Chereads / Levita in Lorin / Chapter 9 - Magical Technology

Chapter 9 - Magical Technology

Langit Lorin yang cerah seolah mencerminkan suasana hatiku setelah resmi menjadi bagian dari Aster Biru. Berhubung aku baru mulai mengajar besok berdasarkan jadwal yang sudah diberikan Pak Wodin, maka aku akan memanfaatkan waktu untuk lebih mengenal sistem pembelajaran dan penilaian di sekolah ini.

Keunikan Aster Biru tidak hanya terbatas pada staf pengajar serta siswa yang belajar di sini, namun juga pada sistem penilaiannya yang tidak biasa. Baru pertama kali aku menemukan sistem dimana siswa akan mendapatkan satu poin bila melakukan satu kebaikan dan pengurangan tiga poin bila melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Poin yang terkumpul bisa ditukarkan dengan hadiah spesial pada akhir semester. Dengan kata lain, jumlah poin yang mereka kumpulkan akan mempengaruhi kualitas hadiah yang bisa didapat. Pak Wodin memberitahukan semua ini sebelum aku pamit untuk kembali menjelajah sekolah. 

Perutku yang berbunyi menjadi pengingat bahwa sudah waktunya untuk makan; sesuatu yang nyaris terlupakan setelah melalui begitu banyak insiden hanya dalam hitungan jam. Sekalian melihat seperti apa sih kantin di sini, pikirku. 

Kantin Aster Biru ternyata adalah sebuah bangunan unik yang berbentuk melingkar dengan dinding yang terbuat dari anyaman bambu dan beratap ijuk. Dinding bambu yang hanya setinggi 1.5 meter memungkinkan udara mengalir dengan sempurna dan siapapun yang berada di luar kantin bisa melihat ke dalamnya, demikian juga sebaliknya. 

Aroma makanan yang sedap merebak sampai keluar kantin, membuat kakiku semakin cepat melangkah kesana. Pak Wodin tadi memberitahuku bahwa penanggung jawab kanti adalah seorang chef yang dipanggil Mang Ardrim. Beliau seorang mantan koki yang pernah mengabdi di sebuah keluarga terpandang di Lorin, lalu kini mengabdikan dirinya untuk memasak di SMU Aster Biru.

Kantin siang ini ramai namun tetap tertib. Sepertinya hampir seluruh siswa saat ini sedang mengantri untuk memesan makanan. Tidak kulihat satupun guru di sini. Mungkin mereka makan siang di ruang guru? Atau ada kantin khusus guru? Ah nantilah kucari tahu. Saat ini perutku adalah hal yang paling penting untuk dipikirkan.

Buffet panjang dengan pilihan makanan beragam membuat mataku berbinar. Sejauh mata memandang yang kulihat hanya makanan, mulai dari hidangan pembuka hingga penutup, bahkan kudapan juga tersedia. Aku seperti sedang berada di surga kuliner.

"Selamat datang di kantin SMU Aster Biru, Miss Levita. Senang Anda berkunjung ke kantin kami. Semoga suka dengan hidangan yang ada di sini." Seorang lelaki tinggi besar dengan kumis melintang yang memakai topi dan pakaian koki menyapaku dengan senyumnya yang ramah.

"Wah, Bapak tahu nama saya?" Aku terkejut karena beliau tahu namaku.

"Tentuuu. Saya kan infotainment, hahaha. Perkenalkan, saya teh Mang Ardrim, yang masak di kantin." Si Bapak yang ramah ini memperkenalkan diri.

"Oh, iya, Mang Ardrim. Salam kenal. Saya Levita, guru Ilmu Sosial yang Baru di Aster Biru." Aku memperkenalkan diriku secara resmi, lengkap dengan salam a la Aster Biru.

"Hehe, mangga, tolong geser heula, Miss. Banyak yang antri." Mang Ardrim melirik ke belakangku yang ternyata sudah panjang siswa mengantri.

"Oh, sorry sorry sorry." Aku bergeser dan mulai mengambil makanan.

Semua makanan di sini gratis disediakan oleh sekolah. Pantas saja Otar bisa berkali-kali makan di sini. Aku berjalan menuju buffet yang berisi hidangan Italia dan mengambil Zuppa soup yang masih mengeluarkan kepulan asap, juga sepotong Pizza tebal dengan topping melimpah di atasnya. 

Aku duduk di sebuah kursi kosong tidak jauh dari buffet. Tak sabar kucicipi sesendok Zuppa Soup yang creamy dan menggugah selera. Aku hampir tak percaya ketika lidahku merasakan ledakan rasa istimewa. Bagaimana bisa Zuppa Soup seenak ini? Rasa kaldu dan creamnya menyatu dengan sempurna, dilengkapi dengan potongan daging ayam dan ham yang gurih membuatku tak bisa berkata-kata. Sungguh aku tidak berlebihan. Memang begitulah rasanya. 

