Mendengar sebuah kabar yang sejatinya sama seperti perasaan dihujam tajam membuat Salsa benar-benar gelisah.
Di dalam ruangan ada sosok perempuan yang tentunya masih mendapatkan pemeriksaan.
Salsa yang sama sekali tidak tahu harus melakukan apa di ruang tunggu malah membuatkan menangis.
"Sudah kamu jangan sedih terus dong, aku tidak bisa lihat perempuan menangis begini."
"Salsa benar-benar bingung harus bagaimana lagi? Terus bagaimana mengenai pembiaya rumah sakit, pasti mahalkan kak?"
"Iya sih, tapi kamu harus sabar. Sekarang aku carikan makan ya buat kamu?"
"Tidak perlu kak, tidak usah repot-repot. Salsa sudah bisa sendiri kok dan lagian juga ini ada sedikit uang buat ganti uang kakak."
"Sudah kamu jangan begitu, Fajar iklhas kok bantuin. Sebentar ya?"
Perempuan lugu itu pun telah memilih untuk berdiam dan terus berdiam.
Di ruangan tunggu dia sangat kebingungan akan siapa yang menanggung ini.
Bahkan juga diantaranya Salsa yang tengah berdiam malah melamun sangat jauh.
"Apa sebaiknya tabunganku dipakai dulu ya? Oh Tuhan, aku benar-benar bingung sekarang. Aku sama sekali tidak tahu harus gimana?"
Fajar sosok laki-laki yang membantunya pun datang kembali dan memberikan sebungkus makanan maupun sebotol minuman.
Semuanya ditolak karena sebuah alasan tidak nafsu, tetapi hati kecilnya pun juga mengarahkan tak mengenal orang tersebut dan cukup begitu takut.
"Ini ambil makanannya, ya Fajar tahu kalau kamu pasti belum makan."
"Salsa sama sekali tidak lapar, bahkan juga Salsa tidak nafsu untuk makan."
"Jangan begitu dong, kalau kamu sakit yang ada nanti itu ibunda kamu malah sedih. Kalau sedih, apa kamu tega membiarkan begitu saja?"
Jawaban hanya menggeleng dan mau tidak mau menerima makanan maupun juga minuman.
Sesuap maupun juga beberapa suapan telah masuk ke dalam mulut.
Fajar telah meminta kepada Salsa untuk menghabiskan makanan dan akhirnya mau juga.
"Oh iya, ini aku ada sedikit uang ya enggak banyak cuman ya bisa bantu kamu."
"Enggak, enggak usah kak. Salsa ada kok, sudah enggak usah."
Perempuan itu menolak pemberian uang, tetapi dia tidak menyangka ketika Fajar pergi dan hendak membuang sampah ada sesuatu yang mengganjal di plastik.
"Apa ini?"
Dengan mencoba memastikan akan apa isinya telah membuat ia benar-benar terkejut.
Uang yang tergulung dan terikat dengan karet gelang itu membuat Salsa gemetaran.
Dia belum pernah memegang uang segitu banyaknya, dihitung dengan sejumlah satu juta.
"Kenapa kak Fajar melakukan ini? Padahal aku sama sekali tidak mengenalnya, ya memang hanya sekali saja. Tapi, bagaimana aku mengembalikan uang ini? Apa aku harus ke kedai itu lagi ya? Iya, lebih baik aku ke sana dan kembalikan uang ini."
Perempuan itu sama sekali tidak mau menerima uang dengan cara yang dirasa cukup membuatnya tidak enak.
Dengan menggunakan ojek untuk mengantar ke kedai di mana Salsa beremu Fajar membuat dia menunggu cukup lama.
Lima belas menit pun berlalu, sosok laki-laki penolong itu telah turun dari motor dan mempertanyakan akan apa yang membuat Salsa kembali menemui.
"Kamu, kenapa kamu ke sini? Apa ada sesuatu lagi bisa aku bantu?"
"Tidak ada kak, tidak ada. Saya hanya memberikan uang ini, uang kakak kan? Maaf saya tidak bisa menerimanya."
"Iya, memang. Tapi, itu uang buat kamu. Ya sepantasnya buat kamu."
