"Jadi, mohon maaf, Tante nggak bisa meminjamkan uang sebanyak tujuh puluh juta rupiah pada kamu, karena itu bukan jumlah yang kecil. Kalau Tante meminjamkannya, gimana kalian menggantinya? Lima juta aja susah apalagi tujuh puluh juta!"
Zoya menundukkan kepalanya, ia sangat sedih, ia tak tahu harus meminjam uang pada siapa lagi selain Tantenya ini.
"Tolonglah Tante, tolong aku! Nanti akan aku cicil tiap bulannya pada Tante." Ucap Zoya sambil menahan tangis di matanya.
"Uang dari mana kamu untuk mencicilnya?"
"Saya kan kerja, insya Allah saya bisa mencicilnya setiap bulan." Jelas Zoya.
Tante Lola memandangi keponakannya itu, ia tidak yakin kalau Zoya sudah bekerja.
"Kamu kerja dimana?"
"Di PT Gandratama."
"Kerja sebagai apa?"
"Office girl."
Tante Lola tertawa terbahak mendengar jawaban dari Zoya. Zoya pun bingung dengan Tantenya itu, ia merasa tidak salah dalam berbicara. Namun mengapa Tante Lola menertawakannya?
"Zoya, uang tujuh puluh juta itu banyak, sedangkan gaji kamu tidak seberapa, saya tidak yakin kalau kamu bisa melunasinya. Maaf ya!" Tante Lola tetap tidak mau meminjamkannya.
"Demi menyelamatkan nyawa kakak kandung Tante Lola sendiri, Tante aku mohon!" Zoya masih saja memelas agar Tente Lola meminjamkan uang.
"Apa kakak kandung? Mas Hendra itu cuma anak angkat, jadi dia bukan Kakak kandung saya."
Ada satu pernyataan yang membuat Zoya terkejut karena ia baru mengetahuinya.
"Ayah cuma anak angkat nenek dan kakek?" Tanya Zoya untuk memastikan bahwa ia tidak salah mendengar.
"Iya. Karena pada waktu itu nenek dan kakek sudah lama tidak punya anak, sampai akhirnya ia mengangkat Hendra dari bayi untuk pancingan, agar kakek dan nenek segera punya anak."
Selama ini Zoya tidak tahu karena sang ayah tidak pernah bercerita padanya. Pantas saja, selama ini Zoya merasa Ayah Hendra selalu dijauhi oleh saudara-saudaranya, Zoya pikir yang membuat keluarga Ayah Hendra dijauhi karena perbedaan status sosial, tapi ternyata tidak hanya itu. Semakin kecil kemungkinan Zoya untuk dipinjamkan uang oleh Tante Lola, lalu bagaimana nasib Ayah Hendra yang masih terbaring lemah di ruang ICU?
Ibu Ratna masih menunggu suaminya di rumah sakit, kondisi Ayah Hendra masih sama seperti kemarin yakni tidak sadarkan diri. Ibu Ratna juga harap-harap cemas menunggu kabar dari Zoya yang sedang berusaha meminjam uang untuk biaya rumah sakit pada Tante Lola.
Tante Lola tetap bersikeras tidak ingin meminjamkan uang pada keponakannya. Ia tidak ada rasa kasihan sama sekali terhadap kakak angkatnya itu.
"Ya sudah, maaf ya Zoya, Tante masih banyak kesibukan, nggak bisa berlama-lama menemani kamu disini." Tante Lola mengusir Zoya secara halus.
"Iya Tante, maaf ya saya sudah mengganggu." Ucap Zoya dengan memperlihatkan wajah kecewanya.
Zoya melangkahkan kakinya menuju keluar rumah, ia merasa lemas. Selain karena Zoya belum sarapan, juga karena tidak dipinjamkan uang. Di rumah saudaranya sendiri saja ia tidak dihidangkan apa-apa sekalipun hanya segelas air putih.
Zoya berjalan mengikuti arah kakinya melangkah, ia belum mengabarkan Ibu Ratna kalau dirinya belum mendapatkan pinjaman uang. Zoya tidak tahu lagi harus kemana, ia berjalan pun sambil menahan tangisnya. Sampailah Zoya di sebuah warung makan, Zoya mampir untuk mengisi perutnya yang sangat lapar. Ia memesan nasi dan lauk yang sederhana, lalu ia juga memesan segerlas air putih.
Zoya membuka ponsel miliknya yang dari tadi ia simpan di dalam tasnya. Ada panggilan tak terjawab dari teman kerjanya, ada juga panggilan tak terjawab dari ibu.
