"Bihan mengatakan padaku, aku harus bisa menjaga diriku sendiri. Kamu tidak mungkin selalu bersamaku."
Alil mengangguk,"benar sekali. Aku yang memerintahkan Bihan untuk mengajarimu latihan beladiri."
"Bihan juga bilang begitu." Aisha berhenti menggosok punggung Alil. "Tapi untuk apa? Latihannya sangat berat"
"Untuk dirimu sendiri. Jika Daffa tahu kamu masih hidup. Dia tidak akan tinggal diam. Danu dan keluarganya akan berusaha membunuh kamu lagi. Kamu harus bisa menjaga diri."
"Maksudmu?"
"Aku tidak selalu bisa disampingmu. Kamu harus bisa beladiri agar tidak disakiti lagi."
Aisha mengangguk, dalam hati ia membenarkan perkataan Alil. Bagaimana jika ia pergi sendiri dan bertemu Daffa? Pria itu akan mencoba membunuhnya.
Aisha mendekat, merapatkan tubuhnya ke punggung Alil. Ia bergerak perlahan. Alil menegakkan punggungnya. Pria itu menjerit. Napasnya kembali memburu, merasakan kedua payudara Aisha di punggungnya.
"Kamu gugup sayang?" Aisha berbisik di telinga Alil bahkan menjilatnya.
Alil membalikkan tubuh Aisha. Mereka berhadapan. Aisha melepaskan bra di depan Alil. Pria itu membelalak. Terkejut dan tidak menduga tindakan Aisha.
"Aku milikmu, Tuan."
"Jangan panggil aku Tuan, Aisha," kata Alil perlahan sambil menyibak air yang membasahi rambut Aisha.
"Lalu, aku harus panggil apa?"
"Sayang!"
"Hah?" Aisha tertawa. "Sayang?"
Alil mengangguk,"apa sulit memanggilku 'sayang'? Ingat aku suamimu. Kamu harus tunduk pada perintah suami selama perintah itu tidak melanggar syariat."
"Tidak." Aisha menggeleng. "Hanya belum terbiasa."
Alil memegang dagu Aisha lembut, menatap dalam mata Aisha,"Kamu istriku. Aku ingin memakanmu."
"Iya, Tuan!" Aisha menahan bibirnya. "Iya, Sayang!"
Wajah Alil memerah lalu tertawa,"Nah, begitu. Tidak ada panggilan Tuan. Aku tidak mau mendengarnya."
Tangan Alil yang kekar menyentuh wajah Aisha yang cantik. Jari-jarinya mengusap alis Aisha. Ia melihat Aisha memejamkan matanya, tampak menikmati setiap sentuhan yang ia berikan.
Tangan Alil turun menyentuh pipi pengantinnya, menuju bibir tipis yang tampak menggoda, diusapnya sudut bibir itu perlahan. Naluri Alil semakin besar ketika melihat ekspresi Aisha. Bibir itu sedikit terbuka dan mengikuti usapan jari Alil.
Alil maju perlahan. Gerakannya membuat air yang ada di bathtub bergelombang. Aisha menjilat bibirnya untuk menggoda Alil. Pria itu mengartikan sebuah undangan. Alil berhenti menyentuh Aisha. Ia merasakan sentuhan di kejantanannya. Tubuhnya meremang, darahnya bergejolak akibat sentuhan Aisha. Perlahan tapi pasti, Alil merasakan kejantanannya mengeras.
Usapan lembut tangan Aisha pada pahanya membuat Alil tak mampu menahan diri. Ini harus dituntaskan. Jika tidak Alil akan menderita sepanjang malam. Ia akan sakit kepala dan tidak mood bekerja.
Alil keluar dari bath up dan menarik lengan Aisha.
"Kenapa?"
"Psst!' perintah Alil sambil menempelkan telunjuk di bibir Aisha.
Dengan sekali gerakan ia menarik Aisha lalu menatap tubuh indah bak dewi dari khayangan yang tampak basah dan menetesi lantai kamar mandi. Jakunnya bergerak naik turun. Ia tak tahan lagi ingin segera bercinta.
Alil menarik Aisha menuju shower. Alil menyalakan shower dan mengaturnya, hanya air hangat yang keluar dari sana. Aisha berdiri di hadapannya dengan tubuh setengah telanjang. Tapi, Alil tahu kedua bukit itu sedang menunggu sentuhannya.
Alil mendorong tubuh Aisha hingga membentur dinding. Ia menciumi bibir Aisha yang sejak tadi menggodanya. Tangannya meraba-raba punggung Aisha.
Aisha pasrah ketika Alil menarik putingnya. Alil mengangkat tangan Aisha ke atas kepala dan menguncinya. Aisha tak berkutik dan pasrah. Ia merasakan tangan kanan Alil meremas salah satu payudaranya. Bibirnya dibungkam dengan ciuman panas.
