Langkah Ms. Gyna dan aku menuju taman bunga sedikit melambat saat kami memasuki wilayah galeri besar yang aku lewati tadi pagi ketika melakukan tour sekolah bersama Pak Wodin. Memanjakan mataku dengan memandang karya seni di sini membuat pikiranku dipenuhi dengan kekaguman dan penghargaan tinggi kepada jiwa seni yang, aku yakin, dimiliki sebagian besar siswa siswi Aster Biru. Sebut saja banyak lukisan, patung dan kaligrafi yang sebenarnya tidak kumengerti, namun tetap bisa kunikmati. Seni memang bersifat universal.
"Selamat sore, Miss Gyna." Dua orang siswa tiba-tiba sudah berada di dekat kami tanpa kusadari karena tersihir dengan semua karya seni yang ada di sini.
Sekilas ku perhatikan mereka berdua memiliki wajah yang mirip, hanya berbeda gaya rambut. Salah satunya berambut hitam lurus dengan tubuh lebih tinggi, sementara yang lainnya memiliki rambut pirang bergelombang dengan tubuh yang lebih pendek.
"Sore, Alif dan Arvin. Bagaimana kelas kalian hari ini? Oh ya, perkenalkan, ini Miss Levita, guru baru kita yang akan mengajar ilmu sosial." Ms. Gyna memperkenalkanku kepada kedua siswa di depan kami.
"Salam, Miss Levita. Saya Alif Sriwardhani dan ini adik saya, Arvin Sriwardhani. Senang sekali berkenalan dengan Ms. Levita." Senyum Alif merekah saat menyapaku.
Aku terkejut karena dia memiliki senyum ramah dan menenangkan yang persis seperti Ms. Gyna, sementara Arvin, adiknya, hanya membungkuk memberi salam tanpa berkata apapun.
"Salam, Alif dan Arvin. Senang berkenalan dengan kalian." Aku membungkuk dan tersenyum sambil terus berpikir kenapa juga nama belakang mereka sama seperti Ms. Gyna.
"Kami permisi dulu, Miss Gyna, Miss Levita. Latihan basket sebentar lagi." Alif dan Arvin berpamitan sebelum aku sempat memperhatikan mereka lebih lanjut.
"Baik. Semangat latihan ya." Ms. Gyna dan Alif saling melemparkan senyum.
Kami kembali berjalan menuju taman saat Alif dan Arvin menjauh dari pandangan.
"Senyum Alif mirip sekali dengan senyum Anda." Tiba-tiba saja Aku berkata demikian. Rasa penasaran ini tidak bisa kucegah.
"Alif dan Arvin memang anak-anak saya. Tapi mereka dibiasakan untuk memanggil semua guru wanita dengan sebutan "Miss", bahkan kepada saya, walaupun saya ibu mereka." Ms. Gyna kembali tersenyum manis menatap kedua anak beliau berjalan menjauh.
"Waaah, ternyata seperti itu. Pantas saja nama belakang Alif dan Arvin pun sama seperti Anda." Aku melanjutkan.
"Betul. Mereka memakai nama belakang saya. Itu keputusan saya untuk tidak menggunakan nama belakang ayah mereka." Mata Ms. Gyna menerawang jauh saat mengatakan hal ini.
"Hmmm." Aku hanya bisa bergumam.
"Sebenarnya, ayah mereka tinggal di salah satu sekolah di sekitar sini. Tapi saya selalu berharap tidak akan pernah melihat wajahnya lagi. Apalagi sampai harus bertemu anak-anak." Tampak jelas kedua mata Ms. Gyna yang mulai berkaca-kaca.
Aku terdiam dan berpikir. Entah hal menyedihkan apa yang terjadi dengan keluarga Ms. Gyna, namun perkataan beliau mengusikku. Ayah Alif dan Arvin berada di sekolah di sekitar sini? Seingatku Pak Wodin berkata bahwa Raden Mas Lukman yang tidak sengaja bertemu denganku di depan SMU Bara Salju pernah menikah dengan salah satu guru Aster Biru? Jangan-jangan…
Kuputuskan untuk menyimpan pertanyaanku tentang siapa ayah Alif dan Arvin karena tidak mau merusak suasana sore ini. Daripada menanyakan hal yang pribadi itu, saat ini aku lebih ingin mengembalikan senyum Ms. Gyna yang mulai pudar.
"Alif dan Arvin tumbuh menjadi pemuda yang sangat baik. Saya yakin Anda membesarkan mereka dengan baik. Miss Gyna ibu yang hebat." Aku tersenyum dan mengatakan hal ini dengan penuh ketulusan.
"Ah, Anda terlalu memuji. Terimakasih, Miss Levita." Senyum ibunda Alif dan Arvin itu kembali terkembang.
"Saya selalu mengatakan segala sesuatu apa adanya. Saya rasa semua orang yang mengenal Anda dan kedua putra Anda juga akan berkata demikian." Kataku.
Kini semua terasa baik-baik saja setelah aku melihat kelegaan di wajah Ms. Gyna. Benar adanya, seorang Ibu terkadang tidak butuh apa-apa selain kata-kata yang bisa membuatnya melupakan sejenak kesedihan dan rasa lelahnya.
Tak berapa lama, indera penciumanku menghirup semerbak aroma bunga beraneka rupa dan warna yang menimbulkan rasa nyaman dan rileks di seluruh sel syarafku. Kami tiba di taman bunga.
Berdiri di hadapan kami, seorang pria berperawakan gagah yang sedang menggunting beberapa daun layu dari sebuah batang bunga.
"Selamat sore, Mas Aji." Ms. Gyna menyapa.