Perempuan itu terus saja menolak, tetapi datangnya penolakkan sejumlah uang dia malah meminta pekerjaan.
"Maaf kak saya sama sekali tidak bisa menerima uang ini, saya diajarkan ibunda untuk bekerja keras jika ingin mendapatkan uang. Tapi, bukan dengan cara seperti ini."
"Lalu bagaimana? Aku bingung untuk membantu kamu, tapi sebenarnya aku benar-benar ingin membantu."
"Kakak ada lowongan pekerjaan? Ya atau apalah, ya Salsa lebih baik bekerja keras daripada mendapatkan uang dengan dikasihani."
"Ada sih, tapi bagian bersih-bersih di belakang rumah bantuin bibi."
"Tidak apa-apa, kapan Salsa bekerja?"
"Hari ini juga boleh, ayo silakan masuk. Tenang saja, di dalam ada bibi kok jadi kamu tidak usah khawatir aku apa-apakan kamu."
Menundukkan kepala hingga setengah badan membuat Salsa jauh lebih semangat.
Gadis lugu yang begitu ingin membiayai semuanya telah memilih bekerja keras.
Dirinya yang juga mendapat sebuah kepercayaan untuk mengelola rumah tentu semakin ingin memberikan sebuah ketulusan kepada Fajar.
"Ini rumahku, ya memang sih sederhana. Tapi, ini rumah diberikan untuk aku. Ya anggap saja rumah ini adalah rumah kamu juga, kamu bisa bantu kelola rumah ini. Aku percaya dengan kamu."
"Terima kasih, terima kasih atas kepercayaan kakak. Tapi, ngomong-ngomong apa yang harus saya kerjakan? Saya janji akan melakukan semuanya dengan tulus hati."
"Sekarang yang utama adalah kamu ganti baju dulu, ya ada baju sih di kamar adik aku. Tunggu aku ambilkan."
Matanya benar-benar takjub dengan rumah yang cukup mewah itu.
Salsa yang baru kali pertama menginjak rumah mewah dan bekerja di tempat orang kaya tentu dianggap seperti sebuah mimpi.
Pembantu rumah tangga Fajar pun mengejutkannya, Salsa yang sedikit terhentak tubuhnya malah membuatkan pembantu tersebut latah.
"E e kodok, e kodok. Astaga, maaf non. Maaf."
"Eh, maaf bu. Maaf kalau Salsa lancang."
"Aduh jangan panggil, bu. Saya ini pembantu, non. Enggak pantas kalau saya dipanggil ibu."
"Oh tidak ada apa-apa, bu. Lagian juga saya juga bukan nona, panggil saya Salsa saja."
"Oh mbak Salsa, iya-iya eh iya. Mbak Salsa itu temannya mas Fajar kan, apa jangan-jangan pacarnya mas Fajar?"
"Saya temannya kak Fajar, bu. He he."
Fajar pun datang dengan memberikan baju yang cukup cantik.
Pembantu rumah tangganya sangat takjub akan apa yang dilakukan oleh Fajar.
"Buset mas Fajar, bajunya cantik banget. Buat mbak Salsa ya?"
"Bibi sudah kenal?"
"Iya dong, bibi juga terkenal jadi ya banyak yang suka sama bibi. Tapi, ngomong-ngomong pacarnya cantik."
"Apaan sih, bi? Udah sana bantu antar dulu Salsa ganti."
Dengan hati penuh akan malu membuat Salsa sama sekali merasa tidak pantas mengenakan baju secantik itu.
Salsa yang menghargai pinjaman baju itu pun juga sudah berjanji ingin mencucinya dengan sangat bersih ketika sudah selesai memakai.
Namun datangnya pembantu rumah tangga Fajar justru sebaliknya.
"Mbak Salsa cantik banget pakai baju ini, mana pas lagi."
"Ah ibu, ibu jangan berlebihan dengan ini. Saya sama sekali tidak cocok menggunakan ini, ya jika mengenai cantik ya jelas yang memiliki baju ini jauh lebih cantik."
"Ya memang sih dan bibi rasa mas Fajar itu kalau berikan sesuatu itu pasti bukan semata diberi saja, tetapi yang ada jauh dari itu mbak. Mbak percaya enggak kalau mas Fajar itu?"