Tok! Tok! Tok!
Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Aisha. Pikirannya sejak tadi mengembara entah kemana, membayangkan apa jadinya hidupnya jika tidak bertemu dengan Alil dan Bihan. Dalam hati bersyukur masih diberi kesempatan untuk menikmati hidup sekali lagi meski dengan luka yang menganga.
"Aisha!"
Samar-samar terdengar suara dari balik pintu kamar yang tertutup rapat. Aisha menghembuskan napasnya. Ia sedang mempertimbangkan untuk tetap berpura-pura tidur atau membuka pintu.
Aisha membalikkan tubuhnya dan memeluk bantal. Air matanya keluar, mengingat anaknya. Seharusnya ia memeluk buah hatinya yang terpaksa gugur karena ulah suaminya, sebentar lagi akan berstatus mantan suami.
Tiba-tiba wajah Daffa yang sedang menyeringai berputar-putar kembali di ingatannya. Ia kembali mengingat peristiwa itu. Daffa memberikan obat penggugur kandungan melalui ciuman yang tak mungkin Aisha tolak.
Iya, karena Daffa adalah suaminya dan sebagai istri yang patuh, ia wajib memenuhi keinginan suaminya itu. Siapa sangka Daffa begitu kejam padanya. Hanya karena harta dan perempuan. Daffa membunuhnya dan calon anak mereka.
Napas Aisha terasa sesak. Perasaan kehilangan ternyata lebih menusuk dibandingkan pengkhianatan Daffa. Tanpa sadar, Aisha menggigit bibirnya, menahan emosi yang sudah berkobar.
"Perempuan itu harus mati!" Ambisi membalas dendam Aisha muncul. "Sebelum mati, dia harus lebih merasakan penderitaanku. Dia harus kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidupnya!"
"Aisha! Kamu sudah bangun?" Suara itu terdengar kembali dari balik pintu. Kali ini lebih jelas dibandingkan tadi.
Wajah Aisha mengeras,"Daffa yang harus kusingkirkan terlebih dulu." Bibir sexy tipisnya menyunggingkan senyum dendam.
"Daffa harus merasakan kesakitan yang aku rasakan. Pukulan dan tendangan dia akan aku balas lebih parah. Akan kupastikan kematiannya begitu menyakitkan sehingga Daffa akan mengemis padaku untuk membunuhnya."
Aisha mengangguk-anggukkan kepala. Ia merasa puas dengan rencana balas dendamnya."Bagaimana caranya aku membalas dendam?" Aisha bicara sendiri. Aisha tak punya apa-apa lagi.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu terdengar lagi. Kali ini lebih keras.
"Aisha? Kau tidak apa-apa?" Suara itu kini bertambah keras. Tersirat rasa khawatir dari bicaranya.
"Alil?" Aisha membalikkan tubuhnya memandang pintu yang tertutup. Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu memijakkan kakinya di lantai yang dingin. Aisha berjalan menuju pintu.
Aisha membuka pintu. Terlihat Alil tengah berdiri. Alil sangat tampan namun tidak memiliki ekspresi wajah. Datar seperti jalanan.
"Alil? Sudah pulang" tanya Aisha dengan gugup. Masih canggung bersama Alil apalagi mereka tinggal satu atap.
"Kamu sudah makan?"
Aisha menelan ludahnya. Sudah dua hari Aisha kehilangan selera makan. Apapun yang masuk ke mulutnya terasa pahit. Lambungnya bergejolak, memuntahkan semua makanannya.
"Aku tidak lapar." Aisha kembali masuk kamar. Alil ikut masuk.
Aisha menatap Alil yang kini berdiri di samping ranjangnya. Alil mengenakan kemeja slim fit, makin membentuk tubuh tegapnya. Kakinya yang jenjang, wajah bulat, mata berwarna hazel dan rahang yang kuat. Pesona Alil meluluhkan wanita.
"Bik Santi bilang kamu tidak mau makan. Apa benar?"
Aisha mengangguk.
"Kenapa?'
"Mual," jawab Aisha pendek.
"Kamu mau makan apa? Tinggal bilang sama chef di dapur."
Aisha terdiam, memang salahnya tidak mengatakan apa yang ingin dimakan.
"Aku meminta Bihan membelikan pasta paling enak di kota ini. Nanti kamu makan." Alil berkata dengan tegas. "Aku tidak mau kamu mati di rumahku. Kamu harus kuat. Membalas dendam butuh energi."
