Alil tersenyum di depan laki-laki itu. Senyuman yang sangat menggetarkan bak iblis. Bengis dan kejam. Tubuh pria menggigil dan gemetar. Sorot mata itu tidak bisa menipu. Ia sudah bisa membayangkan apa yang akan Alil lakukan.
"Kalian terlalu baik padanya!" Alil menghantam perut pria itu dengan keras menggunakan tinjunya yang kuat. Pria itu terlempar jauh dan kepalanya terbentur ke lantai. Suaranya menggema membuat orang yang mendengarnya merinding ketakutan.
"Hei. Jangan pingsan dulu. Ini masih awal. Aku akan berikan hadiah spesial," ucap Alil dengan senyum kaku di wajahnya. Ia bicara pelan namun membuat semua orang yang mendengarnya bergidik. Ia berjalan mendekati pria itu. Darah keluar dari balik lakban yang menutupi mulutnya.
Alil kembali menarik kerah laki-laki itu dan menghajar wajahnya beberapa kali hingga wajah pria itu berubah keunguan. Pria itu berteriak meminta pengampunan namun ucapannya tidak jelas karena mulutnya di lakban.
Pria itu merintih, menangis dan ketakutan melihat Alil yang dengan santai menghajarnya hingga terlempar beberapa kali.
"Neo bawakan itu!" Alil meminta sebuah besi yang tengah dipanaskan di dalam drum kosong.
Neo mengambil besi panas yang berwarna merah seperti lava gunung berapi.
"Warna yang indah. Ini sangat cocok denganmu bukan?" tanya Alil dengan santai sambil menyodorkan besi panas tepat di depan wajah pria itu.
"Hei. Lepaskan penutup mulutnya," kata Alil memberikan perintah.
Neo mendekat dan mencabut lakban di mulut pria itu dengan kasar. Bibir pria itu bengkak dan berdarah. Darah terus mengalir dari dalam mulutnya.
"Lihat! Bukankah sangat indah? Jangan takut. Kau akan segera merasakan kenikmatan." Alil menempelkan besi panas itu tepat di pipi sebelah kanan pria itu.
Pria berteriak kesakitan. Jeritannya sangat menyayat hati dan membuat iba, tapi Alil tidak peduli. Ia terus menekan besi panas itu hingga pipi pria itu menghasilkan luka bakar yang begitu besar dari ujung mulut sebelah kanan hingga di bawah matanya.
"Tolong ampuni saya. Maafkan saya." Pria itu memohon sambil menangis menahan kesakitan.
"Hah? Maaf katamu? Kau pikir semudah itu aku memaafkan orang sepertimu? Kau tidak ingat kejahatan yang kau lakukan padaku? Kau sampah masyarakat. Bukankah sampah sepertimu harusnya dibakar? Apa aku salah?" tanya Alil dengan tertawa terbahak-bahak bagaikan seorang psikopat yang merasa senang menyiksa korbannya.
Semua orang di ruangan itu ikut tertawa dengan Alil tak terkecuali Bihan yang begitu tenang menyaksikan Alil menyiksa pria itu dengan brutal.
"Bagaimana? Menyenangkan bukan? Ini akibat dari perbuatanmu. Kau merasa tidak berdaya? Tentu saja itu juga kurasakan. Saat aku tak tau apa-apa dan hampir masuk jebakan bos sialanmu itu."
Alil terus menyiksa pria itu dengan besi panas. Ia meletakkan besi panas itu di pipi kiri dan kanan lalu ke tangan dan paha. Pria itu semakin tak berdaya. Pria itu kehilangan kesadaran. Hal itu tak menghentikan Alil berbuat gila.
"Neo, tutup kepalanya dengan kain. Lakukan itu ketika dia sadar." Alil menjauh dari pria yang tengah tergeletak lemah dengan ikatan yang telah mengendur.
Neo melakukan perintah Alil. Pria bertubuh tinggi dan kekar itu merupakan anak buah Alil yang setia. Neo juga ketua geng yang sangat ditakuti oleh orang-orang di pasar gelap itu. Neo membawa sebuah kain berwarna hitam dan menutupi wajah pria itu hingga kesulitan bernafas. Pria itu membawa seember air dan menyiramnya pada pria itu. Pria itu bangun dan berusaha melepaskan diri. Ia kesulitan bernapas. Ia berteriak meminta dilepaskan.
