"Yah," Angguk Vincenzo Squire duduk di atas sofa, menyandarkan tubuh sambil memejam, sebelum suara ponsel berdering di dalam saku celana jeansnya.
📞 "Where are you, dear?" tanya seseorang di sebrang sana.
📞 "Di rumah."
📞 "Bisakah kita bertemu? I really miss you."
📞 "No! I'm tired." balas Vincenzo Squire yang langsung melemparkan ponselnya di atas sofa.
"Anda mengabaikan mereka?"
"Yah, aku cukup lelah untuk menemani mereka." balas Vincenzo Squire.
"Baiklah, sebaiknya Anda beristirahat." balas Mozha Fillipo cukup lega, sebab tak harus melihat Vincenzo Squire menghabiskan malam di klub lagi malam ini.
"Hm," angguk Vincenzo Squire. "Oh iya Mozha, apa kau sudah menyiapkan guru privat untuk Clementi?" tanya Vincenzo Squire sebelum melangkah.
"Guru Privat?"
"Yah,"
"Tuan muda. Saran saya, kenapa nona muda tidak bersekolah saja... "
"Tidak! Aku tidak akan membiarkannya untuk keluar."
"Apa Anda benar benar akan mengurungnya?" tanya Mozha Fillipo.
"Aku tidak mengurungnya, aku hanya memberikan batasan. Apa itu salah?"
"Tentu saja itu salah,"
"Di mana letak kesalahannya?" tanya Vincenzo Squire yang membuat Mozha Fillipo kehabisan kata kata. Berdebat dengan Vincenzo Squire tak akan membuatnya berakhir dengan kemenangan. Dan ia sudah bisa menebak itu.
"Membiarkan nona muda kesekolah bukan berarti Anda memberinya kebebasan. Anda bisa membatasinya dengan segala peraturan yang harus di patuhi, bukan mengurungnya di dalam rumah." balas Mozha Fillipo yang membuat Vincenzo Squire berfikir sejenak. Mungkin Mozha Fillipo benar, ia hanya perlu memberikan Elleanor Allmora beberapa peraturan yang harus di patuhi.
"Baiklah, dia boleh bersekolah. Aku yang mengantar dan menjemputnya. Aku harap kau tidak menganggap itu hal berlebihan lagi."
"Yah, itu lebih baik tuan." angguk Mozha Fillipo ketika merasa jika kali ini pemikiran dan ide pria itu lebih masuk akal.
"Baiklah, sebaiknya kau urus semuanya Mozha."
"Iya tuan," Angguk Mozha Fillipo sedikit lega.
Sedang Vincenzo Squire kembali melangkah menuju lantai dua, membuka pintu kamar untuk kembali memeriksa gadis itu, sebelum kembali ke kamarnya sendiri saat melihat Elleanor Allmora yang masih pulas.
* * * *
Suasana yang tak biasa bagi Elleanor Allmora saat membuka mata di pagi hari. Pepohonan hijau dan suara kicauan burung menyambutnya, lengkap dengan udara sejuk yang seketika menyapa dari arah jendela yang tak tertutup dengan rapat.
"Apa aku benar benar berada di rumah pria kasar itu? Kenapa aku sangat gelisah, aku tak menyukainya." keluh elleanor Allmora menarik nafas berat.
Bahkan masih terlihat enggan untuk beranjak dari dalam selimut tebalnya, apalagi harus melihat pria itu. Seandainya tak masalah, ia lebih memilih untuk berada di dalam kamar seharian dan tak keluar kamar, dibandingkan harus melihat dan berbicara kepada Vinzenco Squire. Namun sepertinya itu tak mungkin, entah apa yang akan terjadi dengan Reberta dan Celio jika ia benar benar melakukan itu. ingatan ketika Vinzenco Squire menampar Reberta bahkan masih sangat segar di inagatannya hingga saat ini, dan ia tak mungkin melakukan kesalahan yang akan membuat Reberta dan Celio harus membayarnya.
"Ahh... aku benar benar tidak menyukai ini," gumam Elleanor Allmora memejam untuk mengatur perasaannya sebelum akhirnya menyadari sesuatu.
"Wait, kenapa aku bisa berada di sini? Aku tak ingat jika berjalan kekamr ini seorang diri, bukankah aku tidur di perjalanan? Tapi... kenapa aku sudah di sini?" ucap Elleanor Almorra yang langsung mengedarkan pandangan di setiap sudut kamar yang terlihat begitu luas, mewah, dan begitu elegan dengan cat yang berwarna pastel lengkap dengan perlengkapan makeup, asesoris yang berupa jam tangan, cincin, gelang, dan kalung yang Elleanor Allmora yakini tak memiliki harga yang murah.Bahkan tak hanya itu, ia juga bisa melihat dua lemari terpisah berbahan kaca yang didalamnya tersusun rapi tas dan juga sepatu berbagai macam model. Dan satu lemari besar yang khusus menyimpan berbagai macam outfit dan mantel untuk musim dingin.