Aisha melirik Alil,"aku tidak akan mati sebelum membalaskan dendamku Alil!"
Alis Alil bergerak. Ia rupanya tertarik dengan kata-kata Aisha. "Maksudmu?" tanya Alil mendekati Aisha.
Aisha mencium parfum Alil yang begitu menggoda. "Kamu mau mendengarkan ceritaku?" tanya Aisha pelan. Ia tahu Alil bukan laki-laki yang senang mendengarkan kata-kata manis perempuan. Ia harus berhati-hati jika ingin mengutarakan sesuatu.
Alil mengangguk, "Geser sedikit. Biar aku duduk disamping kamu." Alil duduk di atas ranjang, bersebelahan dengan Aisha.
Aisha menceritakan seluruh kisahnya pada Alil. Bagaimana perlakuan Daffa dan keluarga tirinya. Sesekali Aisha berteriak untuk meluapkan emosinya. Matanya berapi-api menggambarkan dendam yang membara. Lalu pada satu titik, ia meneteskan air mata.
"Aku kehilangan calon anakku, Alil," jelas Aisha sambil mengelus perutnya yang rata. Air mata membanjiri pipinya yang mulus.
Alil memberikan sekotak tisu yang diambilnya dari nakas,"Apa yang ingin kamu lakukan?" tanyanya sambil mengusap rahangnya yang tampak kokoh dan tak berjenggot.
Aisha melebarkan bibirnya,"Balas dendam!" katanya tegas.
"Caranya?" Alil mencondongkan tubuhnya mendekati Aisha yang kini bersandar pada ranjang.
"Nikahi aku," ucap Aisha tanpa berkedip.
Alil tersentak,"Bagaimana mungkin aku menikahimu?" Dia tertawa."Kamu masih berstatus istri Daffa."
"Aku akan urus perceraian."
Alil terdiam, raut wajahnya menampakkan keheranan."Bagaimana? Apa rencanamu?"
"Bantu aku mengurusnya, Alil." Aisha menegakkan punggungnya."Aku masih bisa membatalkan pernikahanku, karena pernikahanku belum enam bulan." Aisha mendesah. Ia tampak ragu,"Tapi … ,"
"Tapi apa?" desak Alil.
"Aku tidak punya uang untuk membayar pengacara untuk mengurus perceraian. Kamu juga tahu semua aset yang aku miliki sudah dirampas Daffa. Pemiliknya Danu sekarang."
"Aku tidak bisa menikahimu jika masih berstatus istri orang." Alil mengusap rambutnya yang tertata rapi. "Aku tak mungkin merusak nama baikku di depan semua orang. Pernikahan kita berpotensi merusak bisnis yang kubangun selama ini."
"Maka dari itu," seru Aisha. "Aku bersedia menikahimu setelah perceraian itu selesai!"
Alil menatap Aisha tajam,"Aku tidak mungkin menikahimu!"
Kekecewaan terlihat dari wajah Aisha."Mengapa? Kau boleh mengajukan syarat apapun padaku, asal kau bantu aku membalaskan dendam."
Alil menggeleng,"aku tidak mencintaimu. Aku tidak mungkin menikah dengan perempuan yang tidak aku cintai. Aku menginginkan anak dengan istriku!"
Aisha terdiam. Ia berpikir sejenak.
"Kamu tidak perlu menikahiku selama itu. Kita hanya akan kawin kontrak. Setelah dendamku terbalaskan, kita akan bercerai," ucap Aisha begitu yakin.
Alil tersenyum sinis."Hanya demi balas dendam mau menikah denganku?"
Aisha mencibir,"Bukan. Demi calon bayiku. Dendam harus dibalas dengan tuntas atau aku akan mati penasaran!m."
Alil berdiri. Ia memandang Aisha, mencoba meyakinkan dirinya untuk membantu perempuan yang dipenuhi dendam.
Alil kembali menatap Aisha yang kini juga menatapnya,"Ah, mata itu sungguh kuat," guman Alil melihat mata biru milik Aisha.
"Baik."Alil mengeluarkan ponselnya. "Aku akan memerintahkan Karin untuk menelpon pengacara agar membantu perceraianmu. Aku juga akan mengabarkan berita ini pada Bihan agar menyebarkan desas-desus pernikahan kita ke publik setelah kamu bercerai."