"Astaghfirullahaladzim .... " Ucap Zoya, ia lupa izin pada atasannya kalau hari ini ia tidak masuk kerja. Zoya kembali menundukkan kepala. Karena ada sesuatu yang lebih penting baginya yaitu keselamatan ayahnya, ia jadi lupa dengan pekerjaannya.
Zoya mengetik pesan kepada supervisornya.
[Selamat pagi Bu, maaf saya hari ini izin tidak masuk kerja karena Ayah saya kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit, karena keadaannya sedang kritis]
Di kantor, semua mempertanyakan Zoya karena hari ini ia tidak masuk. Zoya sudah di telepon berkali-kali oleh salah satu seniornya namun tidak diangkat.
"Tau nggak sih, tadi aku kan bersih-bersih di ruangan Pak Narendra, lalu dia bilang kalau Zoya itu nggak masuk karena ayahnya kecelakaan, jadi Zoya sedang berada di rumah sakit." Ucap Aida.
"Kok Pak Narendra tau tentang Zoya ya? Dia tau dari mana sih?" Tanya Lisa.
"Aku juga nggak tau, aku pikir Pak Narendra itu tetangganya Zoya, tapi ternyata bukan." Lanjut Aida.
Mereka semua berpikir, ada hubungan apa antara Zoya dan Narendra?
Zoya baru saja selesai makan, ia kembali berpikir bagaimana mendapatkan uang tujuh puluh juta rupiah pada hari ini.
Drrrttt ... Drrrttt ...
Ponsel milik Zoya yang berada di hadapannya bergetar. Zoya melihat nama pada layarnya bertuliskan 'Ibu', Zoya pun langsung mengangkatnya.
[Assalamualaikum, Bu.]
[Waalaikumsalam. Gimana Zoy, kamu sudah ke rumah Tante Lola?]
[Sudah, Bu.]
[Lalu?]
[Tante Zoya tidak mau meminjamkan uangnya, karena Ibu dan Ayah masih punya hutang sama dia.]
[Iya, Ibu memang masih punya hutang sama dia.]
[Iya, makanya dia nggak mau meminjamkan uang lagi.]
[Ya sudahlah, kamu sekarang lagi dimana?]
[Aku sedang di warung makan.]
[Kamu mau ke rumah sakit lagi atau maulangsung pulang?]
[Aku mau cari uang tujuh puluh juta itu, Bu. Doakan aku ya agar bisa ketemu.]
[Cari dimana?]
[Entahlah!]
[Ya sudah, kamu hati-hati ya, kalau capek, kamu pulang aja!]
[Iya.]
[Assalamualaikum.]
[Waalaikumsalam.]
Zoya menutup teleponnya. Ia belum bisa bersemangat kalau belum mendapatkan pinjaman uang itu. Zoya teringat, ia mempunyai saudara yang merupakan adik dari Ibu Ratna yang cukup sukses, ia seorang pemilik Resto, mungkin saja ia mau meminjamkan Zoya uang untuk kesembuhan Ayahnya.
Zoya membuka ponselnya, lalu ia mencoba menelepon orang yang biasa ia panggil 'Om' itu.
[Assalamulaikum, Om.]
[Waalaikumsalam. Ini siapa ya?]
[Om nggak simpan nomor aku ya? Aku Zoya, Om.]
[Oh Zoya anaknya Kak Ratna?]
[Iya, Om.]
[Oh iya, apa kabar Zoya?]
[Lagi kurang baik nih Om.]
[Ada apa?]
[Om, Ayahku sedang dirawat di rumah sakit. Keadaannya sedang kritis, tengkorak kepalanya retak, lalu kepalanya juga mengalami pendarahan. Kami sangat butuh biaya, Om. Tolong kami!]
[Butuh uang berapa?]
[Tujuh puluh juta rupiah]
[Uang Om yang tujuh juta mana? Katanya orang tuamu mau membayarnya dengan mencicil, tapi sampai sekarang belum ada juga yang mencicil ke Om]
'Astaghfirullah, ternyata Ayah dan Ibu punya hutang juga dengan Om Galih. Aku jadi malu mau meminjam uang padanya karena hutang orang tuaku yang sebelumnya juga belum dibayarkan.'
[Maaf Om, Ayah dan Ibu memang sedang tidak ada uang sama sekali, makanya belum bisa mencicil pada Om]
[Uang tujuh puluh juta rupiah itu bukan jumlah yang kecil, jika yang tujuh juta aja belum bisa terbayarkan. Bagaimana yang tujuh puluh juta?]