Sudah jam pulang kerja, Zoya merapikan sapu dan alat pel di tempatnya, lalu ia mengambil tasnya di dalam loker, setelah itu ia langsung menaiki lift untuk turun ke lantai dasar.
Drrttt ... Drrttt ...
Ponsel milik Zoya bergetar, lalu ia menggapai ponsel yang ia simpan di dalam tasnya itu. Dhafin yang meneleponnya. Zoya langsung mengangkat panggilan dari kekasihnya itu.
[Hallo.]
[Sayang, kamu dimana? Aku udah nunggu di depan kantor kamu nih.]
[Iya, ini aku sedang berjalan keluar, tunggu ya.]
[Oke.]
Zoya menutup teleponnya, lalu ia melangkahkan kakinya keluar dari gedung kantornya.
"Hai!" Sapa Zoya dengan mengurai senyuman manisnya pada Dhafin, karena sudah kurang lebih satu minggu mereka tidak bertemu, hari ini mereka akan melepas rindu.
Saat Zoya sedang menaiki motor kekasihnya itu, mobil Narendra melewatinya, lalu ia melihat Zoya yang sedang naik ke atas kendaraan beroda dua itu.
'Zoya dibonceng sama siapa? Sepertinya itu bukan ayahnya.' Batin Narendra.
Zoya berpegangan pada jaket yang dipakai Dhafin, setelah itu, Dhafin langsung melajukan kendaraan roda duanya itu.
"Kita mau kemana nih?" Tanya Dhafin.
"Terserah kamu!"
Zoya menuruti saja kemanapun Dhafin akan mengajaknya, karena Zoya sudah sangat nyaman berada di dekatnya.
"Ke Rainbow Cafe aja ya?" Ucap Dhafin.
"Oke deh."
Dhafin pun mengendarai motornya menuju ke Rainbow cafe yang berada tak jauh dari kantor Zoya. Akhirnya Zoya dan Dhafin sudah sampai di Rainbow Cafe, Zoya memilih tempat duduk dan meja yang nyaman untuk ia dan sang kekasihnya itu.
Setelah itu, Zoya memesan makanan dan minuman untuk ia dan Dhafin.
"Gimana rasanya kerja?" Tanya Dhafin.
"Kerja itu capek ya!" Keluh Zoya.
"Aku juga belajar dan kuliah capek, jadi sama aja."
"Iya sih, karena aku baru pertama kali merasakan kerja, jadi belum terbiasa aja sama rasa capeknya." Jelas Zoya sambil tersenyum.
"Tapi kan senang, karena nanti kamu akan merasakan gajian."
"Gajian aku juga pasti langsung dipakai untuk kebutuhan sehari-hari keluarga."
"Iya, nggak apa-apa, kamu kan anak pertama, harus punya jiwa pejuang yang tinggi."
"Iya."
Zoya kembali mengingat tujuannya bekerja, ia memang ingin membantu perekonomian keluarga. Ia tidak ingin kedua orang tuanya susah payah mencari rejeki sedangkan ia sebagai anak pertama tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu mereka.
Makanan yang Zoya pesan sudah datang, lalu ia dan Dhafin memakan makanan itu. Zoya terlihat lapar sekali, Dhafin sampai tertawa melihat kekasihnya itu makan dengan lahapnya.
"Kamu mau nambah?" Tanya Dhafin saat melihat nasi pada piring Zoya sudah mau habis.
"Nggak!"
"Tenang aja nanti aku yang bayar kok, kalau kamu mau nambah nggak apa-apa."
"Nggak, Sayang. Aku udah kenyang kok." Zoya tetap menolak untuk menambah makanannya.
Setelah selesai makan, Zoya dan sang kekasih berfoto bersama, ia sudah lama tidak berfoto bersama Dhafin.
Drrttt ... Drrttt ...
Benda pipih milik Zoya yang ia letakkan di dalam tasnya bergetar, lalu Zoya mengambil benda pipih miliknya itu, ia melihat nama yang tertera di layar, ternyata Ibu Ratna yang meneleponnya.
[Hallo, Bu.]
[Zoya, kamu sedang berada dimana?]
[Aku lagi di Rainbow Cafe sama Dhafin, kenapa Bu?]
[Cepat ke rumah sakit, Ayah kecelakaan.]
[Ayah kecelakaan? Gimana kejadiannya Bu?]
[Ibu juga belum tau, tadi tiba-tiba ada yang menelepon Ibu, lalu memberitahukan bahwa Ayah kamu kecelakaan saat sedang mengendarai motor di jalan.]