Darah Aisha menggelegak. Ia heran dengan reaksi tubuhnya sendiri. Sentuhan Alil sangat berbeda dengan sentuhan Daffa. Fuck! Aisha mengumpat. Kenapa tiba-tiba memikirkan Daffa dan membandingkannya dengan Alil?
Lumatan Alil semakin dalam. Tanpa sadar Aisha membalas ciuman Alil. Alil menggigit bibirnya. Aisha menjerit kecil. Aisha menahan nafasnya ketika jemari Alil mencubit putingnya. Ia mendesah, tak tahan lagi.
"Nikmati, sayangku." Alil berbisik di telinganya. Bisikan itu membuat Aisha merinding.
Aliran hangat Aisha rasakan memenuhi kewanitaannya. Ia terkejut. Ia berpikir akan trauma dengan sentuhan pria, ternyata tidak. Keinginan untuk dimasuki semakin mendesak. Aisha mengerang. Alil mengulum kedua payudaranya. Alil menggigit dengan lembut, bergantian.
Kecupan Alil semakin turun ke bawah, tangannya masih meremas-remas kedua payudara Aisha. Aisha merasakan bibir Alil di perutnya. Rasanya menggelitik, membuatnya menggelinjang. Aisha menegakkan punggungnya. Alil melepaskan celana dalam Aisha.
"Alil." Aisha mendesah ketika jemari Alil mengusap kewanitaannya dengan lembut.
"Ya, sayangku?" balas Alil. Nafasnya menerpa kewanitaan Aisha.
"Sentuh aku!" Aisha mengemis ingin disentuh, ia bergejolak tak kuasa ingin menikmati surga dunia. Ia tahu kewanitaannya sudah siap menerima Alil. Aisha tak tahan lagi.
"Alil!" Aisha mendesah.
"Kamu siap, Sayang? Aku tak ingin menyakitimu." tanya Alil lembut.
Aisha semakin terbang. Ia membandingkan perlakuan Alil dan Daffa. Pengkhianat itu tidak pernah menyentuhnya dengan lembut seperti Alil. Aisha kesal kenapa selalu teringat Daffa. Aisha ingin menikmati malam ini tanpa memikirkan Daffa.
"Aah …" Aisha mengerang ketika Alil memasukinya. Ia memeluk Alil.
"Argh…" Alil mendesah nikmat. Perlahan tapi pasti, ia memasuki Aisha. Pinggulnya bergoyang, menghentakkan kejantanannya.
Aisha menangis haru. Wajah Daffa melintas di pikirannya.
"Aku akan membunuhmu, Daffa."
BERHENTI...
Tiba-tiba Alil berhenti menggerakan tubuhnya yang tengah bergulat dengan milik Aisha. Kemudian menurunkan tubuh ramping wanita itu dari atas tubuhnya.
"Kenapa?" Tanya Aisha merasa bingung. Kini tubuhnya begitu panas dan hampir mencapai puncak namun malah berhenti begitu saja. Pikirannya melayang menginginkan sentuhan lebih pada miliknya.
"Aku lelah," ucap Alil sambil membersihkan tubuhnya yang proporsional. Ia mengusap setiap bagian tubuhnya dengan kasar. Ia kesal karena Aisha menyebut nama Daffa. Perempuan itu tidak bisa move on dari Daffa.
Jujur saja otak Alil masih setengah sadar. Ia ingin memuaskan hasratnya pada wanita yang kini tengah memandang bingung padanya. Disisi lain Alil membenci raut wajah Aisha kala bercinta dengannya. Alil kecewa. Ia tahu jika Aisha masih belum bisa melupakan Daffa meski pria itu berusaha membunuhnya.
"Alil!" Suaranya meninggi menggema dalam ruangan yang senyap. Tangannya mengepal kesal melihat sikap Alil yang kembali dingin. Aisha tidak suka diabaikan.
"Aku tidak mau jadi pelampiasanmu," jawabnya dengan datar.
"Jangan pernah menyebut nama pria lain ketika bersamaku. Aku tidak suka Aisha." Alil menekankan ucapannya.
Wanita itu tiba-tiba membisu. Ia menyadari meskipun hanya sepintas pikirannya melayang pada Daffa yang telah menghancurkannya, tapi ternyata hal itu sangat mempengaruhi Alil. Alil marah padanya.
"Maaf. Aku tidak sengaja," ucap Aisha lirih. Meskipun suaranya tak dapat didengar jelas oleh Alil yang tengah mengenakan handuk tapi setidaknya wanita itu merasa sedikit tenang.
"Biar aku bantu." Tubuh indahnya berjalan menghampiri Alil yang tengah meraih pakaian yang tertata rapi di tempat tidurnya.
Tangan Aisha mengambil pakaian Alil dengan lembut kemudian membantunya mengenakan pakaian. Ia ingin menebus kesalahannya pada Alil, meskipun tadi ia sempat dikuasai oleh nafsu. Keadaan jadi berbeda ketika menyebut nama Daffa. Aura Alil sangat menyeramkan ketika marah.