"Oh, selamat soreee, Ibbbu Ggynaaa. Pripun kabare, buuu? Apiik?" Pria yang dipanggil Ms. Gyna dengan nama Mas Aji ini ternyata beraksen medok sekali.
"Baik. Mas Aji sehat? Oh iya, sudah kenal guru baru kita, Miss Levita?" Ms. Gyna mulai memperkenalkan kami.
"Ooooo iniiii guru baru kitaaa. Selamat soreeee, Ibbu Levitaaaa. Senang bbertemu ddengan Andda." Mas Aji tersenyum dan membungkuk dengan ramah.
"Lho, Mas Aji, sudah tau nama saya?" Aku terkejut.
"Lhooo, seantero sekolah suddah tauuu kalau kita keddatangan gguru bbaru, hehehe. Semoga bbetah ddi sini yaaa, bbu Levita, hehehe." Sepertinya seluruh sekolah sudah mengetahui kedatanganku.
"Hehe, iya, Mas Aji. Sepertinya sih akan betah. Karena di sini banyak yang….ajaib." Oops, Aku jujur sekali.
"Hahaha, betul. Eh, Ms. Levita, suddah tau bbelum, kami punya kebun Apel yang ajaib? Uweeenak tenan Apelnya. Kalau makan itu, bbisa pwuinter, seperti ilmuwan. Tapi yha itu, cuma dek Isabella yang tau cara numbuhinnya. Ckckck, Aku wes bbolak-bbalik tanya ggimana caranya supaya Aku jugga bisa nanam, tapi RA-HA-SI-A, gggitu." Aku tersenyum mendengar curhatan Mas Aji.
"Waaah Mas Aji rajin yaaa. Saya kira Mas Aji cuma mau makan apelnya saja, hehehe. Becanda ya, Mas. Nah, kalau saya boleh ngga makan apelnya?" Tanyaku.
"Kalau itu, Isabella punya preferensinya sendiri, Ms. Levita. Dia akan berikan apelnya untuk siapa saja yang dianggapnya pantas. Apel Isabella seperti emas yang berharga. Semoga Ms. Levita termasuk yang boleh memakannya" Ms. Gyna menjelaskan.
Selain hanya Isabella yang menumbuhkan semua apel di Aster Biru, juga hanya dia yang bisa menentukan sjapa yang boleh makan apel itu? Aku menggeleng-geleng karena heran. Semakin menarik saja sekolah ini.
Mas Aji membuatkan teh khusus yang berasal dari perkebunan teh di kaki gunung Argoterim. Aku mencoba mengingat beberapa hal tentang Argoterim yang tadi dijelaskan Ms. Gyna di Lab Biologi. Sebuah gunung bersalju di kota ajaib apakah sama seperti gunung bersalju di duniaku?
Kuhirup aroma teh hangat di hadapanku, lalu mulai menyeruputnya dengan penuh rasa ingin tahu. Kurasakan sebuah sensasi yang sulit kuungkapkan dengan kata-kata ketika teh hangat itu mengalir dari mulutku menuju kerongkongan. Kehangatan yang berpadu dengan rasa dingin seperti mint namun dengan rasa yang lebih lembut dengan rasa sedikit manis walaupun aku tidak memasukkan gula ke dalamnya. Teh ajaib macam apa ini?
Ketika aku bermaksud bertanya lebih lanjut tentang hal ini, bel tanda pelajaran usai berbunyi. Aaah, sayang sekali. Sepertinya harus kusimpan dulu pertanyaanku untuk lain waktu karena sekarang saatnya bersiap untuk kembali ke duniaku.
Ternyata hatiku merasa sedikit enggan untuk beranjak dari sini. Entah itu karena teh buatan Mas Aji yang terlalu enak, atau karena obrolan dan suasana nyaman sore ini yang membuatku ingin tinggal lebih lama.
"Bbesok-bbesok jhangan luppa mampir laggi ke sini yhaaaa, Miss Levita. Saya masih punya bhuwanyak stok Teh yang uwenak. Sekarang saatnya kembhali ke kota Miss Levita yang satu laggi. Jhangan kawatir, bbesok Miss Levita jugha bakal kembhali laggi ke mari toh? Heheheee." Mas Aji berkata dengan logat medoknya yang santun. Sepertinya beliau bisa membaca isi hatiku.
Aku tertawa gugup dan berkata,"Hahaha, i…iya, Mas Aji. Benar juga ya, besok saya akan mulai mengajar di sini. Dan, ya, saya berharap bisa kembali menikmati teh ajaib, eh, teh Argoterim buatan Mas Aji."
Mas Aji dan Ms. Gyna tertawa mendengarku.
"Terimakasih untuk semuanya hari ini, Miss Gyna dan Mas Aji. Sungguh hari yang luar biasa." Aku berdiri dan membungkuk untuk berpamitan.
"Mari saya antar ke depan." Ms. Gyna berkata.
"Selamat jhalan dhan hati-hati yaaa, Miss Levita. Apa mau dhibhungkus sajja teh-nya? Khawatir nanti terbhawa mimppi." Mas Aji melontarkan candaan.
Kami semua tertawa sebelum akhirnya berpisah.
"Anda suka berada di sini?" Tanya Ms. Gyna saat kami berjalan menuju bagian depan sekolah.
"Well, memang masih banyak hal tentang Aster Biru dan Lorin yang belum saya mengerti, tapi saya merasa nyaman di sini." Aku menjawab.
"Senang sekali mendengarnya. Memang Anda adalah orang yang selama ini kami cari. Saya berharap semua berjalan dengan baik kedepannya." Ms. Gyna menyunggingkan senyum secerah mentari sore ini yang membuatku yakin semua akan baik-baik saja.
Dalam hati aku berbisik,"Wahai Aster Biru, esok pagi tunggulah kedatanganku untuk memulai hari bersamamu."