[Astaghfirullahaladzim, lalu sekarang dirawat di rumah sakit mana?]
[Rumah sakit Bina Insan.]
[Yaudah, aku segera kesana. Ibu sendiri sudah sampai disana?]
[Belum, ibu baru mau kesana.]
[Oke, sampai bertemu di rumah sakit ya, Bu.]
Zoya menutup teleponnya, ia tertunduk lemas karena mendengar kabar bahwa sang ayah memgalami kecelakaan. Ia menangis, ia tak ingin terjadi apa-apa dengan sang ayah.
"Sayang, ayah kamu kenapa?" Tanya Dhafin sambil memandangi wajah kekasihnya yang sedang bersedih itu.
"Ayah kecelakaan dan sekarang dirawat di rumah sakit."
"Yaudah, ayo kita kesana!" Ucap Dhafin, ia mengerti bagaimana hancurnya perasaan Zoya saat mengetahui ayahnya kecelakaan.
Zoya berdiri dari tempat duduknya, lalu ia melangkahkan kakinya keluar Cafe. Setelah sampai di tempat parkir, Zoya langsung naik ke atas motor milik kekasihnya itu. Dhafin pun langsung melajukan kendaraannya ke rumah sakit.
Di waktu yang sama, Narendra sedang duduk di ruang tengah bersama sepupu dan kedua orang tuanya.
"Rendra, kamu tau Silvia kan, anaknya Pak Burhan?" Tanya Ibu Vita.
Rendra berpikir sejenak, ia sedang berusaha mengingat-ingat. "Iya, aku ingat. Memangnya kenapa, Bu?"
"Dia itu sudah sukses dengan bisnisnya berjualan pakaian dan sekarang, dia tinggal di Jakarta lho! Tapi sayangnya, rumah tangganya hancur, dia pisah dengan suaminya, padahal dia belum punya anak."
"Ya mungkin dia pisah dengan suaminya, karena nggak punya-punya anak." Ucap Narendra.
"Belum tentu. Kalau memang kamu mau sama wanita pembisnis yang sukses, nanti Ibu dan Ayah akan bicara pada Pak Burhan dan Istrinya!"
Narendra sudah menduga arah pembicaraan sang ibu, pasti mengenai perjodohan. Ternyata benar saja, Ibu Vita ingin menjodohkan Narendra dengan Silvia, yang kedua orang tuanya tinggal di desa yang sama dengan kedua orang tua Narendra.
"Tapi dia kan janda, Bu." Ucap Narendra yang tidak ingin dijodohkan dengan seorang janda.
Ibu Vita memandangi anaknya itu, "memangnya kenapa kalau janda? Dia kan usianya lebih muda dari kamu, dia juga sukses, dia cantik dan belum punya anak lho!"
"Bukan masalah cantik dan sukses, tapi kita kan nggak tau penyebab perceraian Silvia dan suaminya itu karena apa. Bisa aja karena Silvia itu terlalu sibuk dengan bisnisnya, sehingga dia tidak mengurusi suaminya, karena biasanya seorang wanita yang mandiri dan sukses seperti itu, suka meremehkan laki-laki. Dia sudah tidak butuh laki-laki, karena merasa sudah bisa mencari uang sendiri." Jelas Narendra.
"Jadi, kamu minder dengan wanita seperti itu? Kamu juga kan nggak kalah sukses." Lanjut sang ibu.
"Bukannya begitu Bu, aku ingin seorang istri yang benar-benar bisa melayaniku dan bisa menuruti perintahku sebagai seorang suaminya."
Kesuksesan dan kecantikan seorang wanita tidak menjadi tolak ukur bagi Narendra dalam memilihnya, tapi perilaku yang baiklah yang menjadi penentu terbesar. Rasanya sulit baginya untuk menemukan wanita seperti itu di jaman sekarang ini.
"Kan memang tugas seorang istri seperti itu, ibu yakin Silvia bisa menjadi istri yang baik, apalagi dia sudah berpengalaman dan sudah pernah gagal, pastinya dia akan lebih baik."
"Belum tentu, Bu. Aku malah takut mempunyai istri yang juga sukses, takut dia nggak patuh sama suaminya."
"Bro, kalau banyak ketakutan seperti itu dalam diri lo, gimana lo mau menikah? Sedangkan usia lo terus berjalan, lama-lama semakin tua! Jangan sampai gue yang lebih dulu menikah." Tutur Ferdi.
"Nggak apa-apa lo duluan aja, silahkan!" Balas Narendra.