belum habis" katanya seraya mengangkat cangkir kopinya tetapi Liliana cepat mengambil alih darinya.
"Tuan Deng...."
Nada suara Liliana berubah membuat Gerold benar-benar senang, "Baik... baik... aku pergi tapi besok aku akan datang lagi Liliana" ujarnya.
Mata melotot memperingati, Gerold terpaksa bangkit berdiri demikian juga Liliana. Mereka berpandangan untuk beberapa sesaat, "Aku benar-benar senang minum kopi pagi bersamamu Liliana" kata Gerold berjalan arah pintu.
"Mau kemana tuan Deng, anda masuk dari arah mana maka keluar juga dari sana"
"Hei, beri kelonggaran sedikit"
"Tidak bisa, aku tidak mau ada gosip"
Liliana dibuat tak berdaya dengan tingkah Gerold, ia secepatnya menarik keluar Gerold dari arah pintu dapur terus menuju pintu belakang.
"Ada pintu belakang?"
"Khusus pelayan, selamat tinggal tuan Deng" jawab Liliana sambil membukakan pintu, Gerold merasakan enggan.
"Selamat jumpa Liliana"
Gerold mencuri satu hisapan nafas dari Liliana ketika pengawasan matanya longgar berfikir Gerold sudah keluar.
"Kamu!!!"
Teriakan setengah Liliana disambut tawa bahagia Gerold yang berlari arah mobil terparkir. Benar-benar bajingan.
bum!
Liliana merah padam ketika berbalik menemukan Marie dan pelayannya diam melihat tingkahnya.
"Tidak apa-apa, ayo makan pagi" kata Liliana mengurai kegugupan yang dirasakan tatapan ingin tahu dari keduanya. Pelayan hanya mengangguk saja, ia memang ingin tahu tapi tahu batasan.
Sementara itu, sopir terkejut mendengar suara tawa Gerold. Seumur-umur tidak pernah melihat Gerold tertawa senang di pagi hari. Sungguh langka melihatnya.