"Ini terlalu berlebihan," gumam Elleano Allmora menyibakkan selimut yang sejak tadi membungkus tubuhnya. "A-pa.. siapa yang... di mana bajuku?"
Elleanor Allmora panik seketika, saat melihat piyama yang ia kenakan saat ini, "Semoga Reberta yang melakukan ini, aku rasa Reberta cukup kuat untuk menggendongku." sambungnya yang langsung beranjak dari pembaringan dan duduk di pinggiran tempat tidurnya.
Guk guk guk
Suara gonggongan Buddy yang tiba tiba membuyarkan lamunan Elleanor Allmora yang bahkan langsung beranjak menuju kearah balkon, bahkan hanya Buddy satu satunya yang bisa membuatnya bersemangat dengan senyum yang terulas di bibirnya ketika melihat Buddy yang tengah berputar saat seekor kupu kupu berterbangan di punggungnya.
"Anjing yang menggemaskan," gumam Elleanor Allmora yang sempat tertegun dengan perasaan kagum saat melihat suasana yang begitu indah dan tenang dihadapannya, sebuah hutan pinus yang sama seperti di Supai, rerumputan hijau,dan berbagai jenis bunga, ia juga bahkan bisa melihat danau di sana, meski tak sebesar di Hapasuvai.
"Buddy..." panggil seseorang, seketika membuyarkan lamunan Elleanor Allmora yang langsung mengalihkan pandangannya ke arah suara bariton di sana, bahkan ekspresi Elleanor Allmora seketika berubah saat melihat penampakan Vinzenco Squire yang tak seperti biasa.
"Tidak sopan," gumam Elleanor Allmora saat melihat Vinzenco Squire yang bertelanjang dada, dan hanya menggunakan celana pendek jenis new balance printed impact run yang membuatnya nampak terlihat sexy, di tambah dengan tubuh sempurnah yang dipenuhi otot dan keringat. Dan terlihat jelas jika pria itu baru saja berolah raga.
Hingga di detik berikutnya, Elleanor Allmora nampak begitu terkejut ketika pandanga mata mereka saling beradu. Belum sempat melangkahkan kaki untuk pergi, Vinzenco Squire bahkan sudah melihatnya terlebih dulu. Sungguh satu hal yang membuat Elleanor Allmora seketika gugup, dengan kedua kaki yang tiba tiba kaku.
Waraslah Azurri, kau bisa pergi sekarang.
Elleanor Allmora kebingungan.
Tatapan tajam Vinzenco Squire tiba tiba membuat gadis itu tak berkutik, seolah pria itu memiliki sebuah kekuatan yang membuatnya tak bisa bergerak untuk menghindar. Hingga suara gongongan Buddy mengalihkan pandangan Vinzenco Squire bersamaan dengan Elleanor Allmora yang langsung berlari meninggalkan balkon, hingga membut pria itu sedikit terkejut, sebab tak melihat bayangan gadis itu lagi disana yang bahkan dalam hitungan detik saja.
"Di mana gadis itu?" tanya Vinzenco Squire kepada Buddy.
GUK GUK GUK
"Yah kau benar, dia sedang berusaha untuk menghindar. Memangnya apa yang bisa kau lakukan?" balas Vinzenco Squire beranjak dari tempatnya berdiri sekarang.
Sedang Elleanor Allmora masih duduk di pinggiran tempat tidurnya sambil mengatur perasannya yang sempat tak karuan, bahkan kejadian saat ini kembali mengingatkannya pada peristiwa beberapa tahun lalu, di mana saat pertama kali Vinzenco Squire terlihat di pinggiran danau, mentapnya yang tengah berdiri di atas balkon dengan perasaan bahagia, meski berakhir mengerikan. Dan di situlah awal kebencian Elleanor Allmora.
TOK TOK TOK
Suara ketukan pintu yang lagi lagi mengejutkan Elleanor Allmora, dan entah sudah berapa kali ia tekejut pagi ini. Hingga di detik kemudian, pintu kamar terbuka dan menampakkan Reberta di sana dengan senyum manis seperti biasa, meski bekas memar masih menghiasi wajahnya, sungguh membuat Elleanor Allmora kembali bersedih.
"Good morning dear," sapa Reberta saat sudah duduk di samping Elleanor Almorra yang bahkan langsung memeluknya dengan erat. "Apa tidurmu nyenyak?" tanya reberta mengusap punggung Elleanor Almorra dengan lembut.
"Hmm, cukup nyenyak." jawab Elleanor Almorra mengangguk pelan.
"Ahh syukurlah, aku mencemaskanmu sayang,"
"Sungguh?"
"Tentu saja, aku cemas, kau terus menangis saat di Supai, dan saat bersama tuan muda, aku bahkan khawatir, takut jika kalian akan berdebat lagi saat diperjalanan."
"Aku tak mungkin melakukan sesuatu yang bisa membuatmu dan Celio terseret dalam bahaya lagi Reberta, aku berjanji." balas Elleanor Allmora mempererat pelukannya.
"Apa kau akan baik baik saja dengan itu?" tanya Reberta yang cukup tau dengan karakter Elleanor Allmora.
* * * * *
Bersambung...