"Tolong….le-pas-kan. Am-pu-ni aku," ucap pria itu memohon belas kasihan. Tak ada yang peduli. Semua orang malah senang karena pria itu layak mendapatkannya.
"Wah..wah. Kau sangat menyukainya ?" Alil tersenyum sinis. Bihan membawa sebuah kursi dan mempersilahkan Alil duduk di depan pria itu. Alil tersenyum puas melihat penderitaan pria itu. Alil sangat antusias menonton penyiksaan pria itu. Seru dan mendebarkan.
Alil mengangkat tangannya ke atas. Memberi tanda pada Neo untuk menghentikan penyiksaan. Pria itu bagai ikan yang keluar dari air. Nafasnya terengah-engah. Mulutnya menganga. Ia mencoba mengambil napas.
"Hei tenang. Sekarang kau bisa istirahat. Aku tidak akan menganiaya kamu. Pelajaran hari ini sudah cukup."
Alil tersenyum mengejek. Pria itu mulai tenang karena siksaannya sudah berakhir.
"Apa siksaan tadi tidak cukup? Apa kau akan mengatakan dalang dibalik semua ini?" Alil kembali menanyai pria itu. Siapa yang telah memerintahkan pria itu untuk memasukkan obat perangsang dalam minumannya.
"Ss-saya tidak tahu. Saya mohon lepaskan saya." Pria itu kembali memohon pada Alil.
"Jangan pura-pura!" Alil membentak pria itu. Pria itu menggigil ketakutan.
"S-saya hanya pesuruh. Saya tidak tau namanya.."
"Kalau begitu bagaimana ciri-cirinya?" tanya Alil sekali lagi. Ia melirik anak buahnya agar membuka telinganya.
"Dia sudah tua. Dia bilang akan memberi pelajaran pada saingannya. Selebihnya saya benar-benar tidak tahu. Saya berkata jujur." Pria itu mengatakannya dengan tergagap.
"Cih, gak berguna." Alil mendengus kesal mendengar jawaban laki-laki itu yang tidak membantu sama sekali.
"Sudah sejauh ini tapi ternyata tak berguna. Dasar sampah."
"Lihat gumpalan daging di antara kakimu ini. Kau pasti sudah tidak membutuhkannya kan?" Pria itu menggelengkan kepalanya ketakutan. Ia tahu maksud gumpalan daging itu. Alil membidik 'adik kecilnya'. Matanya melotot ketakutan mendengar perkataan Alil.
"Tolong ampuni saya." Pria itu memohon dan menangis sekeras-kerasnya namun tak membuat Alil kasihan malah membuatnya semakin kesal.
"Lakukan!"
Neo dan temannya mendekati pria itu. Satu orang menarik celananya dengan kasar. Seorang lagi membawa pisau besar, seperti pisau yang sering digunakan penjual daging.
Tanpa obat bius, Neo langsung mengayunkan pisau itu. Dengan brutal memotong alat kelamin pria itu hingga tak bersisa.
"Aaaaaaaaaa....." Teriak pria itu menyayat hati.
Darah berceceran. Mereka semua terlihat senang melihat adegan itu. Pria yang telah kehilangan kejantanan itu pingsan dan tak sadarkan diri. Kondisinya sangat mengenaskan.
Alil sama sekali tak merasa jijik atau ngeri. Ia hanya melihatnya tanpa ekspresi. Tak ada kata kasihan dalam hidupnya jika menyangkut orang yang telah menyakitinya.
Alil berdiri kemudian berlalu diikuti oleh Bihan. Semua orang di ruangan itu tengah sibuk membersihkan darah dan segala kekacauan di ruangan itu.
"Terima kasih. Sekarang kau boleh bersenang-senang. Bawa dia ke klinik terdekat untuk mendapatkan pengobatan. Kejadian hari ini akan menjadi pelajaran berharga bagi dia," ucap Alil menepuk pundak Neo. Alil melirik Bihan.
Bihan mendekati Neo dan memberikan setumpuk uang dengan amplop coklat. Pria itu dengan senang hati menerimanya dan Alil pun pergi dengan Bihan.
"Terima kasih bos." Neo tersenyum sumringah. Ia mencium uang yang baru diterimanya dari Bihan.
Alil hanya mengangguk lalu meninggalkan tempat itu diikuti oleh Bihan.