Selanjutnya kucicipi sepotong pizza yang juga kuambil tadi.  Roti lembut yang gurih, paprika yang crunchy dan jamur yang creamy membuat mataku berkaca-kaca. Aku menatap ke arah Mang Ardrim, dan dia balik tersenyum dan mengangguk senang melihat ekspresiku yang terlihat begitu hanyut dalam lautan cita rasa masakannya. Mulai sekarang Mang Ardrim adalah idolaku, karena kemampuan untuk menghasilkan masakan yang enak dan sehat adalah suatu keahlian yang tidak bisa dilakukan semua orang. 

Puas menikmati hidangan kantin, aku berjalan ke arah perpustakaan. Kalau ruang guru saja sudah seperti sebuah perpustakaan, bagaimana dengan perpustakaan itu sendiri? Dan benar saja, begitu memasukinya, aku merasa seperti berada di dunia lain. Dunia di mana buku-buku beterbangan seperti tidak ada habisnya. Sejauh mata memandang, berbagai macam buku dalam berbagai bahasa tersedia. Aku berjalan masuk ke bagian sejarah. Beberapa lorong khusus buku-buku sejarah terisi penuh.

"Gimana nih, Her? Kalo gue nggak latihan buat Porseni, nggak bisa gaspol. Lawannya kelas berat, bro. Johnny dari Bara Salju. Lo tau kan anaknya? Yang suka melet-melet kayak ngeledek gitu. Ah ga rela gue kalo harus kalah dari dia." Kudengar suara seorang siswa di salah satu lorong.

"Lo sih ada-ada aja, Tor. Segala godam lo hantemin di ruang gym. Dah tau tenaga lo kayak kuda berkaki delapan." Kata siswa yang satunya.

Aaah sekarang Aku tahu. Siswa itu pasti Viktor dan temannya yang bernama….Her? Heru? Heri? Atau Hera?

"Gue butuh ruang latihan khusus. Ayolaaah, Heri Imanuddin Dalusasono, jenius fisika kayak lo pasti bisa bikinnya. Yang anti ancur. Ayo doooong lo tolongin gue ngomong sama Bu Frida, Pak Wodin juga. Lo pasti bangga kan kalo sekolah kita bawa semua medali emas Porseni nanti?" Viktor seperti sedang membujuk temannya yang bernama Heri Imanuddin Dalusasono untuk membuatkannya sebuah ruangan khusus tahan hantaman godam Viktor.

"Hmmm, alatnya bakalan mahal, Tor. Alat peredam suara super, alat anti getaran gempa, pelapis dinding anti retak dan anti air. Itu semua setara sama kebutuhan kantor BMKG. Lo yakin Pak Wodin bakalan approve?" Heri ragu kalau keinginan Viktor bisa terwujud.

"Coba dulu, Her. Ruangan itu nantinya juga bisa dipake buat keadaan darurat kan?" Viktor masih berusaha meyakinkan Heri.

"Keadaan darurat apaan? Kita kan udah punya Noah, si giant ship hasil karya gue tuh, yang sudah diuji coba buat kalo darurat banjir dan tsunami. Gempa dan kebakaran juga bisa." Waaah, ternyata Heri sudah punya karya. Di mana aku bisa lihat Noah? Aku harus bertanya nanti.

"Yaudah kalo gitu gue latihan di Noah aja deh." Viktor terdengar senang, seperti menemukan ide brilian.

"EH, GUE TONJOK LU YA!"

"Tes pake godam yang gedean dikit aaaah."

Terdengar Viktor tertawa sambil berlari keluar. Di belakangnya Heri mengejarnya, siap melempar sebuah buku. Kacamata dan buku tebal yang dibawanya menandakan bahwa Heri adalah seorang siswa yang suka membaca.

Aku semakin menyukai Aster Biru. Semua yang ada di sini membuatku merasakan hidup baru.

Kuambil dua buah buku sejarah tentang Kota Lorin dan SMU Aster Biru. Tertulis bahwa kota Lorin berumur hampir sama dengan kota Jakarta. Sudah sangat tua rupanya. Tidak banyak foto atau gambar yang ada di buku itu, jadi kuputuskan untuk mencarinya di website Kota Lorin. Kuambil ponselku untuk berselancar di dunia maya, namun....aneh....ternyata mati total. Apa aku tidak salah? Aku yakin sudah mengisi daya ponselku sampai penuh tadi pagi.

Kucoba untuk mengaktifkannya, tetap tidak bisa. Kenapa bisa begini? Apa hanya ponselku yang tidak berfungsi di sini?

Verya, ah ya, Verya selali aktif menggunakan ponselnya, bahkan untuk mengupload video. Aku harus mencarinya untuk bertanya.

Kuletakkan buku yang sedang kubaca ke raknya kembali, lalu segera berlari keluar untuk mencari Verya. Di mana kira-kira dia sekarang berada?

Ah, ya! Video! Di mana kira-kira tempat menarik untuk merekam video? Tapi Verya bisa berada di mana saja.

Sebentar lagi jam istirahat selesai. Aku harus segera menemukannya. Aku berlari ke arah hall besar dan saat Aku memasuki hall besar itu, Aku mendengar suara seseorang berkata.

