Tubuh Salsa cukup begitu demam tentunya mengerahkan sebuah rindu akan ibunda.
Salsa juga yang berada di rumah Fajar pun diperlakukan cukup baik.
"Sudah, bu. Salsa sama sekali tidak bisa makan banyak, Salsa sudah kenyang."
"Aduh, mbak. Sekali lagi ya? Nanti, den Fajar marah ke saya."
Salsa terus saja menggelengkan kepala dan bahkan juga diantaranya merasa tidak nyaman.
Dia yang mencoba berbaring dan datangnya Fajar memastikan apakah ia sudah makan atau belum.
Namun terlepas dari itu, laki-laki tersebut juga mengarahkan untuk berbicara penting yang lain.
"Gimana, apa dia sudah makan?"
"Sudah, den. Tapi, bibi rasa kalau non Salsa ini kelelahan juga. Gimana orang tadi, den?"
"Orang itu enggak ada, tapi itu enggak penting. Sekarang yang lebih penting adalah bibi kasih ini obat ke dia dan pastikan malam ini dia sembuh, kalau besok belum ada perubahan besok kita bawa ke rumah sakit."
"Baik, den."
Pembantu itu pun memastikan segala perintah yang ada berjalan.
Sedangkan Salsa yang berada di samping pembantu merasa dia dekat dengan sang bunda.
"Bunda, jangan tinggalkan Salsa. Salsa enggak mau sendirian, Salsa mau ditemani sama bunda."
Diterpa akan ucapan itu tentu membawakan Salsa benar-benar memegangi tangan pembantu dengan cukup erat.
Fajar yang di luar memanggil pembantu sama sekali tidak bisa datang dan ketika ia kembali ternyata ada sebuah usaha.
"Maaf, den."
"Iya enggak papa, ya sudah saya bisa bikin teh sendiri. Sekarang bibi istirahat saja dengan dia, ya aku rasa dia memang rindu dengan sang ibunda."
Waktu pun berlalu, Salsa yang masih terbaring lemah itu melihat sekeliling tidak ada seseorang yang membangunkan.
Ini semua juga masih membuatkan bingung dan bahkan diantaranya memanggil maupun juga berusaha bangun.
"Bunda, bunda di mana?"
"Eh mbak Salsa sudah bangun, selamat pagi mbak. Sebentar saya buatkan sarapan dulu."
"Ibu siapa dan saya di mana?"
"Saya pembantunya mas Fajar dan mbak berada di rumahnya mas Fajar sekarang, sebentar saya ambilkan sarapan dulu."
Salsa yang berusaha bangun itu masih mengerahkan cukup lemas dan bahkan diantaranya juga memilihkan kembali terbaring.
Laki-laki yang berbaik hati itu pun datang memberikan sebuah usaha untuk membantu pemulihan.
"Gimana keadaan kamu, jika kamu masih demam ke rumah sakit sekarang ya?"
"Enggak usah kak, Salsa sudah baikkan ya cuman pusing saja sedikit."
"Ya sudah sekarang kamu istirahat saja di rumah."
"Tapi, katanya kakak mau ajak aku? Enggak papa kok kak, aku sudah baik-baik saja sekarang ini."
"Tidak, aku tidak bisa seperti itu. Sekarang kamu istirahat dan aku mau kerja dulu."
Bukan Salsa namanya jika dia berusaha semaksimal mungkin untuk bangun.
Namun datangnya usaha tersebut malah membuat dia menerima sebuah dekapan yang cukup erat.
Tatapan keduanya sama-sama tidak bisa berbohong, nafas Fajar juga tak menentu dan bahkan malah tiba-tiba mimisan keluar.
"Astaga, kak Fajar."
"Sudah bukan apa kok."
"Tapi, kakak mimisan."
Salsa yang selalu membawa sapu tangan berusaha membersihkan dan tangan Fajar yang menumpang di tangan milik perempuan pun mengucapkan banyak terima kasih.
"Terima kasih ya? Sudah sekarang kamu harus istirahat, tapi ingat. Jangan lupa makan maupun juga minum obat."
"Iya, kak. Tapi, kakak benar baik-baik saja?"
