Selasa, 8 Maret 20xx
KRIIING...
Hmmm...
KRIIIING...KRIIING...
Hoaaahem...
KRIIING...KRIIING...KRIIIING...
AAAAARRRGHH BERISIIIK!!!
Kulempar jam weker ke tumpukan pakaian yang belum disetrika di sudut kamar. Aku sudah tidak butuh alarm. Untuk apa? Sudah tidak perlu lagi bangun pagi untuk menghindari macet ke sekolah. Sejak beberapa hari yang lalu aku kehilangan status sebagai guru di sebuah sekolah elit dan resmi menjadi seorang pengangguran. Untuk apa aku bertahan mengajar di sekolah yang membiarkan orang tua muridnya memaki guru yang menyarankan muridnya untuk berpakaian lebih sopan? Sulit dipercaya bila ada yang menganggap seragam tidak terkancing sampai memperlihatkan sebagian dada ditambah rok yang panjangnya hanya 30 cm dari pinggang sebagai sesuatu yang 'sopan'. Tidakkah mereka belajar dari berbagai kasus pelecehan seksual yang bisa terjadi dimanapun, bahkan lingkungan sekolah? Keinginan untuk bisa bebas berbusana yang pada akhirnya hanya berujung bencana dan trauma.
Semua orang memang punya hak, tapi bukankah yang namanya hak pasti sejalan dengan kewajiban? Belum lagi konsekuensi atas hak yang mereka lakukan. Mereka berhak berpakaian sesuka hati, tapi apa mereka siap menerima resiko pilihan itu? Ah sudahlah. Menggerutu tidak akan mengubah apapun.
Aku beranjak dari tempat tidur dengan rasa malas yang luar biasa. Rasa lapar mengarahkan langkahku menuju kulkas yang, setelah kubuka, nyaris tanpa isi. Kehampaan yang mengingatkanku bahwa tidak akan ada pendapatan bulan ini membuatku hanya bisa mendesah kesal.
Stok mie instan yang selama ini menjadi makanan darurat bagiku pun tidak banyak tersisa. Aku bisa saja ngutang dulu di warteg sebelah, tapi aku tahu yang punya warteg saja sudah setengah mati bertahan. Kuputuskan untuk menyeduh kopi saja. Aku tahu minum kopi di saat perut kosong sangat berbahaya, tapi lebih berbahaya kalau sampai uangku terus menipis dalam keadaan tanpa pekerjaan. Negara ini dari dulu tidak kenal ampun pada pengangguran. Antara harus bekerja atau merasakan kerasnya hidup; hanya itu pilihannya.
Aku membuka jendela kamar kos dan udara segar menyeruak masuk. Angin sejuk yang tidak akan pernah kurasakan lagi apabila uang kos bulan ini tidak terbayar. Membayangkan hal itu membuat kopiku terasa semakin pahit. Kopi yang baru kunikmati satu sesapan itu urung kuhabiskan. Sepertinya aku butuh berjalan pagi sebentar untuk menyegarkan pikiran.
Kubuka pintu kamar. Lorong mulai ramai dengan penghuni kos yang memulai rutinitas pagi mereka. Tiba-tiba aku merasa enggan untuk keluar kamar, karena jika itu kulakukan maka mau tidak mau aku harus berbasa-basi dengan mereka, dan itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan, apalagi dalam suasana hati seperti ini. Selama ini aku memang hampir tidak pernah bersosialisasi dengan mereka. Jadi kuputuskan untuk tetap di kamar saja.
Aku baru saja akan menutup pintu kamar saat kulihat sebuah amplop hijau tergeletak di atas keset. Tidak ada nama pengirim maupun alamat tujuan. Hanya ada sebuah segel yang berbentuk huruf V dengan nama lengkapku tertulis di atasnya. Apa ini? Surat kaleng? Surat penggemar? Atau jangan-jangan malah...surat ancaman? Aku tertawa dalam hati membayangkan kemungkinan terakhir. Dunia sudah gila kalau seorang guru yang hanya menjalankan tugasnya malah mendapat imbalan kata mutiara seperti 'kau akan mati' dan sejenisnya.
Kubawa masuk amplop hijau tadi yang, setelah kubuka, ternyata berisi secarik kertas berwarna kecoklatan yang tampaknya sudah sangat berumur. Walaupun masih merasa sedikit aneh, aku mulai membaca isi surat itu.
Dear Ms. Levita Natsir,
Dengan ini kami mengucapkan selamat karena Anda terpilih menjadi guru di SMU Aster Biru.
Saya mewakili segenap staf pengajar dengan senang hati menantikan kedatangan Anda pada hari Rabu tanggal 9 Maret 20xx. Di tanggal tersebut, sebuah limousine berwarna hijau tosca akan menjemput di halte terdekat dari kediaman Anda jam 9 pagi.
Pengalaman mengajar penuh kesan yang niscaya tidak akan pernah Anda dapatkan di tempat lain menanti di lembaga pendidikan kami.
Salam,
William Oktavian Dinarya
Kepala Sekolah
Hmmm, SMU Aster Biru? Dari sekian banyak lamaran yang kukirimkan ke berbagai sekolah selepas di-PHK, aku yakin nama ini bukan salah satunya. Dan aku diterima begitu saja? Pencarian daring tidak menghasilkan satupun informasi tentang 'SMU Aster Biru' selain sejumlah artikel tentang bunga. Apa ini cuma ulah orang iseng?
Membaca surat itu berulang-ulang justru membuat kepalaku terasa berat. Sepertinya aku butuh udara segar agar bisa berpikir jernih tentang semua ini, dan hanya ada satu tempat yang bisa membantu. Setelah mandi dan sarapan seadanya, aku segera menempuh perjalanan kurang lebih 5 menit menuju taman dekat kos; hamparan hijau berangin lembut yang sering menjadi sumber inspirasiku.
Taman masih cukup sepi saat aku tiba di sana. Hanya saja, udara sejuk taman yang senantiasa menenangkan pikiran sepertinya tidak berpengaruh banyak. Kuhempaskan tubuhku ke bangku panjang yang dinaungi sebatang pohon rimbun. Senang, bingung, kesal, curiga; semua perasaan ini berkecamuk menjadi satu. Di tengah konflik batin ini, aku hanya bisa menghela nafas sambil menatap langit.
Langit pagi itu jernih tanpa sedikitpun awan mendung menghalangi. Tiba-tiba, sebuah awan berbentuk bunga aster muncul di atas kepalaku. Tidak seperti awan pada umumnya yang berwarna seputih kapas atau kelabu, yang kulihat itu berwarna biru bagaikan langit di sekitarnya; mengambang selama beberapa saat sebelum akhirnya menghilang begitu saja.
Bunga aster berwarna biru? Apakah ini semacam pertanda? Aku menggeleng sambil tertawa pelan saat menyadari apa yang baru saja kupikirkan. Selama ini prinsipku adalah 'percayalah pada logika dan akal sehat untuk menyelesaikan masalah'. Tampaknya memang benar, selalu ada kali pertama untuk segala sesuatu.
Besok pagi aku akan memenuhi undangan dari SMU Aster Biru dan berharap ini tidak menjadi sebuah kisah baru dalam buku 'Keputusan Bodoh Levita Natsir'.