"Verya…udah mau kelas…" Aku menoleh ke arah suara. Ya Tuhan, sang pemuda tampan yang membawa babi lucu itu.

Di depannya, Verya sedang membuat vlog seperti apa yang biasa dia lakukan.

"Iiiih…apa siiich kakak I yang ganteeeng?? Rewel dech!"

Apaaaa?? Pemuda itu, kakak Verya? Sungguh?

"Emmm, Verya…" Aku memanggilnya.

"Oh, halloo, Ms. Levita. Miss, sini sini deh. Ituuuuh, lihat nggak, Miss? Cewek yang mukanya serem kayak demit ituuuuh." Verya menarikku.

"Eh, eeeemm…yang…mana?" Aku mencari seseorang yang dimaksud Verya.

Kulihat ponsel Verya. Aneh. Ponselnya bisa untuk live Instagram. Ponselku bahkan tidak menyala sama sekali.

Tiba-tiba seorang gadis maju mendekat ke arah ponsel Verya sambil menatap dengan tatapannya yang dingin. Gayanya gothic. dandanan serba gelap yang menampilkan kesan seram. Namun gadis di depanku ini sangat cantik dengan dandanan gothicnya. Rambut hitam panjang bergelombang dengan eye shadow hitam menutupi kelopak matanya, tak lupa lipstick berwarna hitam yang menghiasi bibirnya, mengingatkanku akan vokalis band My Chemical Romance, tapi yang ini versi putri. Sekilas matanya tampak kejam, namun kuperhatikan lagi seperti ada kesedihan mendalam.

"Eeh eeeh, ngagetin aja niiich si jabang Sadako. Kayaknya lo butuh bedak deeeh. Muka lo pucet bangeeet. Nih, I can usulin tempat buy bedaq yang hiiiits se-Lorin." Verya mulai mengarahkan kameranya ke arah gadis gothic yang dipanggilnya Sadako.

Gadis itu hanya bergumam pelan.

"Haaah? You ngomong what siiich? I gak hear dech! Jangan pake Bahasa hantu sama I deeech." Verya mendekatkan telinganya ke gadis itu.

"Gue bilang….bacot lu…Jaksel oplos." Gadis itu pergi meninggalkan Verya, kakak Verya dan Aku yang melongo.

"Ckckck, si Helena yaaa, hantu judessss." Verya berkata sambil berdecak.

Sesaat kemudian bel tanda masuk berbunyi, lalu semua siswa, termasuk Verya dan kakaknya bergegas kembali ke kelas.

"Ferry, tunggu." Seorang gadis manis bertubuh dan berwajah mungil memanggil seseorang bernama Ferry.

"Ya?" Kakak Verya menoleh dan menjawab gadis itu.

Oh, ternyata Ferry, nama si murid tampan, kakak Verya.

"Ini, buat kamu." Gadis itu menyerahkan sebuah box berwarna pink berhiaskan pita di atasnya.

"Apa...ini?" Ferry bertanya, belum mengambil box yang diberikan gadis itu.

"Ini….hatiku untukmu." Gadis itu menyodorkan box di tangannya ke tangan Ferry, lalu cepat-cepat berbalik kemudian berlari.

Ferry memandang box itu dengan ekspresi wajah biasa saja, seperti sudah biasa menerima banyak hadiah dari para murid putri.

"Thank youuuu." Ferry berteriak mengucapkan terimakasih.

Gadis itu berbalik, lalu tangannya membentuk tanda hati.

"Aduuuh kakakku yang ganteeeeng, another gift yaaa? Kamyuuuh tau khaaan kalo rumah kita itu udah kebanjiran gift, udah kayak gift shop, tauuuk? Mau ditaruh di mana cobaaa yaaaa gift ini?" Verya berkata sambil menggandeng kakaknya kembali ke kelas. Aku mengikuti mereka di belakang.

"Nih, buat kamu aja." Ferry menyerahkan pemberian gadis imut tadi kepada Verya.

"Iiiih, tak syudiiiih ya. Itu kan dari fans kamyuh, bukan fans I. Kakakku yang ganteeeng, hargai doong pemberian faaaaans." Verya mengibaskan rambutnya sambil menyalakan ponselnya.

"Ehem, Verya, maaf, miss boleh lihat ponsel kamu? Sebentaaar aja." Aku penasaran dengan ponsel Verya yang bisa aktif, tapi punyaku tidak.

"Ada apaaah, Miss Levita? Ohohohho mau telfon, tapi kehabisan pulsa yaaach? Niiih, pakai punyaku ajyah. Pulsaku melimpaaah seperti padi di sawaaah. Maklum, fans ku banyak yang suka kirim pulsaaah, aaaah senangnyaaaah." Verya berkata sambil menyerahkan ponselnya kepadaku.

Aku mengambil ponsel Verya. Kulihat tanda provider sim card nya. Lorinsel. Apa ini? Lorinsel? Sepertinya Aku harus membeli sim card baru di sini supaya ponselku bisa aktif.

Kukembalikan ponsel Verya, mengucapkan terimakasih, lalu berjalan kembali ke ruang guru. Kini aku tahu apa yang harus dilakukan.