"Iya aku baik-baik saja, sekarang aku berangkat kerja dulu."
Salsa sama sekali tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh Fajar.
Ia yang bangun dan berusaha menuju ke dapur malah dibuatkan ingin berusaha memasak.
Pembantu rumah tangga yang sedang mencari sesuatu di luar dan Salsa yang mencoba membuka mesin dingin itu melihat ada beberapa sayur maupun juga daging mentah.
Yang berada dalam pikirannya saat ini adalah memberikan balas budi terbaik untuk sang penolong.
"Aku yakin pasti kak Fajar belum pernah merasakan tumis kangkung, ini juga ada udang. Ya lebih baik aku buatkan makanan saja buat dia, ya biar bisa dimakan buat nanti kalau sudah pulang. Hem, pasti deh bakalan suka."
Salsa pun memulai memasak dan ditengah-tengah apa yang ada pembantu telah pulang.
Melihat sebuah usaha yang cukup luar biasa itu tentu menjadikan Salsa justru ingin terlihat biasa-biasa saja.
"Loh, mbak Salsa ngapain? Ya ampun, mbak Salsa memasak? Astaga, memang ya calonnya nanti pasti bakalan senang kalau punya mbak yang pintar masak begini."
"Apaan sih, bi? Aku itu sama sekali tidak melakukan apa-apa, ya aku hanya ingin membalaskan kebaikan kak Fajar saja. Oh ya, mas Fajar kira-kira sudah pernah makan tumis kangkung belum ya?"
"Emma kayaknya dalam sejarah bibi kerja belum pernah sih, mbak. Mbak mau bikin itu? Ya biar bibi bantu."
Mereka berdua pun saling membantu untuk memberikan masakkan yang cukup enak.
Salsa yang mengharapkan ini tentu dibuat senyum-senyum sendiri.
Hingga tiba dimana masakkan yang sebentar lagi selesai malah membuatkan Salsa tiba saja mengeluh dalam hati jika pusing itu datang.
"Aw, panas!"
Lamunan yang secara tidak sengaja tangannya terkena wajan beruntung tak mengalami luka bakar serius.
"Mbak, kalau mbak Salsa belum sehat benar mending sekarang istirahat saja. Itu juga wajah mbak Salsa masih cukup pucatm sudah biarkan bibi saja yang melanjutkan."
"Enggak, aku enggak papa kok. Sudah ibu tenang saja, Salsa sudah terbisa kok begini."
"Jangan begitu, mbak. Enggak baik."
"Salsa mohon, bu. Kali ini saja, Salsa mau masakkin buat kak Fajar, ya kali ini saja."
"Ya sudah jika begitu, tapi kalau nanti merasa tidak enak langsung bilang sama bibi loh ya?"
"Iya, bu."
Semua pekerjaan telah diselesaikan bahkan diantaranya juga menyediakan di meja makan.
Jamuan makan siang sudah dipersiapkan dengan benar, tetapi semua yang ada tiba-tiba saja terdengar suara bel pintu berbunyi.
'Ting tong, ting tong, ting tong.'
"Itu pasti den Fajar sudah pulang, tapi enggak kayak biasanya deh den Fajar pulang secepat ini. Apa jangan-jangan yang ada itu aroma baunya masakkan mbak Salsa ini tercium sampai kantor den Fajar."
"Ah bibi bisa saja, ya mana mungkin kalau aromanya tercium sampai jauh. Ha ha ada-ada saja. Ya sudah biar Salsa saja yang membuka pintunya."
Tiba-tiba saja kepalanya cukup pusing dan bahkan diantara apa yang ada ingin menuju ke kamar terlebih dahulu untuk meminum obat.
Dia mencari obat yang selama ini mengurangi rasa sakit pada kepalanya, tetapi datangnya teringat jika baju yang dikenakan sudah ganti.
"Kenapa makin lama maki sakit ya kepala aku? Astaga, ke mana ini obat perda nyeri? Oh iya astaga, aku kan kemarin ganti baju dan ini baju yang diberikan sama kak Fajar."
'Ting tong, ting tong, ting tong.'